⏱ Bagian 7

19 9 0
                                    

Mereka sampai di depan gerbang sekolah yang belum terkunci. Masih ada anak yang ikut ekstrakurikuler di dalam.

Viola melirik jam tangannya, "sudah jam setengah lima lewat. Kenapa gak besok aja?"

"Kita udah di sini, mau pulang lagi?" jawab Zeline sambil terus menaiki tangga.

"Iya, nih. Lagipula kalo pulang sayang banget tuh tadi duit bayar angkot," sambar Mistah.

Akhirnya Viola hanya menurut dan kini mereka sudah sampai di depan pintu ketiga lantai 3 gedung 3 ini.

"Gue mau mastiin dugaan gue benar. Kalian tunggu di sini aja." Tanpa persetujuan, Zeline masuk ke dalam kelas itu dan langsung menuju belakang kelas yang kosong itu. Hanya ada beberapa kursi lapuk yang terletak secara acak.

Zeline membungkuk setelah menghidupkan senter LED yang ia beli dengan uang tabungannya tadi sebelum sampai ke sini. Ia menyenter bagian belakang terutama pojokan kelas sambil memeriksanya dengan seksama.

Ketemu.

Ada sedikit darah di tembok paling bawah bagian sudut deretan pintu.

Ya, Fika di sini siang tadi.

Zeline memeriksa kelas itu, mencari-cari barang atau bukti yang tertinggal. Entah itu senjata yang pelaku gunakan untuk mengiris pergelangan tangan Fika, atau mungkin jarum suntik ataupun gunting kuku. Tapi hasilnya nihil. Pelaku tidak meninggalkan jejak apapun.

Zeline keluar dari kelas itu. "Gak ada jejak pelaku," desahnya.

"Lo yakin kalau mereka gak bundir, Ze?" tanya Mistah.

Zeline mengangguk. "Ya, yakin banget."

"Udah mau gelap, nih. Pulang, yuk!" ajak Viola yang faktanya seorang penakut.

Dengan pasrah Zeline mengangguk, kemudian kembali berjalan.

"Kok ke arah situ?" tanya Viola yang bukan mengarah tempat mereka datang, melainkan ke sisi berlawanan.

"Kita lewat tangga belakang. Siapa tau ada jejak." Jawabnya. Meskipun Zeline tau itu mustahil. Jika memang pelaku meninggalkan jejak, pasti sudah dia singkirkan tadi. Karena ini sudah lewat waktu cukup lama.

***

Sehabis mereka makan malam, Mistah dan Viola menuntut penjelasan pada Zeline. Tingkah aneh Zeline seharian ini membuat tanda tanya besar kedua remaja itu.

"Harus ya di sini? Gua alergi sama kamar cewek," ucap Mistah dengan niat bercanda. Zeline bilang akan cerita di kamarnya dan Viola saja biar menjadi privasi mereka.

"Yaudah lo keluar aja, biar gue cerita ke Viola doang." Kata Zeline.

"Ih, ngambek."

"Mau denger penjelasan gue, gak?"

"Ya mau, lah!"

"Yaudah, diem!"

Mistah mengambil selotip bening ukuran kecil dari atas meja belajar Viola lalu menempelkan ke mulutnya.

"Bego, mulut lu kegedean!" Tawa Viola melihat saudaranya yang konyol itu.

Zeline juga ikut tertawa, kemudian spontan menggeplak kepala Mistah. "Biar isinya encer,"

Selesai mereka bercanda, kini mereka sudah tenang. Zeline juga bersiap akan bercerita. Hari ini dia akan menceritakan semuanya ke mereka berdua, tidak peduli mereka akan percaya atau tidak nantinya.

"Apapun yang gue bilang, jangan disanggah dulu. Terutama lo, Mistah. Biarin gue kelarin cerita gue dulu. Oke?" ucap Zeline sebelum memulai. Dia hanya tak ingin pembicaraan seriusnya akan dianggap candaan terutama sama si Mistah.

Time: Killer at SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang