HAPPY READING!
****
"Lilyterne! Be the one and only" Suara semangat yang lantang dan membahana itu menggema di seluruh ruangan yang kini menjadi lokasi syuting film berjudul Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Galah. Ruang bawah tanah sekolah dipilih untuk kegiatan ini, keputusan yang diambil oleh Vano, sang ketua Lilyterne, yang berpendapat bahwa keheningan ruangan tersebut akan memberi mereka kedamaian untuk fokus tanpa gangguan suara luar.Keempat anggota inti tim produksi, yakni Vano, Tania, Chandra, dan Rio, mengenakan kemeja putih tulang dengan tulisan Lilyterne di bagian belakang. Inggit, meski tak ikut serta sebagai pemeran utama, tetap hadir untuk menulis naskah dan mendukung proyek ini. Namun, ia merasa sedikit tersisih. Ia hanya duduk, sesekali bergerak untuk mengambil barang yang diminta, sembari memperhatikan dengan seksama cowok berwajah dingin yang ada di dekatnya.
Film ini, yang mengisahkan perjuangan seorang ibu bernama Asih dalam menempuh hidup yang penuh rintangan demi anaknya, sudah ditulis dengan penuh kasih oleh Inggit. Namun, naskah yang penuh perasaan itu justru menjadi saksi bisu dari ketegangan yang tercipta di antara para anggota tim.
Syuting yang semula diperkirakan hanya memakan waktu empat jam, ternyata berlarut-larut. Tidak sedikit dari mereka yang tampak melupakan tugas, bahkan kesulitan dalam mengingat peran. Di tengah ketegangan itu, hanya satu sosok yang tetap kokoh menjaga standar: Vano, sang sutradara yang perfeksionis.
"Satu kali lagi," ujar Vano dengan wajah datar, matanya menatap naskah dengan serius. "Kalian siap, kan?" tanyanya, tatapan tajam mengarah kepada mereka yang sudah lelah.
Tak ada yang berani membantah. Mereka hanya bisa mengangguk, meskipun keletihan yang menggerogoti tubuh mereka mulai terasa semakin berat.
Inggit yang duduk di pojok ruangan hanya bisa memandang dengan iba. Meski tidak berperan langsung, ia bisa merasakan lelah yang menggigit, seolah ia pun terperangkap dalam gelombang ketegangan ini.
Tak lama, suara keras dan tajam milik Vano kembali memecah keheningan, melontarkan omelan dan kritik tajam untuk setiap kesalahan yang terjadi.
"Pencahayaan ini jelek! Ulang!" bentaknya, diikuti dengan perintah-perintah yang tak henti.
Ruangan yang sebelumnya terasa tenang, kini menjadi seperti neraka. Keringat bercucuran di wajah mereka, tangan yang lelah mengusap keringat itu dengan cepat. Semua berfungsi seperti wayang yang hanya bergerak ketika diperintah.
Rio, pemeran pianis protagonis, memencet tuts piano dengan salah. "Bodoh! Kerjaan lo ngga becus!" teriak Vano, seolah kemarahan tak bisa dibendung lagi.
Rian, pemeran pianis antagonis, lupa dialog. "Lo ngga hapal? Ulangi sampai benar!" omelannya menambah kesan bahwa waktu terus berjalan tanpa ampun.
Tapi, yang lebih membuat suasana semakin mencekam adalah suara Rio yang berusaha memberanikan diri untuk mengusulkan istirahat. "Van, gimana kalau kita istirahat?" tanyanya dengan suara yang hampir hilang, mengharapkan sedikit perhatian dari sutradara yang tak kenal lelah.
Vano menatapnya dengan mata yang penuh amarah. "Lo mau istirahat? Coba lihat hasil kerja lo dulu!" jawabnya tajam, sebelum menyodorkan kamera ke arahnya dengan keras.
Sementara itu, Inggit yang merasa prihatin dengan kondisi mereka akhirnya memberanikan diri untuk berbicara, meskipun mengetahui risikonya.
"Kak Vano, kamu kelewatan!" teriak Inggit, suaranya penuh emosi.
Vano berbalik menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh amarah. "Kamu bilang aku kelewatan?" serangnya. "Suatu organisasi butuh pemimpin! Kalian sudah memilih gue! Segala hal sudah gue lakukan demi kemenangan kita! Ini bukan cuma soal kalian!" ujarnya dengan nada yang hampir menyayat hati.
![](https://img.wattpad.com/cover/250320631-288-k432032.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPOTONG HATI
Random[ °° 𝗦𝗘𝗣𝗢𝗧𝗢𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗧𝗜 °° ] 𐙚 Dalam perjalanan hidup, setiap orang setidaknya sekali akan bertemu dengan seseorang yang meninggalkan bekas begitu dalam, hingga waktu pun tak mampu menghapusnya. Sosok itu, meskipun hanya hadir sebentar, meng...