jiwa yang lemah

3 5 0
                                    

"Sadar juga, akhirnya."

Qirani yang baru saja membuka kelopak mata langsung menoleh mendengar kalimat mencibir pria bernama Davian yang tengah membaca disudut ruangan dekat jendela. Pria itu menutup bukunya kasar, meletakkan diatas meja lalu menatap tajam.

Qirani merubah posisi menjadi duduk, tanpa sengaja matanya menangkap gadis yang tengah terbaring disamping kasurnya, penuh dengan luka-luka cakaran.

"Kenapa terkejut? Bukankah kau sendiri yang membuatnya begitu?"

Memejamkan mata, Qirani memegangi kepalanya yang berdenyut. ia meringis kecil merasakan sakit, tubuhnya seakan remuk redam, inilah alasan mengapa ia sangat benci dengan sosok itu.

"Hey! Aku berbicara padamu, Nona!" geram Davian, karna terus diabaikan.

"Bukan aku," Qirani berujar lirih dengan napas putus-putus.

"JELAS-JELAS KAU PELAKUNYA, MASIH TIDAK MAU MENGAKU! APA PERLU AKU TUNJUKAN BUKTI CCTV?!" Davian berdiri, membentak dengan tatapan nyalang. Merasa tidak habis pikir, jelas-jelas ia melihat kejadian itu dan gadis itu masih tidak mau mengaku.

Saat itu juga pintu terbuka. Alan dengan wajah panik berjalan mendekat mencoba menenangkan. "Vian, tenanglah, ini unit kesehatan."

Davian mendelik, berbalik menghadap jendela. Mencoba meredam emosi dengan menarik napas dalam-dalam. Kael melangkah mendekati Qirani, menyodorkan botol minum. Gadis itu menatap kosong beberapa detik sebelum akhirnya menerima dan meneguknya. Sementara Raka dan Reiga bersandar pada dinding, bak penonton menyaksikan drama kehidupan.

"Lalu katakan, kau yang memelukku saat itu?" Davian berbalik, tampaknya ia sudah sedikit lebih tenang.

Hembusan napas panjang terdengar, Qirani bangkit lalu berjalan beberapa langkah. "Iya, itu aku. Tapi, itu juga bukan aku." jawabnya kurang yakin.

Kerutan samar tercetak di kening mereka, kurang paham dengan kalimat yang gadis itu lontarkan.

"Apa maksudmu?" Reiqa membuka suara, sedikit tertarik.

"Hm, kau punya kepribadian ganda, begitu?" tanya Alan menyimpulkan, kalimat 'itu aku tapi itu juga bukan aku' dapat diartikan sebagi orang yang memiliki kepribadian ganda. Tapi sayangnya Qirani menggeleng tegas.

"Kau merindukanku." tandas Davian seketika membuat semua orang bingung, bahkan Qirani sampai memiringkan kepala.

"Hah?" Alan cengo sendiri. "itu pertanyaan, tapi kau mengucapkannya seperti pernyataan."

"Kau penguntit!" lanjutnya mengabaikan perkataan Alan.

"Itu terdengar kasar, Bung." komentar Raka.

Qirani terbelalak, sontak menegakkan badan, tidak menyangkan dengan apa yang baru saja ia dengar. "Dengar, aku bahkan tidak mengenalmu." balasnya cepat.

Davian mendesis sinis, menatap remeh. Baru saja ia ingin membuka suara seseorang masuk tanpa permisi.

"Qira!"

"Dari tadi aku mencari mu, hampir seluruh kampus ini aku jelajahi. Bahkan aku sempat berpikir kalau kau hilang, ternyata ada di sini. Beruntung ya, aku belum sempat menelpon polisi, jika—owh astaga! Itu Gabby!" Omelan Mira berubah jadi pekikan, ia kaget setengah mampus. Spontan menunjuk gadis di kasur dengan mata membola, seolah sadar akan sesuatu mulutnya terbuka lebar lalu secara perlahan mengarahkan telunjuk tepat didepan wajah Qirani.

"Apa?"

"Jadi benar kau dan Gabby–" kalimat Mira menggantung diudara saat telunjuknya ditepis kasar, ia berdecak sebal kemudian menatap penuh, menuntut penjelasan. "Jawab pertanyaan ku."

ROSE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang