7.
RAYUAN MAUT IRENE
Semenjak kencan pertama—nyaris sebulan lalu, akhirnya mereka jadi dekat. Selalu ada kencan-kencan berikutnya. Irene jadi ketakutan sendiri. Ngeri ia betul-betul pindah hati.
Seandainya ia di posisi Vino, Irene belum tentu mau memberi kesempatan bagi orang yang menyukainya. Tetapi, Vino mau dan bahkan memperlakukannya dengan baik, tak semena-mena, mentang-mentang ia ada rasa—setidaknya, itu yang ada di pikiran Vino, kan?
Dan jujur... Irene menyukai perlakuan Vino. Irene suka senyum kotak dan tawa renyah Vino. Irene gemas dengan wajah jengkel Vino setiap kali digombalinya. Irene senang setiap kali Vino menyempatkan diri di sela-sela kesibukan pemuda itu yang lagi berperang dengan tugas dan ujian, demi menemaninya yang sedang bosan, tetapi tak ada teman yang bisa diajak jalan.
Pergi bersama Vino selalu seru dan menyenangkan. Ia diajak melakukan banyak hal yang tak pernah terpikirkan olehnya, mulai dari duel bulutangkis, main basket, bersepeda memutari kota, panjat tebing, berdayung di danau, berkunjung ke museum fotografi, hingga melakukan hal kesukaannya—kulineran!
Vino juga bersedia mendengarkan keluh-kesahnya, seperti tentang anggota kelompoknya yang laknat—selalu beralasan setiap diajak mengerjakan tugas. Akhirnya, ia harus mengerjakan seorang diri. Vino bisa bersimpati dan bahkan ikut memaki teman-temannya. Lucu sekali, ia dan Vino jadi gibah bersama.
Ketika siklus hormonalnya datang, ia bad mood parah dan marah-marah melulu ke Vino di telepon, padahal pemuda itu tak salah apa-apa. Tak lama, Vino datang ke rumahnya, membawakan ia makanan dan minuman untuk mengobati food craving-nya.
"Udah, kan? Jangan marah-marah lagi. Lo lebih cocok bermulut manis, daripada bermulut sadis," kata Vino saat itu, sambil menepuk perutnya pelan.
Irene tak menyangka jika seorang El Vino Atmadja ternyata hangat dan romantis. Ia merasa jahat sekali, selama ini sudah berpikir yang macam-macam tentang Vino. Ia pikir Vino hanya sebatas pemuda urakan, jutek, dan tak berperasaan.
Tapi, Irene belum cerita ke teman-temannya perihal kedekatan mereka. Ia tak mau diolok habis-habisan. Pasti mereka akan terbahak-bahak dan meledeknya, "Apapun makanannya, minumnya? Ludah sendiri! Hahaha!"
Oh, tolong. Irene belum siap menerima cercaan itu.
Pernah suatu hari, Senada yang pulang duluan, balik lagi ke kelas dan berujar histeris, "Rene, gawat! Masa gue lihat Kak Vino berdiri di depan loker lo?! Dia mau ngapain coba sampai cari tahu di mana keberadaan loker lo?! Please banget, untuk sementara waktu, lo jangan pergi ke area loker dulu. Oke? Ini demi keselamatan lo, Rene! Gue takut banget dia mau isengin lo dengan taruh apaaa gitu di loker lo atau dia mau ketemu cuma untuk ngeledekin lo kayak di kantin dulu! Gue memang gak bisa bertanggungjawab dengan mengaku perbuatan gue ke Kak Vino, tapi gue akan bertanggungjawab dengan melindungi lo dari gangguan dia! Pokoknya, gue akan pastikan lo tetap aman dan nyaman kuliah di Syzygy!"
Semenjak hari itu, setiap ia dan Vino hendak jalan, titik temu mereka tak lagi di lokernya, melainkan di parkiran mobil Fakultas Teknik. Area yang jarang dijamah ketiga temannya. Senada selalu menebeng pacarnya si Jeremy dan mobilnya diparkir di lahan Fakultas Ekonomi. Feli? Kak Saga lebih sering membawa motor gede-nya dibandingkan mobil. Jodie? Gadis itu masih bergantung dengan ksatria baja hijau. Jomblo soalnya.
"Mau ke mana lagi?" Suara maskulin Vino menyadarkan Irene dari lamunan.
Mereka lagi di pasar malam untuk yang ketiga kali. Sudah pantas mendapatkan piring cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARA-GARA SENADA!
Fanfiction"Masa jodoh gue kaya anggota gangster?!" Irene Valencia tak pernah menyangka ia akan berurusan dengan El Vino Atmadja, anggota Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) yang gondrong, bertindik, urakan, jutek, dan punya mata mengintimidasi. Ih, pokoknya sanga...