#5_Happier

3 0 0
                                    

You're trading jackets like we used to do. A different person now, but there's nothing new. Kuperhatian remaja bersurai deragem dengan sorot kecewa. Dahulu ia bilang, perlakuannya terhadapku terlampau spesial, tidak akan ada yang merasakan hal yang sama. Namun pada kenyataannya, Cia berucap dusta. Poligender yang baru saja keluar dari ruang kelas di samping kelasku itu sempat berbalik, tatapannya bertemu sesaat denganku, tapi tak berlangsung lama karena kekasihnya muncul merusak suasana.

"Dios? Dihukum lagi? Pelajaran Maestra Hilda, ya?" Deus, saudara kembarku yang angkat bicara itu. Seorang genderfae bersurai pirang bermanik cokelat menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga usai berucap demikian. Ia mengenakan jaket kekasihnya, dan dapat kupastikan Deus merasa bangga.

"Biasalah." Kutunjukkan senyum palsu, malas aku bila harus membalas ular itu. "Kalian mau ke mana? Belum jam istirahat kok keluar?"

"Disuruh diskusi sama anak band lain, ini aku nyoba manggil Yoshua dari tadi ngga diangkat sama dia." Yoshua, vokalis utama grup musik mereka, adalah seorang mahasiswa yang seharusnya tidak lagi mengikuti band anak SMA. Tapi entah mengapa ia tidak pernah mau keluar. Seharusnya aku saja yang mengisi posisinya.

Menyadari ada celah untukku tampil bersama mereka, kucegat keduanya dengan berkata, "Gue boleh gantiin posisi Yoshua ngga? Lagian ini kan penampilan terakhir kalian, dan Yoshua mungkin lagi sibuk sama organisasi dia."

Jeda panjang. Cia dan Deus tampak bingung harus merespon bagaimana. Cia melemparkan sinyal 'tidak' sedangkan Deus terlihat hendak menerima, namun selama mereka bertukar pandang, tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Sampai tak lama kemudian, seorang dari grup musik mereka, Huntara, bersama-sama dengan bukunya, menghampiri kami berempat. "Kalian teh ngapain diem-dieman di sini? Jalan atuh, itu Bu Wyn udah nunggu."

"Di, kamu izin dulu ke Maestra kalo mau ikut latihan hari ini."

"Si—"

"Kalian ngapain ngumpul di depan kelas saya?" Aku mengusap wajah pasrah begitu Maestra Hilda membuka pintu dan mulai memarahi kami berlima. Beruntung ada Cia di sana, dia adalah salah satu anak kesayangan guru di sampingku ini. "Oh, anak MAM, mau latihan, ya?" MAM. Singkatan dari Make A Music, nama dari grup musik yang telah lama diikuti saudara kembarku. Sejarahnya cukup lucu, tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya padamu.

"Iya Maestra, Yoshua ngga bisa dihubungi, jadi rencananya kami mau ngajak Dios," ujar Cia dengan santai. Tak percaya dengan ucapannya, aku melotot ke arah Louis, namun tampaknya lelaki itu sibuk membaca poster-poster garapan anak kelas 10 di dinding seberang. "Kita boleh izin pinjem Dios sebentar?"

"Yoshua ngga bisa dihubungi? Yaudah, tapi nanti izin lagi ke Miss Wynnie, ya?"

Cia mengucapkan terima kasih lalu berpamit. Lalu kami berempat bergantian menyalami tangan Maestra Hilda, meninggalkan Louis berdiri sendirian di sana. Untuk menguatkan dirinya, kutepuk pundaknya sekali lalu berkatalah aku, "Sebentar lagi istirahat kok, yang sabar, ya?" Usai berucap demikian, Louis membalasku dengan tatapan malas, sedangkan Maestra Hilda mulai memandangi aku dengan sorot matanya yang mengerikan.

☆★☆

"Gue udah izin ke Miss Wyn, katanya boleh," Haris berkata, memecahkan keheningan di antara kami berlima. Dalam ruang latihan band itu ada Haris, Huntara, Deus, Cia, dan aku sendiri. Seorang drummer, guitarist, keyboardist, bassist, dan pessimist. Sejujurnya aku tidak yakin apakah aku bisa tampil bersama mereka sebaik mereka tampil dengan Yoshua, laki-laki itu sungguh berbakat, sedangkan aku hanya beban berat.

"Ada yang punya ide kita mau nyanyiin apa?" tanya Deus.

"Lagu lama aja, Starlight, Feeling Good, After—"

"I wrote a song, a couple of weeks ago. Selain tiga lagu yang lu sebutin itu, mungkin kalian bisa perform pake lagu gue?" kataku, memotong ucapan Haris. Respon mereka kurang baik, bisa kukatakan mereka tidak menyukai ideku barusan. Cia mengerutkan keningnya, Huntara dan Haris bertukar pandang, sedangkan Deus tersenyum canggung. "Masih butuh beberapa tambahan di bagian liriknya sih."

"Lagunya soal apa?" Cia memberanikan diri untuk bertanya. Seketika duniaku berhenti, bingung aku dibuatnya. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tidak dengan keberadaan Cia dan Deus dalam ruang yang sama. Kenapa juga aku tiba-tiba menawarkan diri? Menyesal. Bingung. Panik. Takut.

Cia berdeham, mengembalikan kesadaranku. Entah dia melakukan itu dengan sengaja atau untuk membersihkan tenggorokannya saja. Aku masih kesulitan untuk menjawab pertanyaan, namun kupaksaan diriku, sehingga tanpa sadar aku berujar, "Hoping you to be happy, but not like how you were with me."

Moving O-notTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang