11.
EDELWEIS DARI VINO
Sehabis perkuliahan di hari Senin yang bikin kepalanya pening, Irene segera bergegas menuju atap Teknik. Vino ada di sana, duduk di pinggir tanpa pembatas, tampak tenang, meskipun kakinya tengah melayang-layang di atas gedung berlantai lima.
Jumat malam, Felicya mengabarinya bahwa Vino mengajak Kak Saga mendaki gunung lain. Padahal Irene sudah bersiap-siap, hendak menyambangi rumah pemuda itu lagi.
Akhirnya, akhir pekan Irene dihabisi dengan mengunci diri di dalam kamar, melamun, mendengarkan lagu mellow, membaca quotes galau, curhat di media sosial, menangisi kisah cintanya yang selalu berakhir mengenaskan.
Vino yang merasakan kehadiran seseorang, lantas menoleh dengan raut datar. Ia segera bangkit ketika mengetahui siapa yang sedang memasuki wilayahnya.
"Tunggu dulu, Vi!"
Dengan teguh, Irene menahan langkah pemuda itu. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi. Ia mau menyelesaikan semuanya. Persetan dengan ego dan harga dirinya.
"Gue suka sama lo!"
Irene bisa merasakan tubuh Vino menegang dalam genggamannya.
Menahan sesenggukan, Irene berujar lagi, "Gue betul-betul suka sama lo, Vino. Ini bukan sekadar ucapan manis atau gombalan semata. Jadi, please... jangan pergi. Dengar penjelasan gue dulu."
Tak ada reaksi. Tak ada penolakan pula. Vino tetap di posisinya, membelakangi Irene, sehingga Irene perlu bergeser ke depan pemuda itu yang langsung memandangnya dengan ekspresi tak terbaca.
Irene berdeham, berharap serak di suaranya akan menghilang. Ia mulai menjelaskan semuanya pada Vino.
Tentangnya. Tentang mereka. Tentang sebongkah rasa sesal yang belum sempat disampaikan. Tentang serangkaian kata maaf yang belum sempat disuratkan. Tentang kisah mereka yang belum sempat dimulai, tetapi harus berakhir karena tak direstui takdir.
"Gue tahu gue salah, karena gak jujur sama lo sedari awal," Pandangan mereka bertaut, "Jujur, gue gak menyangka jika kita bakalan cocok dan sedekat ini. Gue memilih buat simpan rahasia itu, karena gue gak mau menyakiti hati lo. Gue gak mau lo merasa malu karena udah salah paham. Tapi, ternyata bom waktu. Semakin lama gue simpan, semakin banyak juga rasa sakit yang lo terima. Untuk itu, gue benar-benar minta maaf sama lo, Vino."
Irene menggigit bibir bawahnya, "Awalnya, gue memang mau mendekati Kak Zayn. Tapi, gak butuh waktu lama bagi gue untuk jatuh hati sama lo. Gue jadi sadar kalau perasaan gue ke Kak Zayn hanya sekadar suka-sukaan aja. Tapi, perasaan gue ke lo itu... beda, Vi."
Vino tetap tak bergeming, senantiasa balik menatap Irene dalam-dalam, seolah-olah sedang mencari sesuatu di sana. Ya, memang benar. Ia mencari ketulusan. Itu kata kunci hatinya.
"Lo harus tahu, Vino," Sorot Irene kian menegas. Intonasinya penuh penekanan, "Semua tindakan, ucapan, sikap, senyum, bahkan tawa gue selama ini tulus. Gak ada yang dibuat-buat. Gue gak berpura-pura. Demi apapun... gue gak jago akting, Vino! Dulu pas SMA, gue jadi beban di kelompok drama bahasa Inggris karena akting gue jelek! Kalau gak percaya, tanya aja Sena, Feli, dan Jodie! Mereka satu SMA sama gue!" sungut Irene frustasi dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya.
"Please, lo jangan sangka. Itu semua sungguh-sungguh, karena gue menikmati waktu gue bersama lo."
Vino sejenak menghela napas, menyaksikan betapa putus asanya Irene. Rambutnya acak-acakan diterbangkan angin. Sepasang mata bening itu lagi-lagi sembab. Bibir natural yang tak sempat dipoles itu gemetar, seperti kewalahan dalam mengutarakan isi hatinya yang pelik.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARA-GARA SENADA!
Fanfic"Masa jodoh gue kaya anggota gangster?!" Irene Valencia tak pernah menyangka ia akan berurusan dengan El Vino Atmadja, anggota Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) yang gondrong, bertindik, urakan, jutek, dan punya mata mengintimidasi. Ih, pokoknya sanga...