Perbatasan

294 4 7
                                    

Langit yang tadinya cerah seketika diselimuti kegelapan. Jalan bebatuan yang tidak rata seakan disulap menjadi aspal—mulus tanpa celah. Cherry menghentikan motornya di tengah jalan yang sedikit landai, lalu dengan cepat berbalik arah. Hanya ada kegelapan di depan sana, tetapi dia tetap nekat menerobos, setelah itu lenyap ditelan kegelapan.

Tidak. Kami bukannya ditelan kegelapan, tetapi keluar dari kegelapan. Langit kembali cerah, suara jangkrik berganti suara tonggeret. Aku menoleh ke belakang, suasana malam tadi lenyap, seperti tidak pernah ada di sana.

Belum jauh dari titik bergantinya siang ke malam tadi, Cherry menghentikan motornya. Dia menoleh ke arahku. Awalnya dia menatapku dalam diam, namun tiba-tiba terbit senyum di wajahnya. Aku tidak mengerti pesan tersirat apa yang disampaikannya. Dia mulai berbicara saat melihatku mengerutkan kening.

"Kamu tau rumor tentang perbatasan?" Cherry bertanya dengan antusias, namun hanya kujawab dengan gelengan kepala.

"Katanya, kalau lewat di sana sendirian, bakal tiba di dunia lain. Tempat yang selalu malam, seperti yang kita lihat tadi. Ternyata rumor itu beneran!" Cherry semakin girang, entah apa menariknya tempat seperti itu.

"Tapi, tadi kita masuknya kan berdua?"

"Eh? Iya, kok...." Mulutnya berhenti bersuara, ia bengong sebentar lalu tersenyum lagi, "berarti ini semakin menarik, kan?"

"Apanya? Kalau gak bisa keluar lagi, gimana?" Aku membantah kegilaan yang dipikirkannya.

"Tenang, kalau kita belum masuk terlalu lama, masih ada kemungkinan untuk keluar." Entah kenapa, aku mulai menangkap maksud dari ekspresi dan perkataannya.

"Bambu tadi ... apa itu perbatasannya?"

Cherry mengangguk keras.

"Kamu mau ke sana lagi? Sendirian?"

"Kalau bisa berdua, kenapa harus sendiri?" Matanya menatap jahil padaku, bibirnya tersenyum miring. Perasaanku mulai tidak enak.

Cherry menghidupkan motornya, lalu kembali berbalik arah. Aku berteriak. Karena tidak digubris, aku mengguncang bahunya, namun dia tetap tegar, tak gentar untuk memacu motornya kembali ke tempat tadi. Aku menutup mata saat motor melaju melewati rumpun bambu. Suara tonggeret yang bertalu menandakan tidak ada perubahan tempat yang kami masuki. Aku membuka mata, silau mentari langsung menerobos masuk. Terdengar helaan kekecewaan dari mulut Cherry, aku pun menghela napas lega.

Motor terus melaju, suaranya kalah berisik dari tonggeret yang sahut-sahutan. Kami berhenti saat tiba di destinasi, tujuan kami yang sebenarnya. Air tercurah deras dari ketinggian sekitar 20 meter. Kengerian yang sempat kurasakan tadi lenyap diterpa embun. Ada beberapa orang lain yang datang ke tempat ini. Cherry bilang, kemungkinan pengunjungnya sedikit, karena rumor perbatasan telah tersebar seantero kota, hingga beberapa daerah di luar kota. Mungkin mereka pengunjung dari luar daerah.

Aku tidak terlalu mengikuti perkembangan berita, bahkan aku tidak tahu jika beberapa minggu belakangan terjadi banyak kasus orang hilang. Dan rumor bahwa mereka tersesat di dunia lain pun menyebar, menjadi topik hangat hingga kini. Aku bertanya-tanya, jika Cherry seantusias itu untuk menjelajah di sana, kenapa tidak dari dulu dia lakukan?"

"Cherry."

Gadis itu hanya membalas dengan deheman, namun tidak berniat menoleh padaku. Aku mengambil kameranya yang membuatnya menduakanku.

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang