HAPPY READING
000
Jarum jam dinding di kafe itu berhenti di angka dua belas dan tiga, seolah menjadi saksi bisu kelelahan Inggit yang tak kunjung usai. Gadis itu menarik napas panjang, menghempaskan lelah bersama helaan udara yang membuncah dari dadanya. Hari ini kafe dipenuhi pengunjung, hiruk-pikuk itu membawa dua rasa yang bertolak belakang: kebahagiaan dan kelelahan.
"Kalau capek, istirahat aja."
Suara lembut seorang pria mengalir dari belakangnya, membelah riuh kafe.Inggit menoleh perlahan, mendapati Oky berdiri di sana, dengan senyuman yang lebih hangat dari secangkir cokelat panas di hari hujan. Dengan langkah kecil namun pasti, Oky mendekat ke arahnya, tatapannya penuh perhatian.
Hubungan mereka yang sempat renggang kini membaik. Setelah beberapa hari menjauh, akhirnya Oky menjelaskan alasan mengapa ia mengeclam Inggit saat itu di kantin. Hanya satu alasan sederhana namun penuh makna: ia tak ingin siapa pun menyakiti gadis itu, bahkan Bintang sekalipun-sahabat Inggit sendiri. Dengan mempertegas bahwa Inggit adalah kekasihnya, Oky berharap tidak ada yang berani membully, apalagi melukainya. Baginya, Inggit adalah sinar kecil yang terus memancarkan cahaya meski hatinya mungkin tengah gelap. Di balik senyuman gadis itu, ia tahu ada lara yang tersembunyi rapat.
"Lo duduk aja sana. Biar pelayan lain yang urus," ujar Oky lembut, pandangannya menelusuri wajah Inggit yang terlihat letih namun tetap berusaha tersenyum.
Inggit tersenyum kecil, senyum yang menyiratkan kehangatan dan penolakan halus. "Nggak usah, Kak. Aku nggak enak sama yang lain. Lagian ini kan memang tugasku." Dengan tangannya yang cekatan, ia menata sepiring steak dan segelas es cappuccino di atas nampan.
"Aku tinggal dulu ya, Kak, mau antar pesanan ke meja nomor 56," ucapnya sembari menunjuk ke arah meja di pojok kafe, tempat seorang pria duduk sendirian. Seharusnya tugas ini milik Asri, tapi karena rekannya itu mendadak harus ke toilet, Inggit menggantikannya untuk sementara.
Oky mengikuti arah telunjuknya, menatap pria di meja itu dengan alis bertaut. "Lo yakin mau ke sana sendiri? Dia kayaknya cowok."
Inggit terkekeh ringan mendengar kecemasan Oky. "Iya, Kak. Aku nggak apa-apa," jawabnya dengan nada yang menenangkan.
"Kalau gitu, aku anter aja ya?" tawar Oky, kali ini dengan nada setengah memohon.
Namun Inggit menggeleng cepat, senyumnya tak berkurang sedikit pun. "Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri," balasnya sembari mengambil nampan dan beranjak pergi.
"Aku tinggal dulu ya, Kak. Permisi," pamitnya sopan. Langkahnya melangkah mantap, membawa pesanan dan tekad yang seolah tak bisa digoyahkan. Sementara itu, Oky hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh, dengan kekhawatiran yang tetap ia pendam sendiri.
Di pojok kafe itu, kehidupan terus berdenyut, menyatukan cerita-cerita kecil yang tak kasat mata, namun bermakna.
****
Inggit tiba di meja paling ujung, meletakkan nampan dengan hati-hati di atas meja. "Ini pesanannya, Kak. Semoga menikmati," ucapnya, tersenyum ramah seperti biasa. Namun, senyumnya perlahan pudar ketika matanya menangkap wajah pria yang terasa sangat familiar.
"Kak Vano?" tanyanya pelan, alisnya terangkat penuh keterkejutan.
Pria di depannya hanya mengulas senyum simpul, senyum yang terasa sehangat mentari namun menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
"Kak Vano sendiri?" tanya Inggit, mencoba mencairkan suasana yang terasa sedikit kaku.
Vano mengangguk kecil, seolah jawaban itu sudah cukup menjelaskan semuanya. "Iya."
![](https://img.wattpad.com/cover/250320631-288-k432032.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPOTONG HATI
Random[ °° 𝗦𝗘𝗣𝗢𝗧𝗢𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗧𝗜 °° ] 𐙚 Dalam perjalanan hidup, setiap orang setidaknya sekali akan bertemu dengan seseorang yang meninggalkan bekas begitu dalam, hingga waktu pun tak mampu menghapusnya. Sosok itu, meskipun hanya hadir sebentar, meng...