Kembalinya pembuat onar

2 0 0
                                    

Sebuah truk bermuatan kayu melaju tak terkendali. Dari arah yang berlawanan, sebuah mobil silver melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil silver baru menyadari bahwa truk didepannya tidak dapat dikendalikan lalu dengan segera mobil itu menghindari truk. Alhasil mobil menabrak pohon besar, bagian depan mobil mengeluarkan asap. Selang beberapa menit suara ledakan terdengar. Dengan cepat, api melahap habis mobil itu.

"Ayahh..."

Bela terbangun dari tidurnya. Ia mengelap keringat dingin di dahinya.

Mimpi ini lagi. Mimpi buruk yang selalu ingin dia hindari. Bahkan telah menjadi kenyataan. 

Ayah maafkan aku. Aku akan pulang hari ini ayah. Aku akan bertemu denganmu. Tunggu aku ayah...

Bela beranjak dari ranjang dan bergegas mandi. Hampir setengah jam Bela berada di dalam kamar mandi. Setelah berganti pakaian ia mengambil koper dan bergegas ke bandara.

Didalam pesawat Bela hanya diam sambil melihat keluar jendela. Mungkin Bela sangat merindukan ayahnya. Sesekali Bela menitikan air matanya dengan cepat ia menghapusnya.

Pesawat akhirnya mendarat. Para penumpang mulai turun begitu pun Bela.

"Dimana anak itu?" Elli berdecak karena tak kunjung menemukan Bela.

"Dengar kita harus segera membawanya sebelum om Erland tahu kalau di sudah pulang." Sena mencoba meluaskan pandangannya supaya dengan mudah menemukan sosok Bela diantara banyaknya orang-orang.

Tampak seorang gadis cantik memakai kacamata hitam tengah berjalan ke arah mereka berdua.

"Kakak ini aku Bela." Bela melambaikan tangannya.

"Apa yang kau pakai ini." Sena menunjuk jaket yang sedang dipakai Bela.

"Aku berusaha untuk tidak mencolok diantara yang lain. Aku tadi sempat melihat orang suruhannya Mama jadi aku segera mengganti bajuku, mengganti penampilanku." Penjelasan Bela membuat Elli dan Sena terkejut.

"Ayo kita segera ke mansion. Kita tidak boleh lama-lama disini. Kita juga sedang dalam mode penyamaran." Elli, Sena dan Bela bergegas meninggalkan bandara agar mereka tidak ketahuan.

Disisi lain, keluarga Bela sedang menikmati makan siang mereka. Diatas meja tersaji bermacam-macam makanan.

"Ma, Aurel udah kenyang." Aurel terlihat manja hingga membuat Arron berdecak.

"Yaudah minum jusnya saja." Aurel mengangguk dan langsung meminum jus apel sesuai dengan perintah mamanya.

Aaron sudah terbiasa melihat mamanya yang sangat perhatian pada Aurel. Dia jadi teringat pada Bela. Betapa ia sangat merindukan Bela adiknya.

Kenapa mama lebih perhatian pada aurel yang bisa dibilang orang asing dirumah ini. Kedatangannya membawa perubahan yang besar bagi keluarga ini. Andaikan ayah masih hidup, kita pasti menjadi keluarga yang sangat bahagia di dunia ini. Aku, Bela, Mama dan Ayah tanpa adanya si pengacau yang manja ini.

"Aaron.."

"Iya ma." Arron langsung menatap mamanya.

"Kenapa kamu melamun? apa yang sedang kamu pikirkan ?" tanya mama yang penasaran apa yang sedang dipikirkan oleh putranya.

"Tidak Ma. Aaron hanya sedang merindukan ayah." aaron sedikit menunduk.

Kalau aku bilang merindukan Bela pasti si ulet bulu akan buat ulah. Maaf Ma Arron berbohong.

"Besok kita ke makam ayahmu. Mama juga merindukannya." Mama Dyra tersenyum namun terlihat dimatanya sebuah kesedihan yang mendalam.

"Iya kak, besok kita pergi bersama-sama." Timpal Aurel dengan senyuman yang manis.

Aaron hanya senyum dan mengangguk paksa. Direlung hatinya dia tidak ingin Aurel ikut ke makam ayahnya.

Setelah menghabiskan makanannya, Aaron pamit dan meninggalkan meja makan. Dia berencana untuk kembali ke kantor untuk memeriksa beberapa berkas disana.

Bela, Sena dan Elli sudah sampai di mansion pribadi mereka. Tidak banyak yang tahu karena lokasi mansion berada di pinggir hutan jauh dari kota. Mansion itu mereka bangun menggunakan uang pantungan mereka bertiga. Sena dan Elli usianya lebih dewasa 4 tahun dari Bela. Mereka tinggal di panti asuhan yang berbeda namun nasib mereka sama. Mereka juga seumuran mungkin hanya berbeda bulan saja.

"Hmm, Seperti yang aku inginkan." Bela terlihat kagum namun terkesan dingin. Dari luar saja mansion ini membuat Bela kagum apa lagi dalamnya. Bisa dibayangkan betapa megahnya.

"Kita jarang kesini, mungkin hanya seminggu sekali." Sena membukakan pintu, mempersilahkan Bela untuk masuk.

"Istirahatlah Bel! katanya nanti kau ingin ke makam ayahmu. Tapi kau harus pergi malam nanti. Jika kau pergi sore ini mungkin Tante Dyra akan tahu kalo kau baru pulang."

"Iya kak. Aku juga sangat lelah dan mengantuk." Bela menguap. Lalu segera menarik koper dan menuju kamarnya.

Setelah terdengar pintu kamar tertutup, Elli merasa lega dan sesekali menghembuskan nafasnya.

"Kenapa auranya sangat berbeda? Udara di mansion ini menjadi dingin. Aku sampai takut untuk menatapnya. Aku merasa matanya sangat tajam. Berbeda saat 5 tahun lalu kita mengunjunginya di Australia dulu." Sena mengelap keringat dingin di pelipisnya.

"Entahlah aku juga merasa sesak. Seakan-akan oksigen di ruangan ini semua digunakan Bela hingga tidak ada yang tersisa untukku. Bela benar-benar berbeda saat terakhir kali kita ke Australia. Atau mungkin kita belum terbiasa dengan kehadirannya."

Elli juga tampak bingung dengan keadaan yang mereka alami sekarang. Bagi mereka Bela berbeda.

"Eh, sebentar. Apa jangan-jangan dia membawa hantu dari Australia? tidak tidak. Tidak mungkin Bela membawa hantu pulang pasti hantu itu yang ikut Bela pulang." 

Sena mulai bercerita tentang hantu yang mengikuti manusia.

Elli hanya menghela nafas. Ia sudah jengah mendengarkan Sena dengan pemikirannya tentang hantunya itu. Elli pergi ke kamarnya meninggalkan Sena yang sibuk memikirkan tentang hantu.

Hantu hantu dan hantu. Dia selalu bicara tentang hantu. Hantu beginilah, begitulah. Sekarang dia menceritakan kisah hantu lagi? Aku benar-benar sudah kenyang dengan semua dongengnya. Aku harus pergi meninggalkannya sebelum aku menjadi hantu juga. ~Elli

Kelas Eksklusif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang