Bab 3

90 10 5
                                    

Tembus 949 Kata

°•°•°

Rookie, sepeda hitam milik Senka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rookie, sepeda hitam milik Senka. Teman setia berangkat sekolah dan tentunya pulang juga. Tetapi kali ini tidak dikayuh seperti semestinya, Senka pikir ia terus saja dirayu lamunan hingga tidak fokus pada jalanan. Ia hanya tidak ingin melayangkan nyawanya hanya sebab fokusnya tidak berjalan, jadi ia memilih berjalan berdampingan. Menuntun Si Rookie kesayangan.

Semua bermuara pada Bibi Nam, pada gelisahnya Yoeun. Memang benar ada kalanya Senka terganggu akan hadirnya Yoeun yang tidak kenal waktu tetapi tidak bisa dipungkiri juga kalau dirinya menaruh rasa pada Yoeun dan keadaan yang ada. Rasa bersimpati, lebih tepatnya.

Bertahun-tahun lalu kenyataan menghantamkan keluarga Yoeun, menjatuhkannya ke dasar jurang dan bertahun-tahun lamanya juga berusaha bangkit memperbaiki keadaan.

Kemudian hadirnya Senka selaku teman dari Yoeun, bagaikan pukulan gada besar yang tak terelakkan, memukul pertahanan yang dibangun diatas puing-puing harapan. Senka tidak bermaksud menghidupkan asa yang lengkara, ia hanya tidak sengaja masuk dalam lingkaran keluarga yang rapuh milik temannya, karena bagaimana pun Senka dan Yoeun berteman. Pasti ada kalanya di suatu waktu Senka bertemu keluarga Yoeun atau sebaliknya.

Awalnya semua sah-sah saja, Senka mudah memaklumi keadaan karena memang sedari kecil ia sudah terbiasa  bersikap seperti itu. Jadi saat Bibi Nam, Ibunya Yoeun, ingin Senka jadi putranya. Seutuhnya, sebagaimana Nam Yo-Kwang Kakak kandung dari Yoeun yang berpulang beberapa tahun yang lalu. Senka tidak merasa keberatan, selagi itu bisa membantu kondisi psikis Ibunya Yoeun dan tidak merugikan Senka, ia memakluminya.

Namun lama kelamaan keadaan semakin rumit. Kebaikan hati Senka justru membuat Ibu dari Yoeun benar-benar menenggelamkan realita didalam kepalanya, membuat sebuah asumsi palsu yang meyakini kalau sosok dari putranya yang sudah tiada benar-benar ada didalam diri Senka. Membentuk ketergantungan akut.

Kemudian hal ini mendorong Senka pada situasi yang mengerikan. Saat Ibu dari Yoeun kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Semuanya jadi kacau, dan Senka bukanlah sebatang kara yang tidak punya siapapun dibelakangnya. Tentu saja ada Ayah, Paman Rhysand dan Bibi Kallysa yang turun tangan. Tidak terima kalau Senka dijadikan objek halusinasi yang gila. Kemarahan Ayah, kesalnya Paman Rhysand dan jengkelnya Bibi Kallysa tidak lagi mampu ditahan. Tiga orang penyangga hidup Senka bergerak maju untuk membuat batasan antara Senka dan Ibu dari Yoeun.

Bibi Nam adalah larangan mutlak yang dibuat Ayah, Senka dilarang bertemu dengan Ibu dari Yoeun. Tidak ada toleransi.

Senka tidak membantah larangan Ayahnya, karena menolak berarti mendatangkan masalah. Terlebih Yoeun bilang akan membawa Ibunya kembali bertemu dokter untuk mendapatkan penanganan atas pemikirannya yang kacau.

Dan ini sudah dua tahun waktu berlalu semenjak kesemrawutan itu terjadi. Hingga hari ini Senka tetap pada peraturan yang ada, larangan yang Ayah buat untuknya.

Lalu ucapan Yoeun benar-benar menganggu pikirannya, mengusik sanubarinya, 'Maaf Senka, aku janji ini yang terakhir kali. Maaf sudah menempatkan mu dalam masalah, tetapi kali ini saja Senka, tolong bantu Ibuku. Kali ini saja.'

Ada harapan besar ditiap ucapan Yoeun, kilat putus asa dimatanya, dan Senka merasa seperti penjahat yang merampok semua kebahagiaan mereka saat dengan lugas ia berkata tidak, untuk permohonan yang Yoeun utarakan.

Tetapi sudah sejauh ini langkah kakinya membentang jarak dengan sekolah, rasanya mulut dan hatinya tidak bergerak sejalan. Hatinya terus diusik untuk berlari kembali dan berkata iya pada Yoeun berkali-kali. Meyakinkan kawannya itu kalau ia mampu mengusir gundah Ibu Yoeun dan membuat semuanya baik-baik saja.

Sayangnya, kalau Senka kembali sekali saja. Menuruti kata hatinya dan membuat Ibu Yoeun menaruh rapan besar lagi padanya. Ia hanya akan memicu kekacauan kembali lagi.

'Pasti Ayah akan marah, dan Bibi Nam semakin kecewa nantinya.'

"Senka!" Terperanjat Senka. Seseorang menghalangi jalannya, menunjukkan lengannya yang dipenuhi garis garis luka abstrak mulai dari yang tebal sampai tipis, atau yang panjang dan pendek.  Memerah, dan sebagian masih merembeskan darah.

Dengan senyum yang merkah, gadis itu berujar, "lihat, ini bagus bukan."

Sejenak Senka terdiam, mengedipkan matanya beberapa kali. Tidak bisa ia bohongi saat ada desiran tidak nyaman menggerayangi tubuhnya saat melihat pekatnya darah yang keluar, begitu kontras dengan kulir putih presensi dihadapannya.

Lantas ia membuka ranselnya, mengambil sebotol air, beberapa lembar tisu dan plester luka. Dengan tangan yang agak sedikit gemetar, Senka mengguyur luka yang masih berdarah dengan air. Me-lap pelan dengan tisu, baru menempelkan plester sesuai arah lukanya, "Seharusnya kau mengobati lukamu, bukan menunjukkannya padaku."

Gadis itu merengut, meletakkan tangannya di bagian depan dari sepeda Senka, "Karena kau bisa melakukanya, jadi aku menunjukan ini padamu."

Netra Senka menatap lurus pada atensi lawan bicaranya. Redup, memang selalu begitu. Sendu, sudah tidak asing lagi. Senka tidak bisa menghakimi, ia hanya takut ucapan yang datangnya dari ketidak nyamanan yang ia rasakan bisa melukai presensi dihadapannya.

Meski hanya ia katakan didalam hati, tetap saja Senka ingin bilang kalau dirinya juga manusia. Dan ia remaja yang keadaan dan situasi hidupnya tidak bisa dikatakan datar-datar saja, suasana hatinya juga tidak tetap, dan terkadang Senka begitu jengah dengan hidupnya. Kebingungan saat menghadapi beberapa hal yang diluar kapasitasnya, hingga pada akhirnya ia memilih membungkam diri dalam keterdiaman. Menerima semuanya dengan tangan terbuka.

Jadi memilih menekan perasaannya sendiri. Hingga yang tampak dari luar hanya sikap tenangnya dalam menghadapi segala permasalahan. Termasuk masalah dari orang yang kini sedang berdiri di hadapannya. 

Karena pemikiran kawan Senka yang satu ini berbeda, Sangat sensitif dan punya banyak luka. Jadi setiap ucapan harus difilter secara berulang dan dipikirkan matang-matang, takut ada unsur menyinggung yang malah membuat kesalahpahaman datang.

Cara bicaranya pun harus tenang dan perlahan, agar tidak merasa ditekan atau disudutkan, "Hayeon, dengarkan aku." Meski tipis, Senka tetap berusaha mempertahankan senyumnya, "Jangan buat luka baru terus menerus. Jangan merusak dirimu, kau harus datang padaku dalam keadaan baik-baik saja. Baru aku ingin menemuimu."

Tapi terkadang, Senka juga bingung harus mengatakan apa. Meski ia berusaha untuk paham secara detail. Karena bagaimanapun, Senka hanyalah remaja.

Remaja tanggung yang diminta keadaan untuk cepat dewasa.

I try my best 🐣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I try my best 🐣



Written by Minminki.

24/7 = HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang