Salam sambutan

8 5 0
                                    


"Ingat, paman harap.., ini terakhir kalinya kamu berulah." pria berumur sekitar 28 tahun itu memberi peringatan. Matanya menatap lurus jalanan kota, sesekali melirik kesamping.

Tiba-tiba ia terbelalak, Refleks membanting setir sebelum bagian depan mobil menabrak tiang tengah jalan.

Merasakan guncangan mendadak, hampir saja gadis yang tengah duduk santai di jok samping sopir itu terhuyung menabrak dasboard mobil, jika saja sealbelt yang melingkar indah ditubuhnya tidak terpasang. Dadanya naik-turun, dengan jantung yang hampir saja berhenti berdetak merasakan serangan panik.

Bernapas lega, "Hampir saja." beruntung berbelok tepat waktu, jika tidak, hanya ada dua kemungkinan. Bagian depan mobil lecet atau sialnya harus memutar lebih jauh lagi. Bisa-bisa mereka terlambat, dan itu bukanlah pilihan bagus.

Mendengus kasar, gadis itu melirik tajam pria tampan dengan balutan jas hitam-biru navy, terlihat kontras dengan kulit putihnya.

"Paman! Sepertinya, kalimat peringatan pokus saat menyetir itu, berlaku padamu." meski diucapkan dengan nada lembut dan terkesan datar tanpa emosi, tetap saja kalimat sindiran itu terdengar tidak menyenangkan. Jack, pria yang dipanggil Paman itu meringis, menyadari kebodohan yang bisa saja berujung fatal.

"Baiklah, maafkan, Paman. Tapi, cobalah untuk tidak terlibat masalah, apa kamu tidak bosan terus-menerus pindah? Itu sangat tidak nyaman bukan?"

Gadis itu diam, enggan menjawab. Membuang pandangan keluar jendela, terlihat orang-orang yang berlalu lalang atau sekedar berkerumunan menunggu bergantinya lampu rambu lalu lintas menjadi merah. Kalau boleh jujur, ia juga bosan, tapi, apa yang bisa dilakukan jika takdir saja tidak memihak, mengeluh hanya akan membuang energi sia-sia.

"Qira?"

"Bukan salahku! Mereka membuat masalah tanpa aku inginkan."

Jack berdecak tidak suka. "Kamu hanya perlu mengabaikannya." pria itu menoleh sekilas. "Berusahalah untuk tidak terlibat, jangan coba-coba untuk membuat masalah, lagi!" serunya menekan kalimat terakhir seperti ancaman.

Sontak saja gadis itu menoleh malas, lalu menghembuskan nafas gusar, "Aku tidak bisa janji." Jack menatap tak percaya, mulutnya terbuka bersiap untuk protes namun gadis itu melanjutkan kalimatnya. "mereka lebih menyebalkan dari, Paman." Qira berujar sinis, terdengar tidak bersahabat.

"Qirani!" intrupsi pria itu tegas, melayangkan tatapan maut seolah siap menerkam mangsanya kapan saja. Qirani diam, membuang pandangan, sangat alamiah, sebagai gadis labil berumur 19 tahun, wajar saja masih sangat kesulitan baginya mengontrol emosi.

"Ini yang terakhir, tidak ada toleransi! Jangan berulah atau berhenti sekalian!" final pria itu dengan ancaman mutlak tidak terbantahkan. "Dengar?!"

"Dengar, Paman."

***

Langkah kaki terdengar begitu menggema disepanjang koridor, sesekali melirik kiri dan kanan dengan kening berkerut, dapat dibayangkan seberapa sepi kawasan gedung itu. Padahal jarum jam baru menunjukkan pukul 08:15 A.M.

Semenjak memasuki gerbang dengan tulisan 'SAN University' hingga kini belum satupun eksistensi seseorang yang terlihat. Apakah ini kampus terbengkalai? Ah, tidak, tidak, bangunan semegah ini-impossible. Batin Qira.

"Ada apa dengan kampus ini? Paman tidak sedang mengerjai aku, bukan?" gumamnya lirih bahkan terdengar seperti bisikan.

Kedua tangannya terangkat, mengeratkan jaket, tiba-tiba saja hawanya terasa sangat dingin membuat bulu kuduk meremang. Mendengus kasar, tidak menyukai perubahan atmosfer yang terasa kurang bersahabat.

Qirani berusaha tetap tenang, ingat Qira kamu hanya perlu mengabaikannya. Tapi entah kenapa semakin melangkah semakin sesak rasanya.

Langkahnya perlahan melambat seiring dengan aroma wangi yang begitu memabukkan menyeruak masuk ke indra penciuman, hingga akhirnya ia mematung ditempat. Menatap lekat mawar merah yang tergantung pada salah satu loker.

