Tembus 788 Kata.
°•°•°
Sepatu Senka menginjak gerinting hijau sepanjang taman tepi sungai. Hari ini langit malam terlihat lebih terang sebab ada rembulan dan gemitang yang bahu membahu memperindah gelapnya bumantara malam. Harusnya ini cantik untuk dinikmati, pemandangan alam yang memanjakan mata. Namun semuanya tidak berjalan seperti semestinya saat dering ponselnya membuat jantungnya berdentang macam jam pendulum tua saat tengah malam.
Pemikirannya seketika bercabang-cabang, bergerak pada ranah negatif yang membuat perasaannya tidak tentu arah. Ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, membaur jadi satu, mengukung kalbu.
Tanpa pikir panjang, Senka langsung berlari keluar rumahnya. Mengambil Rookie di garasi, lalu mengayuhnya sampai di taman kota. Lantas ia turun, memarkirkan sepeda kesayangannya ditempat yang sudah disediakan. Berlari kesana kemari mencari presensi yang jadi rumah ketakutannya saat ini.
Semilir angin silih berganti berdatangan, meniup lembut rambut Senka, mengipasi sedikit keringatnya. Terngiang-ngiang ditelinganya, kata demi kata yang Hayeon ucapkan didalam teleponnya beberapa menit lalu. Kalimat yang membuat Senka langsung mengambil tindakan tanpa peduli hari yang mulai larut malam.
Dengan napas yang belum tenang, lelah yang belum luruh, kegelisahan yang semakin memuncak, pada akhirnya matanya menangkap presensi Hayeon di dekat pagar pembatas antara taman dan sungai. ia menarik tangan hadis itu dengan sedikit sentakan. Kelewat kalut hingga tanpa sadar bertindak cukup kasar.
Rahangnya menggertak, bisa dibilang Senka marah. Tetapi ia berupaya menahannya, namun Hayeon justru menghantam pertahanannya.
"Marah Senka, marah! Berteriak padaku, berteriak sepuas hatimu. Sedikit saja kamu terlambat, besok adalah hari pemakamanku, itu pun jika aku ditemukan." Dengan memancing amarah Senka meluap.
Hayeon bicara seolah kematian bukanlah apa-apa, "Ah, bukankah manusia yang tenggelam akan timbul tiga hari kemudian?""Hayeon cukup!" Ucapan tegas Senka justru memicu tawa Hayeon menguar.
Gadis itu tertawa keras, memberi tepuk tangan riuh tepat di depan wajah Senka, "Semua manusia sama Senka. Tunjukan kelemahanmu kalau tidak ingin dituntut sempurna dan harusnya aku sadar itu!" Lalu senyum milik Hayeon terlihat begitu sakit, "Aku terlalu naif, berpikir kalau semuanya bisa aku lakukan dengan sempurna hidupku akan baik-baik saja. Nyatanya, manusia tidak pernah puas dengan satu hal. Tapi manusia juga tidak dirancang untuk menaruh segala hal didalam genggaman tangannya. Ini benar-benar membuatku gila."
"Mereka tidak paham, segala cara sudah aku lakukan. Tenagaku tidak lagi cukup kalau diminta menarik bulan dari tempatnya. Semustahil itu untukku bertahan sekarang." Dengan kuat, Hayeon menggenggam pergelangan tangan Senka. Beberapa kali mengguncangnya, menyalurkan rasa menyiksa didalam sanubarinya, "Kenapa, kenapa mereka terus berusaha membuat ikan pandai memanjat pohon dan monyet pandai menyelam. Kenapa mereka tidak melihat apa yang aku bisa, kenapa mereka tidak melihat, apa yang sudah aku capai. Kenapa mereka terus meminta ini dan itu padaku. Kenapa!"
"Senka." Mata Hayeon memerah, berkaca-kaca dan tampak kacau.
Saat pandangan gadis itu mulai tidak tentu arah. Senka menarik genggaman tangan Hayeon, agar fokusnya tetap terjaga, "Sesuatu terjadi? Katakan Hayeon, Ayahmu pulang? Atau Ibumu menekanmu lagi?"
Seumpama angin malam, seperti itulah ucapan Senka Dimata Hayeon. Gadis itu tidak menanggapi, netrannya yang semula tampak gusar, kini terlihat hampa, "Jangan begini Hayeon, bilang padaku apa yang terjadi?" Nihil respon yang membuat ketakutan Senka semakin besar rasanya, "Hayeon aku mohon, katakan sesuatu."
Kekosongan tatapan dan tubuh yang mulai gemetar. Senka melihat Hayeon persis seperti yang Senka lihat enam bulan yang lalu. Saat jutaan tetes air menghantam bumi bersama guntur yang ikut ambil peran. Saat itu kali pertama Senka bertemu dan mengulurkan tangannya pada Hayeon yang sedang berusaha membuat dirinya terjun dari tingginya jembatan. Hingga akhirnya menempatkan Senka dalam situasi yang tengah dihadapi sekarang.
Gadis itu meluruh, tidak ada tangis dimatanya, hanya ada keputusasaan yang membaur dengan sorot sendu. Dan itu lebih menghawatirkan daripada raungan frustasi, "Kalau begini terus, kau bisa sakit Hayeon. Angin malamnya semakin dingin. Lebih baik kau pulang. Ayo, aku antar."
"Dan aku akan benar-benar mati Senka, aku akan mati. Apa kamu tidak paham?!" Jemari Hayeon yang semulanya bertaut, mendorong Senka hingga nyaris terjungkal, "Mereka bisa membunuhku. Lalu menyembunyikan kematianku sampai tidak ada satu pun yang tahu. Lebih baik aku mati disini daripada harus membusuk disana."
Sejenak Senka memejamkan matanya, menghela napas supaya bisa berpikir jernih. Hari makin malam, jalanan makin sepi, Dan Hayeon itu perempuan yang sangat rawan keamanan dirinya kalau terlalu larut pulang, "Tidak akan ada yang mati Hayeon. Tidak kalau Tuhan tidak ingin. Sekarang dengarkan aku." Memegang kedua bahu gadis itu, "Aku punya teman, rumahnya tidak jauh dari sini. Malam ini kau bisa menginap dirumahnya. Kau mau'kan?"
"Apa dia orang baik?"
"Tentu saja, dia temanku. Lagipula tidak mungkin aku menyerahkanmu pada orang jahat." Entah apa yang Hayeon pikirkan sampai melontarkan tanya sekonyol itu pada Senka, "Kau mau'kan Hayeon?" Untungnya gadis itu mengangguk tanpa syarat, "Oke, kalau begitu ayo bangun. Aku akan mengantarmu kesana."
Perlahan membantu Hayeon berdiri, lalu membenahi letak tudung Hoodie-nya, "Kita naik Rookie."
Senka menggandeng tangan kawannya sampai di tempat parkiran Rookie.
Aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, namun berakhir dengan apa yang mereka harus lakukan.
Written by Minminki.
KAMU SEDANG MEMBACA
24/7 = Heaven
Fanfiction[24/7 = Heaven] "Tidak perlu rumah untuk saling menyalahkan, tidak perlu rumah untuk saling menghina, tidak perlu rumah untuk saling membandingkan, dan tidak perlu rumah untuk saling menyudutkan. Tempat lain juga bisa."