November

80 20 0
                                    

November

Badai berkecamuk saat malam mulai unjuk gigi. Kericuhan kian santer terdengar saat calon penyihir-penyihir hebat tengah berusaha mempertahankan sekolah dan nyawa satu sama lain hingga titik darah penghabisan.

"Tidak... Tidak mungkin."

Kalim Al-Asim, si penetral murni membulatkan mata saat kubah netral yang menjadi lapis terakhir darinya berhasil ditembus oleh sang naga yang mengamuk.

Napasnya tersenggal dengan kepala yang bergerak ke kiri ke kanan. Tangan meremat sesuatu yang telah digenggamnya tanpa sadar, begitu dingin dengan ketakutan yang mendera saat sebuah visus menghantui mimpi menimbukan sebuah kampa dari dalam,

"Apa yang memancing kemarahan si kadal itu?" Leona Kingscholar belum mau menyerah dengan sihir uniknya.

Namun hasilnya nihil, sisik naga terlalu sulit ditaklukan. Semakin Leona menekannya, moncong naga besar di sana terus menyemburkan api yang bisa menghanguskan apa pun. Tak terkecuali dirinya sendiri.

"Mustahil kita melawannya, Leona san." Ruggie mencoba mengatur napas. "Senior Malleus terlalu kuat—

"Minggir, Ruggie!" Penyihir lain dari bawah laut membuat dinding air dengan volume yang tidak sedikit. Ia berusaha melindungi kepala lain yang mencari cara untuk mengembalikan Malleus Draconia seperti semula, "Tidak ada yang mampu menghentikannya." bibir tipis itu bermonolog dengan tenang, dinding airnya mengeluarkan asap hitam saat bertubruk dengan api hijau milik Malleus,

"Lilia... Lilia mana!?" Vil datang dengan pakaian yang sudah compang camping, mahkota sudah tidak lagi menghias kepala pirangnya, sudut bibir mulai mengalirkan likuid merah yang mengumpul pada dagu lancipnya lalu menetes bertemu tanah yang dipijak mulai membuka suara dengan pengaturan napas payah.

Iris biru terbuka dengan perasaan kejut. Andela masih mencoba mengatur napas.

Butuh waktu sepersekian detik untuk Andela menyadari iris biru lain yang memandangnya sambil mengulas senyum tipis. Sedikit usapan dari kening hingga pucuk kepala dilakukan olehnya tanpa penghalang berbahan dasar karet hitam yang tebal beruas lima untuk setiap jari,

"Selamat sore menjelang malam."

"Apa...?"

Andela langsung terlonjak dari posisi terbaringnya. Menyadari bahwa tubuhnya telah diselimuti oleh almamater si penyihir yang ia duga telah lama menunggunya untuk bangun.

"Apa... mimpimu, jika aku boleh tahu?" tanyanya, "Kau meremat tanganku begitu kuat."

"Senior Lilia sedang menahan senior Malleus untuk tidak keluar dari sekolah!" Ratu lain yang mengadu api merah miliknya dengan api hijau menanggapi pertanyaan dari seniornya, "Deuce ikut dengannya. Ia berusaha mengembalikan semua sihir yang dilemparkan oleh senior Malleus."

"Semua ini sia-sia." Ace yang biasanya tidak serius menganggapi sesuatu, mulai berkomentar. Dari dahi pemuda itu mengalir likuid kemerahan yang menutup markah hati pada mata kirinya,

"S-semua sudah mencapai batas." Idia berujar, surai apinya mulai redup dengan malam yang menggelora. Tangan mengayun mengeluarkan api biru. Menyembur pada api hijau yang masih mengincar beberapa nyawa di bawahnya, "Tidak ada dari kita yang benar-benar bisa mengembalikannya."

Berniat menjawab, namun visus berbayang telah mengganggu penglihatan pikiran. Dalam telinga telah berdengung suara-suara yang familiar. Kalbunya menangis, jantungnya memaksa untuk memompa darah lebih cepat hingga saraf kepala ikut menegang,

"Sakit—

"Hm?" tanggap sang penyihir, "Sakit? Berbaringlah sebentar lagi." Ia memaksa. Menarik tangan sang dara, lalu kembali menidurkan kepala hitam bersurai panjang sekali lagi untuk berbaring di atas pangkuannya.

CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang