"Maestra, saya ada latihan jam lima nanti," protes Cia. Wanita dengan warna kulit kecokelatan dan tampang tegas itu menaikan sebelah alisnya, lalu melipat tangan di depan dada. Aku hampir tertawa atas protesnya, karena satu hal yang aku tahu, ketika kamu memiliki setidaknya empat nilai merah dalam catatan Maestra Hilda, sekali gempa pun ia akan memaksamu untuk remedial. Itulah yang sedang kami berempat lakukan sekarang.
Cia, Louis, Sean, dan aku sendiri duduk di baris depan kelas Maestra Hilda. "Kamu pikir saya peduli? Nilai spanish kamu macam kebun mawar, tau?" Remaja dengan surai deragem itu hanya bisa menerima kekalahannya, ia membiarkan waktu latihan berharga terbang begitu saja.
"Saya ada rapat, kalo mau cepet pulang, kerjain tugas-tugas itu sebelum saya balik." Semua mengangguk, termasuk Cia yang masih menyesali pilihannya. Maestra mengambil beberapa map berisi dokumen dari meja, lalu melangkahkan kakinya menuju pintu keluar kelas. "Diskusi boleh, tapi jangan berisik."
Tepat setelah Maestra menutup pintu di belakangnya, Sean segera mengeluarkan ponsel dan memotret tugas-tugas di atas meja. Kepadanya kutanyakan, kenapa dia melakukan itu, lalu dengan senyum ia berkata, "Biar Khandra bisa ngerjain tugasnya buat gue."
Sebelum aku dapat meminta Sean untuk membagi jawabannya pada kita semua, Louis menggenggam pergelangan tangannya. Kata dia, "Temenin ke kamar mandi."
"Lu... takut setan lorong, ya?" tanya Sean. Louis keberatan untuk menjawab, tapi begitu ia mengalihkan pandang ke lorong yang sepi, Louis akhirnya menyerah dan mengangguk. Sean pun mengeluarkan tawa kecil sebagai respon. "17 tahun masih begini?"
Mereka keluar, Louis berjalan lebih dahulu di depan, sedangkan Sean mengikuti di belakang. Sean dan Louis terkenal tidak akur, maka dari itu aku sedikit heran mengapa bukan aku yang diajak olehnya. Yah, semoga mereka tidak berakhir dalam pertengkaran lain. Aku menyingkirkan pikiran itu, kembali kupusatkan fokus pada lembar-lembar soal di depanku. Namun, dengan keberadaan Cia di ruangan ini, aku tak kuasa menahan diri untuk tidak menanyakannya satu dua hal mengenai hubungan dia dan Deus. "Lama ngga ngobrol, gimana kabarnya?"
"Happier than ever." Aku menarik nafas panjang, memikirkan kembali kenapa aku mengajukan pertanyaan tadi. Bagaimanapun jawabannya pasti ada keterkaitan dengan hubungan dia bersama Deus, dan itu membuatku tidak tenang.
"Good for you you're doing great out there without me." Suasana menjadi canggung. Sudah kuprediksi pasti bakal begini. Apa yang bisa kamu harapkan dari dua orang mantan kekasih? Dan bodohnya, walau menyadari aura tidak mengenakkan yang menyelimuti ruangan, aku tetap menambahkan, "God, I wish that I could do that."
"Move on, Dios. Gue bukan punya lu lagi."
"Caranya gimana? Gue bahkan ngga tau alesan kita putus apa." Jawabanku berhasil membuatnya berpikir sejenak. Terbaca dari raut wajahnya bahwa ia jelas tidak ingin membuatku curiga, entah kenapa. "Well? alesan kita putus apa?"
"Gue rasa kalo gue jawab hubungan kita sekarang bakal makin complicated." Aku mengerutkan kening, melontarkan pertanyaan 'kenapa?' dengan ekspresi. Poligender itu menyatukan telapak tangannya dalam sebuah kepalan, aku ingat sekali ia melakukan itu setiap dirinya sedang gugup atau bingung. Alhasil, jawabannya terdengar ragu, "Ya... karena gue ga tahan sama sifat lu."
"Kita pacaran dua tahun, kalo lu ngga tahan sama sifat gue, kita udah putus dari pertama kali gue mental breakdown di depan lu waktu kelas 10." Cia mengalihkan pandangannya dari meja, menatap aku dalam diam. Bola-bola mata itu tampak sayu, seakan ia menyembunyikan suatu rahasia dan kesedihan yang menumpuk. Aku memaksakan senyum agar ia tidak merasa terancam. "Gue lempar hp ke kepala lu, inget?"
"Inget."
"So tell me, do you really love them?" tanyaku. Aku bersumpah tidak akan membuatnya berpikir terlalu keras untuk menjawab sebuah pertanyaan, tapi maaf, aku penasaran. Cia mengerjapkan matanya beberapa kali, awalnya ia terlihat bingung dan ragu, namun setelah pertanyaanku yang baru, jawabannya menjadi tegas serta mantap.
"Ngga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moving O-not
Romance"Do you tell them they're the most beautiful person you've ever seen? An eternal love bullshit you know you'll never mean. Remember when I believed you meant it when you said it first to me?" Visualized by : Son Dongju Inspired by : Driver's...