⏱ Bagian 4

33 8 3
                                    

Tak ada yang berubah.

Kejadian yang terjadi hari ini, sama seperti apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.

Apa yang membuatku sampai ke sini?

Aku ingin menjadi polisi agar bedebah itu bisa aku tangkap dengan tanganku sendiri.

Bedebah yang membunuh teman-temanku. Bedebah yang memanipulasi pembunuhannya sebagai kecelakaan dan bunuh diri.

***

"Vio, Zeline! Tungguin ngapa?!" Sambil membenarkan sepatunya, Mistah lari tergopoh mengejar kedua gadis itu. Zeline dan Viola pura-pura tak mendengar dan malah mempercepat jalan mereka menuju gerbang sekolah, meninggalkan saudara lelaki mereka yang selalu nempel kalau ada maunya.

"Hei! Awas, ya, kalau sampai dapat!" Mistah berlari kencang, berusaha mencapai kedua gadis itu.

"Aaa! Mistah!" Teriak Zeline dan Viola bersamaan saat Mistah tiba-tiba memiting leher mereka dari belakang. Mistah melonggarkan pitingannya, kini tangan pemuda itu beralih merangkul saudaranya dengan senyum kemenangan.

Menolak Mistah ke belakang, Zeline bersedekap dada. "Lo mau traktiran, kan? Ngucapin HBD kagak, minta traktiran iya!"

"Hehe... tau aja. Kamu, kan, ulang tahun. Harus traktir dong..." ucap Mistah dengan cengiran tengil khasnya.

"Idih, sok pakai kamu. Gak ada traktiran! Uang gue tinggal di masa depan. Kagak ada duit mah sekarang. Bokek."

"Sok-sokan punya masa depan!" Ledek Mistah sebelum ia berlari meninggalkan kedua gadis itu.

***

Zeline melamun. Ia memukul-mukul ujung pena ke atas meja, membuat suara tuk... tuk... tuk... yang beraturan. Hampir semua pasang mata yang ada di dalam kelas itu tertuju padanya, membuatnya menjadi pusat perhatian saat ini. Zeline tak sadar akan hal itu, karena pikirannya terbang entah ke mana.

Jangankan tatapan teman-temannya, senggolan di lengannya yang dilakukan oleh Viola saja tak ia rasakan. Sayup-sayup Zeline mendengar namanya dipanggil oleh suara wanita dewasa. Semakin lama suara itu semakin jelas, membuatnya perlahan sadar dari lamunannya.

"ZELINE!" Suara melengking tepat di telinganya beserta suara keras hentakan meja sukses membuat Zeline sadar sepenuhnya.

Zeline mengerjapkan mata sambil mengucek-ucek telinganya yang terasa bedengung lalu keheranan ketika menyadari seluruh pasang mata tertuju padanya.

"Kamu sudah tuli, ya?!"

Zeline menengadah, baru menyadari kehadiran bu Rika tepat di sebelahnya.

"M-maaf, bu. Ze melamun," ucap Zeline yang sebenarnya masih belum fokus.

Guru matematika yang terkenal garang itu tampak geram, ia menyuruh Zeline segera maju ke depan untuk mengerjakan soal limit fungsi aljabar yang menjadi materi pembelajaran hari ini.

"Kalau kamu tidak bisa menjawabnya dengan benar, kamu keluar dari jam pelajaran saya hari ini!" ancam guru wanita itu.

Zeline menurut dengan pasrah. Ia maju ke depan kelas dan mengambil sebuah spidol. Zeline memperhatikan soal itu, lalu dia tersenyum. Seolah ada lembaran-lembaran foto di otaknya, Zeline dapat melihat jawaban dari soal matematika itu dengan jelas. Jawaban yang seharusnya dijawab oleh Zidan sang juara kelas pada masa sekarang. Kebalikannya, di masa sekolah, Zeline tidak sepintar itu. Dia paling tidak suka pelajaran hitung menghitung yang satu ini.

Time: Killer at SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang