Kumandang azan menggema dalam kesunyian subuh, memanggil umat untuk segera melaksanakan sholat subuh. Kau terbangun dari mimpimu, entah apa yang kau alami dalam mimpi. Matamu berkedip sesaat, lalu kau menguceknya dengan jari-jarimu. Kau duduk di tepi ranjang, melamun dalam beberapa waktu. Perlahan manik coklat terang mu berkilau diterpa cahaya yang menyusup masuk melalui celah ventilasi. Cairan bening itu keluar dari pelupuk matamu, sepertkian detik hingga akhirnya mengucur deras. Kau sesenggukan, terisak dalam tangismu.
Kewajibanmu terhadap Tuhan telah kau laksanakan. Kau membuka pintu berwarna pink di dalam kamarmu lalu masuk ke dalamnya. Ricuh deras air yang mengucur terdengar hingga luar kamarmu. Dalam kebisingan yang kau buat, terdengar samar rintihan pilu dari mulutmu. Kau keluar dari bilik itu, seragam putih abu-abu telah melekat rapi di tubuh rampingmu. Kau berjalan menuruni tangga lalu duduk di meja makan bersama kedua orangtua dan seorang adik kecil mu.
Tatapanmu sendu, tak ada ukiran melengkung di bibirmu, kau tampak buruk dengan penampilan itu. Roti bakar coklat dan susu rasa vanilla telah terhidang di depan mata. Kau melirik sarapan pagi yang Ibumu siapkan. Tak ada tanda-tanda jika kau akan menjadikannya santapan untuk perutmu yang membutuhkan nutrisi.
Kau berdiri. Decitan kaki kursi yang bergesekan dengan lantai keramik menimbulkan bunyi yang membuat kedua orang tua mu melirik padamu. Kau tersenyum sekilas lalu berkata, “aku gak lapar. Aku pergi dulu, takut telat.” Ucapanmu membuat kedua orangtuamu saling pandang dengan alis yang bertaut, tanda tanya besar muncul di pikiran mereka. Kau tau itu, tapi kau tidak mempedulikannya.
Kini kau berjalan menuju sekolahmu. Jarak yang tak begitu jauh membuatmu urung untuk merpotkan ayahmu untuk mengantar mu ke sekolah. Matahari baru saja mengintip di ufuk timur, perlahan cahayanya menyinari permukaan bumi yang saat ini kau pijaki. Kau menyipitkan mata, merasa terganggu dengan cahaya yang menerobos masuk ke matamu.
Sepuluh meter dari gerbang sekolah, kau berhenti melangkah, menatap lirih bangunan di depan sana. Otakmu memintamu untuk terus melangkah ke depan, namun kau tak bisa membohongi hatimu. Hatimu begitu egois hingga akhirnya seluruh tubuh mu tunduk padanya. Kau berjalan memutar, kembali pada arah yang tadi kau lewati. Tak jauh dari tempat mu perpijak, kau berhenti lagi. Kini tatapan sendumu mengarah pada jalan kecil bebatuan yang ditepi-tepinya ditumbuhi rumput liar. Kau berjalan menyusurinya. Semak-semak berduru tak kau hiraukan saat menggores kulit beningmu.
Kau berhenti di sebuah gubuk tua yang usang. Beberapa bagian gubuk itu tampang menghitam menunjukkan jika bangunan kecil itu pernah dilalap si jago merah. Tempat itu sepi, gelap dan mengerikan. Namun kau tetap masuk ke dalamnya.
Rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi menutup jalan bagi cahaya mentari untk menyinari tempat itu, menyisihkan sorotan cahaya yang berhasil menerobos masuk melalui celah-celah rindangnya dedaunan.
Kau duduk di dalam gubuk itu, meringkuk di sudut ruangan yang tampak berantakan. Kau menemukan tempat itu beberapa hari yang lalu, saat seekor anjing nakal membawa lari tas bekalmu. Kau menghela napas. Terdengar berat, kau melakukannya seolah mengeluarkan semua sesak yang kau rasa. Kini kau terdiam, menatap langit-langit gubuk yang menghitam.
Hatimu memaksa pikiranmu untuk terbawa bersamanya. Kejadian-kejadian buruk yang tak kau inginkan silih berganti menghantui pikiranmu. Kau meremas kemeja putih bagian dadamu, seolah itu dapat menyingkirkan luka di hati yang tengah kau rasakan. Derai air mata yang telah kau simpan kembali mengucur dari balik kelopak matamu. Isakan tangis menyeruak hingga keluar gubuk tua.
Di lantai papan tua itu kau terbaring, matamu terpejam, mulutmu sedikit terbuka, mengeluarkan napas yang tak bisa kau keluarkan melalui hidungmu. Kau terlelap dalam tidurmu, membuang sementara beban yang saat ini mengganggu hati dan pikiranmu.