Author's POV
"Apakah Lynn ada di kamarnya?"
Tim bertanya pada pelayan dirumahnya saat ia baru saja berjalan memasuki pintu depan.
"Iya, Tuan." jawab sang pelayan.
Lantas Tim langsung berjalan cepat menaiki tangga menuju ke lantai atas. Sedari tadi pikirannya tak bisa berhenti mencemaskan keadaan Lynn. Wanita itu pasti sangat marah sekarang pada Tim karena telah merusak makan malamnya.
Tim paham betul bahwa acara-acara kecil seperti itu sangat membuat Lynn merasa bahagia. Pasalnya, karena kesibukan masing-masing, mereka berdua memang jarang menghabiskan waktu berdua.
Tim membuka pintu kamar dengan sangat perlahan. Ia takut mengganggu Lynn kalau saja ternyata wanita itu sudah terlelap.
Tim sempat melihat kearah jam di tangannya. Sudah pukul 1 malam.
Suasana kamar cukup gelap, hanya cahaya dari luar jendela saja yang menyinari ruangan beraroma vanilla mint itu.
Ditengah kegelapan, tim terus melangkahkan kakinya menuju ranjang dimana telah berbaring Lynn yang nampak kelelahan. Sambil mendaratkan bokongnya di tepi ranjang, pandangan Tim tak pernah lepas dari wajah cantik Lynn yang begitu damai ketika tertidur.
Ia merasa beruntung memiliki kekasih seperti Lynn.
Wanita itu tak hanya cantik dan baik hati. Tapi dia juga sangat cerdas, berkelakuan baik, selalu menebar senyum ceria dan tak pernah merepotkan siapapun.
Tim mengulurkan tangannya guna mengelus puncak kepala sang kekasih. Dimanapun dan kapanpun, Tim berjanji akan selalu menjaga seorang Lynn dari segala macam bahaya.
"Aku tahu kita sering terlibat dalam pertikaian kecil akhir-akhir ini. Tapi aku berharap kau tidak akan pernah menyerah begitu saja dengan hubungan kita." gumam Tim.
Perlahan, Tim mendekatkan wajahnya pada Lynn. Lalu mencium setiap bagian wajah Lynn secara bergantian.
Bagi Tim, perasaan ini. Perasaan untuk Lynn tidaklah pernah berubah.
Karena bagaimanapun, andil Lynn beberapa tahun lalu pada kesehatan mentalnya sangatlah besar.
Tim beranjak dari tempatnya, lalu berjalan ke toilet untuk mengganti baju. Setelah itu bersiap pergi tidur.
---------------------------
"Mawar itu merah, Violet itu biru. Irene, dengarkan---"
"Omong kosong macam apa ini? Menyingkirlah dari hadapanku, Sam." Irene berusaha mendorong pundak Sam yang sedari tadi sibuk mengikutinya semenjak ia memasuki lobby kantor.
Ini masih terlalu pagi bagi Irene untuk meladeni pria aneh seperti Sam. Walaupun ini bukanlah hal baru untuknya, tapi tetap saja Irene merasa terganggu.
"Hey, hey! Tunggu dulu. Aku hanya ingin menawarkan untuk pergi makan siang bersama nanti. Bagaimana?" tanya Sam penuh harap.
Irene melirik tak berselera kearah Sam. Jika bisa, ia ingin sekali menendang Sam dari kantor ini.
Tapi sayang, ia tak punya kuasa apapun untuk melakukan itu.
"Sam, dengar. Kau punya 3 detik untuk pergi dari hadapanku atau aku akan membuatmu menyesal. Cepatlah."
Wajah Sam berubah murung. Irene benar-benar sulit untuk ditaklukkan.
Rasanya ia sudah hampir bosan mendapatkan penolakan dari Irene. Namun dia tak ingin putus asa begitu saja.
Ia sangat yakin bahwa nantinya Irene akan menyukainya juga.
Dengan perasaan sedih, Sam akhirnya memilih untuk pergi dari hadapan Irene.
"Pria itu membuat Aspirinku tidak berguna sama sekali." ujar Irene sambil menggelengkan kepala. Lalu mulai berjalan lagi menuju ruangannya.
------------------------------
"Selamat pagi, Pak." sapa Irene saat Tim baru saja memasuki ruangannya.
Aroma tubuh Tim langsung menyeruak menusuk indera penciuman Irene sesaat setelah ia masuk.
'Bagus, sekarang ruangan ini beraroma sepertimu.' pikir Irene.
Irene mendekat kearah Tim dan memposisikan diri disamping pria itu.
"Apa kau sudah menghubungi Nyonya Lancaster soal kesepakatan kita?" tanya Tim. Mata dan tangannya fokus memeriksa berkas yang memang sudah Irene siapkan dari pagi tadi.
"Sudah, Pak. Dia bilang ingin membahas ini secara langsung denganmu, maka dari itu aku sudah menentukan waktu yang cocok untuk pertemuan kalian. Tapi, jika kau tidak berkenan... Aku bisa membuat jadwal ulang---"
"Tidak perlu. Aku percaya padamu." jawab Tim menginterupsi Irene.
Irene diam-diam tersenyum kecil. Perasaannya menjadi begitu hangat saat Tim mengucapkan kalimat itu.
"Oh iya, Pak. Satu lagi, umm... Soal semalam, enghh... Dasi milikmu tertinggal di rumahku." ucap Irene dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Tim menghentikan aktivitasnya, ia baru ingat sekarang. Pantas saja rasanya seperti ada yang kurang saat ia kembali dari rumah Irene malam tadi.
"Ya. Kau bisa menaruhnya di atas meja kerjaku." jawab Tim seadanya. Kemudian fokus pria itu kembali pada berkas-berkas dihadapannya.
"Baik, Pak."
Irene kembali ke mejanya, mengambil dasi milik Tim dari dalam tasnya lalu memberikannya kepada Tim.
"Terima kasih."
Irene mengangguk seraya berdeham kecil.
Perlahan, ia kembali lagi ke mejanya dengan perasaan sedih.
Ia tak mengerti, kenapa Tim sangat berbeda dengan yang semalam.
Apakah Tim tidak merasakan perasaan apapun setelah apa yang terjadi malam tadi?
Irene benar-benar tak bisa membaca segala tentang Tim.
Benar kata Nina, Tim bisa saja membuat Irene kehilangan akal sehatnya dalam waktu sepersekian detik.
------------------------
![](https://img.wattpad.com/cover/288733023-288-k592192.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUTH UNTOLD™
FanfictionWARNING!! MATURE CONTENT 🔞 THIS FICTION CONTAINS ADULT AND VIOLENT CONTENT. Auxellina Williams, atau lebih dikenal dengan Lynn. Harus merasakan pahitnya berbagai penghianatan dari orang-orang terdekatnya. Namun, saat ia berusaha membalas semua hal...