Embun tebal masih mendominasi pandangan, terkadang terasa perih di hidung saat embun itu ikut terhirup bersama udara. Tiupan angin bersuhu dingin masuk melalui celah-celah pakain, membuat beberapa orang yang mengenakan jaket menaikkan reseleting mereka. Beberapa orang yang tidak mengenakan jaket atau pakaian tebal hanya bisa memeluk dirinya untuk mengurangi hawa dingin. Apa mau dikata? Masih terlalu pagi untuk orang-orang berkumpul di sekolah. Bahkan matahari masih belum muncul sedikit pun.
Biarpun begitu, tidak satu pun dari para siswa menunjukkan raut kesal lantaran bus yang akan membawa mereka belum datang. Bahkan mereka lah yang datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Selang beberapa menit, delapan bus ukuran medium datang memasuki lapangan. Semua siswa yang menunggu kedatangan bus bersorak gembira, beberapa siswa yang tidak sabaran bahkan melesat menuju bus yang sudah parkir berjajar.
Suara kesrek terdengar sesaat dari megafon yang baru saja dihidupkan. Seorang guru memberi pengumuman agar seluruh siswanya diam dan berbaris dengan tertib. Setelah memberi arahan dan menyampaikan tata tertib, para siswa diarahkan untuk memasuki bus secara berurut.
Di depan salah satu bus, berdiri dua siswa laki-laki dan satu siswa perempuan. Mereka tampak enggan memasuki bus yang akan membawa mereka berwisata. Si perempuan tampak cemas bercampur gelisah, tatapan mereka bertiga mengarah pada ujung jalan yang terlihat dari celah gerbang.
"Arga, Rere beli airnya ke mana sih? Kenapa belum balik?" tanya perempuan cantik berkacamata itu.
"Gak tau tuh," jawab Arga santai. Meskipun begitu, hatinya juga merasa cemas.
"Kok jawabnya gitu sih? Kan kalian datangnya bareng. Lagian kenapa lo biarin dia pergi sendiri?" Antara marah dan cemas, kening gadis itu mengernyit.
"Dia perginya waktu gue kebelet, jadi gak bisa nemenin," jawab Arga tanpa merasa bersalah.
"Iih lo kok nyebelin banget sih hari ini?" merasa kesal dengan lawan bicaranya, perempuan itu mencubit lengan Arga dengan keras.
"Sakit, Livyaaa aw aw!" Arga merintih. Merasa bahwa Livya tidak puas hanya menyubitnya sekali, Arga bersembunyi di balik punggung Ferdy untuk menghindar.
"Udah kalian berhenti, Rere udah mau ke sini tuh," ucap Ferdy, matanya melirik ke arah orang yang berlari dari arah gerbang. Kedua pasang mata lainnya membuntuti arah pandang Ferdy.
"Lo beli minumnya di mana sih? Lama banget! Bus pertama aja udah mau jalan tuh." Baru saja datang, Rere langsung dihadiahi omelan dari Arga. Laki-laki itu tidak memberinya waktu untuk mengatur napas.
Tanpa membalas ucapan Arga, Rere langsung masuk ke dalam bus mendahului teman-temannya. Kantong belanjaannya ia letakkan sembarang di lantai bus, hingga salah satu air mineral yang dibelinya jatuh ke luar bus, tepat di bawah kaki Arga. Arga hanya menghela napas mengeluarkan rasa jengkelnya. Ferdy dan Livya memasuki bus, disusul Arga di belakang. Pandangannya tertuju pada Rere yang memejamkan matanya, perempuan itu menyandar kelelahan di bangku belakang.
Livya mengambil posisi di samping Rere, semantara Ferdy di samping Livya. Arga duduk di ujung kiri, di samping Rere. Bangku yang mereka tempati masih terasa lapang lantaran muatan bangku panjang itu adalah lima orang.
"Udah masuk semua belum?" tanya seorang guru yang duduk di bangku depan, di sebelah sopir.
"Kayaknya udah. Di luar udah nggak ada orang. Kalau negitu kita jalan ya," jawab guru itu sendiri.
"Tunggu, Bu!" Suara itu berasal dari bangku di depan Livya.
"Kenapa, Karen?"
"Fathan belum nyampai, Bu."
"Bukannya Fathan gak jadi ikut, ya?"
"Jadi, Bu. Lagi di perjalanan ke sini."
"Kita nunggunya lima menit aja, ya. Kalau belum datang juga, kita langsung jalan."