🦄03

108 20 4
                                    


Sarang membuka mata perlahan, kamar dengan nuansa yang di dominan putih menabrak netra, tempat ini terasa asing baginya. "Harang" panggilnya beranjak dari ranjang besar tersebut, si kecil keluar dari kamar "Harang"

"kamu sudah bangun sayang" Mark yang baru selesai menata sarapan segera berjalan ke arah Sarang, menggendong si anak perempuan

"Ayah kita dimana? Harang mana?"

"kita dirumah Ayah, Harang kan tidak mau ikut, jadi tinggal sama Bunda"

"rumah ayah?" tanya si cantik

Mark mengangguk

"ini rumah ayah?" sarang mengedarkan pandangannya ke segala sisi

Mark mengangguk lagi

"beneran ini rumah ayah?"

Mark menaikkan alis bingung maksud pertanyaan si cantik ini apa "iya sayang ini rumah-"

"HUAAA SARANG ENGGAK MAU TINGGAL DISINI HUAAA!!!"

.
.
.

"Harang, anak bunda yang ganteng bangun yuk" nada lembut mengalun ringan disisi telinga kanan sang anak tampan yang matanya masih terpejam.

Senyum tipis Arin ukir, diusap pipi Harang "Ayo bangun, nanti telat lho ke sekolahnya" ajaknya lagi seiring menduduki diri. Arin juga baru bangun dari istirahat malamnya, belum cuci muka. Mata dibawa sekejap menatap jam lalu beralih kembali ke tuan muda, masih cukup banyak waktu untuk Harang berleha-leha di alam mimpi jadi Arin tidak mengganggu lagi. Akan dibangun kan nanti saja setelah sarapan pagi jadi.

Arin berdiri, menyambar handuk yang ada di belakang pintu lalu memasuki kamar mandi.

Waktu berselang, Arin keluar dari kamar mandi berbalut handuk selutut, badan terasa jauh lebih ringan, ia beranjak ke lemari pakaian memilih sebentar baju apa yang akan dikenakan. Dapat. Dress navy bermotif polkadot menjadi pilihan. Langkah yang hendak ke kamar mandi lagi untuk mengenakan pakaian tertahan kala ponsel pintar diatas nakas berdering nyaring.

Mark Lee

Nama itu terpampang jelas menabrak netra. Perasaannya jadi tidak enak, tumben sekali Mark menelepon pagi-pagi, apa Sarang bikin ulah,ya? Ah, Arin penasaran segera diangkat panggilan.

"halo Rin"

Dan benar, Sarang bikin ulah. Dapat di dengar dengan jelas ada suara tangis yang menjadi latar sapaan Mark. "itu Sarang kenapa?"

"nggak tahu Rin, aku juga bingung bangun-bangun langsung nangis." helaan nafas dari sebrang menyapa rungu "aku nggak tahu cara menenangkan Sarang, makanya aku telepon kamu pagi-pagi. Maaf banget kalau mengganggu habisnya aku bingung" lanjut pria Kanada dengan nada yang bisa di dengar penuh kehati-hatian.

"hidupin pengeras suaranya Mark, aku mau ngomong sama Sarang" titah Arin dan langsung di turuti Mark.

"sudah Rin"

Oke. Arin tarik nafas sebentar "Lee Sarang" panggilnya sedikit menekan nama anak perempuan.

"Bunda hiks Bunda"

"Sarang, sayangnya Bunda. Kenapa nangis,hm?"

"Bunda hiks Bunda hiks hiks"

"iya kenapa? Bunda nanya lho ini Sarang kenapa-"

"Huwaa bunda hiks hiks"

Kepalang habis kesabaran mendengar racauan dalam tangisan Sarang, Arin alihkan panggilan ke mode video call.

"Lee Sarang!" kembali ia memanggil nama si anak perempuan.

Dapat dilihat sarang sedang ada di dalam pelukan Mark, membelakangi kamera, suara tangisnya masih terdengar belum ada tanda akan reda.

"Lee Sarang Bunda manggil nak, lihat sini" titahnya lagi. Yang entah ibu dua anak itu sadar atau tidak kalau tampilannya yang masih dibaluti handuk, membuat pria di sebrang sana memerah, meneguk ludah dengan susah payah.

"hei. Sarang lihat Bunda mu dulu sayang" dilihat Mark sedikit menarik pundak Sarang agar mau menatap layar ponsel.

"Bunda hiks Sarang sedih huwaa" si kecil akhirnya menatap kamera, mata dan hidung yang memerah langsung dapat dilihat jelas oleh Arin.

"sedih kenapa sayang? Coba cerita sarang kenapa nangis pagi-pagi? Mimpi buruk ya?"

"tidak bukan" ponsel diambil oleh si cantik, tangisnya sedikit mereda ia turun dari gendongan Mark, tampaknya ia akan memulai cerita pagi harinya pada sang Bunda.

Cerita pagi, kegiatan sederhana itu memang kerap kali terjadi kala Arin membangunkan Sarang untuk mandi. Sebelum beranjak sicantik pasti akan menceritakan perihal mimpinya di malam hari, mimpi dia jadi ikan cupang lah, mimpi kakinya di gigit kucing lah, mimpi dia bisa terbanglah atau tak jarang mimpi buruk yang menakutkan hingga membuatnya menangis dalam tidur tak luput dari cerita paginya.

"Sarang nggak mau disini" lanjutnya. Kali ini tampaknya memang bukan mimpi buruk yang membuatnya menangis.

Alis Arin terangkat "lho kenapa?kan Sarang sendiri yang mau tinggal bareng Ayah"

"iya tapi sarang enggak mau tinggal dirumah ini. Rumahnya jelek, nggak punya warna hiks"
Tertohok sekali si bapak yang sedari tadi menyimak dari sisi kiri mendengar penuturan sang putri. Di perhatikan sekeliling rumah, ah, memang Mark akui cuma ada warna putih di rumah besar tersebut.

"Sarang nggak boleh ngomong gitu ih, jelek. Bunda nggak pernah ajarin buat ngomong nggak sopan ya. Rumah ayahmu bagus tau, besar lagi Sarang bisa bebas lari-larian disana kan"

"tapi Sarang enggak suka hiks"

"terus maunya apa? Pulang kesini lagi,tinggal dirumah Bunda"

"tidak mau" Si cantik menatap sosok Mark yang sedang mengusap pipi basahnya "Sarang mau tinggal sama ayah, tapi dirumah yang dulu, dirumah Sarang tumbuh besar. Sarang kangen kamar dan ayunan Sarang Ayah hiks" lanjutnya mengutarakan keinginan terpendam. Dua raga manusia dewasa yang mendengar terdiam,rasa bersalah lagi-lagi menghantam raga, anak mereka ternyata menyimpan rindu yang mendalam akan rumah lama.

"Sarang"

"Hiks Bunda Sarang benar-benar kangen-"

"Sarang tidak boleh bicara begitu, rumah kita yang dulu sudah tidak ada karena Ayah sama Bunda sudah tidak saling cinta"

Dam!

Anak laki-laki yang baru bangun tidur menimpali.

Mom Dad let's go homeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang