- Trauma -

132 26 0
                                    

_Lagi, hujan itu semakin deras bercampur guntur dan petir. Masih belum, kumohon untuk bangun meski mustahil_

Na Jaemin,

~*~

Mendung lagi, akhir-akhir ini terasa seperti cuaca selalu sedih saat Jaemin selesai dengan jam kuliahnya. Entahlah, ia hanya tidak ingin berlarut memikirkan sesuatu yang semakin menyurutkan semangatnya.

Jaemin bergegas menuju parkiran mobil, setiap tiga hari sekali ia selalu membelikan bunga dan mengganti yang sudah layu, untuk gadis yang ia cintai. Semua memang sudah berjadwal, seperti Jaemin yang memberikan seluruh quality time pada Minju. Meski tidak sedikitpun ada respon dari Minju, ia berjanji untuk tetap menunggu.

Selama apapun itu, persetan dengan kalimat orang lain.

Ia memutar kemudi dan melancarkannya menuju toko bunga langganan yang sudah 3 tahun ini ia kunjungi, ditempat itulah Minju sering berkunjung, walaupun hanya melihat tanpa membeli. Jaemin rutin sekedar datang ke tempat-tempat favorit Minju dan menceritakan secara random saat sampai dirumah sakit.

Keinginan terdalamnya adalah saat menjadi orang pertama yang Minju lihat setelah sekian lama menutup mata, menyaksikan sendiri kalau keajaiban itu ada dan akan datang untuknya.

Jatuh dalam kesenangan berputar didunia Minju, seperti de javu. Jaemin..

Hampir saja menabrak motor yang melintas tanpa melihat arus lalu lintas, nafasnya seperti waktu itu. Sangat persis, tercekat.

Semua terjadi karna mengabaikan, pupil matanya bergetar dan segera mengambil hp diatas dashboard. Menautkan panggilan pada Bunda Minju yang berada dirumah sakit. Ia terengah, pikirannya kacau dalam hitungan menit.

"Iya Jae—"

"Bundaa, Minju baik-baik aja kann????" Tanya Jaemin panik. Sangat panik sampai suara degup jantungnya nyaring memasuki telinga.

Tidak langsung menjawab, Bunda dengan cepat mengganti topik pembicaraan. "Kamu udah otw yaa, agak cepetan yaa Jaemin. Jangan lupa bunganya.."

"Bun.." panggil Jaemin. "Minju ga kenapa-napa kan?"

Perasaannya saja atau memang benar, tapi terdengar seperti Bunda menahan tangis dan menjawab dengan setenang mungkin.

Setelahnya panggilan terputus dan Jaemin yang berkali-kali kesulitan menelan ludahnya. Paniknya masih ada, rasa aneh menyergap hati. Kuat-kuat ia berdoa agar semua tidak terulang lagi, kali ini pasti berbeda. Atau mungkin tadi adalah tanda untuk semua keinginan—Minju yang bisa jadi terbangun dari tidur panjang.

~*~

Jaemin menahan diri, menahan segala rasa gelisah dan ingin segera berlari ke ruangan Minju, tapi tidak. Semakin ia panik maka semua pemikiran buruknya akan jadi kenyataan. Semakin membuatnya frustasi dan terpuruk tanpa alasan yang jelas.

Ia tetap menapaki kaki dengan tenang sambil memeluk buket bunga, menyapa beberapa perawat yang ia kenali.

Tepatnya diujung lorong, ruangan Minju. Hawa dingin menghampirinya secara sepihak, meski ia tahu diluar sedang hujan deras.

Dari jarak itu ia melihat Bunda baru saja keluar, menghapus air mata dengan tisu. Sedikit samar, namun Jaemin tahu kalau Bunda sedang menahan isakannya. Dan pandangan mereka dari ujung ke ujung bertemu, segera Jaemin melambaikan tangan dan memamerkan buket yang ia pegang ditangan kanan.

"Bunda, kenapa nangis?" Tanya Jaemin menghampiri.

Kini jelas Bunda sedang tergugup, Jaemin sadar akan itu. "Maaf.." kata Bunda menanggapi.

Ia mengintip kearah pintu, "Minju?"

Pandangan Bunda jatuh menatap lantai, sementara Jaemin makin kalut menunggu jawaban. Rasa takutnya, sama seperti 3 tahun lalu kembali lagi. Ia tidak bisa, Jaemin beralih cepat dan—

Matanya menemukan dokter dan beberapa perawat mulai melepas—Jaemin menjatuhkan buket dan berlari menghadang mereka. Bagaimana bisa semua orang tega melepas alat yang membantu Minju untuk tetap hidup.

"Kenapa dilepassss, Minju bentar lagi pasti bangun!!" Bentak Jaemin menahan isakan.

Dokter memperlihatkan perjanjian yang sudah ditandatangani Bunda, membaca setiap deret kata yang membuat lututnya lemas. Ia lunglai jatuh membentur lantai.

Bunda datang dengan buket bunga yang tadi jatuh didepan pintu, berjalan kearah Jaemin dan merengkuh pemuda itu. Memang sudah keputusan final bila selama 3 tahun tidak ada perkembangan, mereka harus merelakan. Membuat Minju pergi ketempat yang lebih nyaman.

~*~

Tentu Lia tahu, ia beberapa bulan lebih cepat untuk masuk rumah sakit. Kamarnya juga hanya beberapa blok dari kamar gadis yang sedang ramai sekarang.

Bagaimana tidak hafal, setiap ia memiliki waktu untuk keluar dengan kursi roda, setiap hari juga secara tidak sengaja berpapasan dengan cowo yang tanpa pernah absen mengunjungi kamar tetangganya. Tapi tidak sedikitpun saling menyapa, yang Lia tahu hanya berita dari beberapa para perawat yang serung bercerita tentang romansa dua orang itu.

Tentang Minju yang seperti putri tidur karna mati batang otak yang dideritanya dan Jaemin sebagai pasangan setia yang tidak pernah lepas dengan senyum meskipun tidak pernah berbalas. Ternyata dunia masih menyimpan manusia tulus seperti Jaemin.

Pengecualian untuk hari ini, Lia biasanya menyaksikan senyum Jaemin mulai dari lobby sampai lorong kamar, tapi yang ada sekarang hanya raut cemas dan gelisah. Sampai dibeberapa menit setelahnya ia mendengar suara isakan yang cukup berat, Lia yakin suara itu milik Jaemin.

"Iyaa, itu Jaemin. Hari ini alat bantu Minju dilepas semua," cetus perawat yang membantu Lia mendorong kursi roda.

Kebetulan saja mereka putar balik saat mengetahui Jaemin dan Bunda Minju berada didepan kamar.

"Maksud Mba...Minju..." hatinya tidak enak untuk melanjutkan kata.

Perawat dibelakangnya hanya berdehem, mendorong pelan kursi roda untuk kembali memutari taman.



Butterfly After Rain ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang