Lynn's POV
Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan megah ini.
Tempat dimana aku menemani Tim datang sebagai tamu undangan pada jamuan makan malam relasinya.
Ternyata tak hanya kami, ada banyak orang yang turut diundang juga. Bahkan orang yang paling malas aku temui juga hadir disini.
Irene.
Entah dia datang sebagai dayang-dayangnya Tim atau apa, yang jelas aku begitu muak melihat wajahnya yang sok cantik itu.
Gelas berisi wine ditanganku kembali aku letakkan di atas meja. Rasanya segala nafsu untuk menyatap hidangan disini mendadak hilang dalam sesaat hanya karena kedatangan Irene.
"Aku akan berbincang sebentar untuk menyapa Mr. Lee, apa kau mau ikut?"
Aku mengalihkan pandanganku kearah Tim yang memang sedari tadi berdiri disebelahku.
Dia terlihat sangat tampan malam ini dengan balutan jas ditubuh atletisnya. Ditambah, aroma parfum yang ia pakai saat ini juga begitu memabukkan.
Aku merasa ingin menerkam Tim sekarang juga. Membawanya ke suatu ruangan, setelah itu menelanjanginya sampai tak tersisa sehelai benangpun di tubuhnya.
Permainan kami sore tadi harus tertunda karena Irene tiba-tiba menelpon Tim dan memberitahukan bahwa malam ini Tim harus menghadiri jamuan makan malam dari rekan kerjanya.
Aku tak mengerti, apakah Irene sudah mengambil tugas Niclas sebagai asisten pribadinya Tim? Kenapa dia selalu saja mengganggu waktu Tim dengan terus-menerus menghubungi Tim? Apa dia tidak punya pekerjaan lain selalu mengganggu hubungan orang lain? Dasar payah.
Aku menggelengkan kepala menanggapi tawaran dari Tim. Aku butuh sedikit waktu untuk sendirian saat ini, karena kepalaku tiba-tiba saja terasa pusing memikirkan si Medusa itu.
"Baiklah. Kau bisa berkeliling jika kau mau, buat dirimu sendiri nyaman, Sayang." ujar Tim. Ia melenggang pergi setelah sebelumnya mencium pipiku.
Aku mengambil satu buah anggur diatas meja lalu memakannya sambil sesekali memperhatikan para tamu undangan lainnya yang nampak begitu menikmati acara makan malam ini.
"Selamat malam, Nyonya Williams."
Aku membuang wajahku ke sembarang arah ketika menyadari bahwa kini Medusa bernama Irene itu sudah berada tepat di hadapanku. Rasanya anggur yang tadi kumakan hendak keluar lagi dari mulutku karena melihat wajahnya.
Aku tak merespon sapaan yang Irene lontarkan padaku. Sejujurnya, aku juga tidak perduli dengan kehadirannya saat ini.
"Apa kau menikmati pestanya? Aku harap begitu ya," ucap Irene dengan diiringi tawanya yang sengaja dibuat-buat menggemaskan.
Aku masih tak berniat untuk meladeni wanita itu. Akan jauh lebih baik jika ia enyah saat ini juga dari hadapanku.
"Aku kira kau hanya akan berkeliaran di kantor Tuan Mascherano saja. Tapi... Ternyata kau juga berkeliaran disini ya? Sepertinya tidak ada sehari pun kau membiarkan Tuan Mascherano bebas. Kasihan sekali atasanku itu."
Masih dengan tawa palsunya itu, Irene kembali berkicau. Entah kapan lagi ia akan pergi.
Aku menegakkan tubuhku. Memandang lurus kearah Irene bermaksud memberitahukan padanya bahwa dia bukanlah apa-apa.
"Yeah, kau benar. Bahkan jika aku mau aku bisa menghabiskan seluruh hidupku untuk berkeliaran didekat Tim. Pacarku itu juga tidak akan merasa keberatan."
Bisa kulihat rahang Irene mengeras saat itu juga setelah mendengar balasan dariku. Aku tahu dia pasti sangat kesal sekarang.
"Anda terbang terlalu tinggi akhir-akhir ini, Nyonya. Ingatlah bahwa segala sesuatu yang di jatuhkan dari tempat paling tinggi akan selalu berakhir hancur dan tragis." ucap Irene.
Aku tertawa remeh menanggapi ucapannya, lalu setelah itu kembali mengeluarkan pendapatku, "Ohya? Bukankah itu lebih terdengar seperti sebuah nasihat untuk pegawai yang terlalu berani berharap pada atasannya?" tanyaku sarkastik.
Irene tertawa canggung dan itu semakin membuatku malas melihat wajahnya.
"Haha, apa yang anda bicarakan, Nyonya? Segala kedekatanku dengan Tuan Mascherano hanyalah karena aku menghargainya sebagai atasanku. Lagipula, dia agak merasa tertekan akhir-akhir ini dan aku hanya sedang mencemaskannya saja." ucap Irene.
"Irene, perhatianmu itu sangat manis. Tapi akan jauh lebih baik jika kau membawa pergi jauh-jauh segala perhatian palsumu itu dari hadapanku saat ini juga. Tim tidak membutuhkan itu semua, dia sudah mempunyaiku. Dia akan mendapatkan segalanya dariku. Kau tak perlu khawatir. Lebih baik, kau beri perhatian pada dirimu sendiri atau orang lain yang mau menampung semua omong kosong itu."
Skakmat.
Irene tak membalas apapun lagi dan langsung memilih pergi dari hadapanku sesaat setelah aku memberikan kata-kata mutiaraku.
Baguslah. Jadi aku pun tidak perlu bersusah payah mengusirnya dari sini.
"Kalau orang-orang berpikir Barbie itu palsu, tunggu sampai mereka bertemu denganmu." ucapku malas sambil terus memperhatikan punggung Irene yang semakin menghilang diantara tamu-tamu undangan.
"Kau disini?"
Aku membalikkan tubuh guna melihat siapa yang berbicara tepat di belakangku.
Aku sedikit tercengang saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut.
Dunia dan relasi begitu sempit karena kebetulan sekali kami dipertemukan lagi.
"Dr. Schmidt?"
-------------------------
Double update ☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUTH UNTOLD™
FanfictionWARNING!! MATURE CONTENT 🔞 THIS FICTION CONTAINS ADULT AND VIOLENT CONTENT. Auxellina Williams, atau lebih dikenal dengan Lynn. Harus merasakan pahitnya berbagai penghianatan dari orang-orang terdekatnya. Namun, saat ia berusaha membalas semua hal...