Ririn Dwi Adindra.

Detik berikutnya, suara sirene polisi terdengar dari kejauhan, berhasil menyadarkannya dari lamunan. Menoleh cepat, gadis itu menatap lekat ujung koridor.

***

Orang-orang berkerumunan membentuk lingkaran, mengelilingi objek penting yang dibatasi garis kuning khas polisi sebagai tanda TKP. Saling berdesak-desakan demi memuaskan rasa penasaran, seketika mata mereka membola sempurna.

"Pagi ini tepat pukul 08:09 A.M, korban dinyatakan meninggal bunuh diri, ia melompat dari atap kampus." ditengah keributan, Seorang pria berpakaian serba hitam memberi tahukan rekan timnya.

"Siapa saksinya?"

Leo menunjuk gadis yang duduk disamping mobil ambulan dengan dagu. "Han, aku akan menanyainya lebih lanjut, tadi dia masih terlihat shock." pamitnya tanpa menunggu persetujuan pria berkulit putih keturunan Korea-Indonesia bernama Han Sano itu.

Para polisi dan dosen mencoba menenangkan para murid dan sebagian lagi dengan cekatan membantu petugas medis menangani korban.

"Pagi yang menegangkan, meski rasanya harus berterima kasih.., dengan begini kegiatan belajar akan tertunda." Raka berujar datar melihat kekacauan di lapangan.

Suara decakan terdengar, menatap tidak suka pria disampingnya. "Setidaknya berpura-pura bersimpati, dengan wajah datar itu." Davian menyindir mengundang kekeh-an yang lain kecuali Kael, terlihat tidak peduli.

"Ini lebih sopan dari pada tertawa," Raka balas menyindir.

"Seolah kita bahagia diatas kematiannya." Reiqa menyandarkan tubuh pada salah satu pohon. wajahnya menengadah, menatap langit yang seketika mendung. Semua sontak menoleh kecuali Kael, lebih memiliki duduk dianak tangga, menatap lapangan.

Ah, lebih tepat menatap seorang gadis dengan rambut digerai, tengah berbicara dengan seorang pria seumuran atau sedikit diatas mereka dengan style hitam, bisa dipastikan seorang detektif. Sesekali mengangguk paham sembari mencatat dalam buku kecil seperti memo.

"Jangan lupa, fakta bahwa dia sangat mencintaimu." celetuk Alan tanpa dosa yang dibalas tatapan datar pria tersebut. "atau bisa disebut terobsesi."

"Ya, berharap saja dia tidak memutuskan bunuh diri setelah penolakan-mu." kalimat yang terlontar mulus dari mulut seorang Davian membuat mereka membisu. Bahkan Reiga yang menjadi topik pembicaraan hanya menatap sekilas sebelum kembali menatap tumpukan awan hitam, ah tiba-tiba suasana hatinya seperti awan itu.

Kael tersentak, mengingat sesuatu. Benar, gadis yang menjadi saksi mata atas ditemukannya korban pagi ini tidak lain adalah teman korban. Keningnya berkerut samar mengingat nama gadis itu dan tanpa sadar mengalihkan pandangan, saat itu juga matanya menyipit.

Diujung tribun yang mereka tempati saat ini, terlihat seorang gadis memakai jaket hitam. Raut wajahnya tenang, terkesan datar tanpa ekspresi, rambut hitam legam yang dikuncir dengan poni yang menutupi kening, terlihat sangat sempurna.

"KAEL!"

Seruan itu menyadarkan Kael dari lamunannya, lantas menoleh dengan pandangan seolah bertanya, 'apa?'.

"Ada apa? Kau melamun?" Alan bertanya merasa khawatir dengan sikap pria itu yang tidak biasanya melamun.

"Tidak!" balas Kael seadanya, ia kembali menoleh tapi gadis itu hilang entah kemana.

"Ayo." Davian menarik lengan Kael, membantunya berdiri, menyusul yang lain didepan sana.

***

"Baiklah anak-anak, sekian pelajaran kita hari ini, jangan lupa, saya tidak menerima tugas lewat dari jam 02:00 P.M besok."

"Baik, Mr!" jawab mereka serentak.

Satu persatu mulai keluar meninggalkan kelas. Qirani membereskan barangnya kedalam tas dengan santai, hingga ia tersentak saat seseorang tiba-tiba duduk sembari mengulurkan tangan.

"Hay! Aku Mira," gadis dengan surai coklat sebahu itu menatap penuh binar. Bukanya balas menjabat, Qirani hanya mengangguk kemudian beranjak keluar kelas.

__________

Salam manis,
Ra

ROSE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang