Tembus 648 Kata
°•°•°
Lampu berpijar saat saklar ditekan. Gelap pulang saat terang datang, tetapi Sunyi tidak pergi meski sebesar apapun suara televisi. Layar besar dari benda elektronik itu memang menunjukkan sesuatu yang tampak ramai.
Acara vairety show memang selalu heboh, penuh candaan yang mengundang gelak tawa. Tapi Senka selaku yang menonton, hanya memasang raut yang datar. Kelihatan tidak tertarik, tidak berminat, tapi matannya tetap bermuara kearah televisinya. Alasannya satu, tidak ada lagi yang bisa ia pandang ditengah luasnya ruang keluarga, selain televisi canggihnya yang menyala.
Bukankah harusnya Senka terbiasa dengan kesunyian rumahnya. Hanya ada dua penghuni didalam rumah besar dua lantai yang ia tempati. Ayah, dan dirinya. Seharusnya memang pantas kalau sepi lebih berkuasa. Terlebih Ayahnya adalah penggila kerja, ia bintang besar yang sibuk dengan gemerlap duniannya di luar sana. Ketiadaan presensi itu yang terlalu sering, harusnya membuat Senka terbiasa dan tidak lagi membuat hatinya mengeluhkan kebosanan yang datang.
Hatinya tidak perlu melakukan sebuah kebodohan dengan mengharapkan jalan-jalan akhir pekan seperti keluarga normal lainnya. Sementara tidur seharian jauh lebih menyenangkan dimatanya, atau mungkin menghamburkan semua uang yang Ayah berikan, bukan ide buruk juga.
Lagipula Ayahnya tidak akan marah, kalau Senka berboros-boros dengan uang saku sekolahnya yang lumayan besar. Ayah akan memberikannya lagi dan lagi. Ayah pikir sudah mampu membuat putranya nyaman dengan memberinya banyak uang. Karena bagi Ayah uang itu bisa membeli segalanya.
Tetapi buat Senka, tidak ada setitik pun juga kekosongan yang terusir dari hidupnya. Sebanyak apapun uang yang Ayah berikan.
Tetap ada lubang yang terasa menganga dihatinya, tidak tahu letaknya dimana tetapi terasa begitu hampa. Sangat.
Perasaan mengerikan yang muncul tiap kali Senka melihat, betapa menyedihkannya suasana tempat tinggalnya. Kesunyian dimana-mana.
"Ayah pulang!" Suara Ayah terdengar, bersama dengan derap langkahnya yang datang menghampiri Senka.
Senyum Senka mengembang, seadanya. Ya, setidaknya ada sedikit balasan untuk suara kelewat ceria milik Ayah dan ia bukan anak durhaka yang tidak menghargai upaya Sang Ayah untuk menutupi lelah, "Senka lihat, Ayah punya dua tiket taman hiburan. Besok Ayah libur, kita pergi kesana sama-sama, oke?"
Senka semakin menyandarkan punggungnya, berusaha menyamankan diri diatas Sofa. Ia sudah terlalu tegang barusan, "Dan Bibi akan repot nantinya kalau Ayah sampai kena tipes. Lebih baik waktu libur Ayah dipakai buat istirahat. Buat Senka kartun di TV juga sudah hiburan."
Bentuk penolakan Senka, kedengaran begitu halus. Tapi buat Ayah ini cukup mengecewakan. Meski begitu, Ayah tidak gentar untuk membujuk putranya. Dengan menawarkan hal hal menarik yang bisa mereka lakukan selama di taman hiburan, atau mungkin makanan-makanan enak yang akan mereka temui disana.
Namun Senka tetap bergeming. Tidak tertarik dengan cerita Ayah yang dibuat kedengaran semenyenangkan mungkin. Wahana-wahana bermain yang seru-seru tidak juga mampu menarik minat Senka. Anak itu malah menekan remote control, mematikan saya Televisi didepannya.
Ayah kecewa? tentu saja. Senka tidak pernah menunjukan antusiasnya, tawanya, senyumnya, semangatnya sejak bertahun tahun lalu. Ayah mana yang tidak kecewa, tidak gusar dan tidak merasa payah.
Semaksimal mungkin Ayah Kalan berusaha memenuhi tugasnya sebagai Ayah disisa waktu bekerjanya, ia berusaha mengisi kekosongan dengan jadi segalanya untuk Senka. Ibu, Ayah, teman, guru, atau apapun yang Senka butuhkan.
Tetapi tidak ada perubahan, Senka tetap Senka yang sama. Pendiam, tidak terbuka, bahkan pada Ayahnya sendiri. Terasa asing, dingin, ada batasan tidak kasat mata yang terbangun diantara mereka.
"Kalau begitu Senka inginnya seperti apa? habiskan akhir pekan di rumah saja, begitu? Mau menonton film? Atau acara sepak bola?." Ayah Kalan masih berusaha, sangat berusaha, "Jadi nanti Ayah bisa istirahat sekaligus menemanimu. Benar'kan? Kita bisa pesan pizza juga nanti."
Harapan Ayah, akan ada kata 'iya' yang keluar dari mulut Senka atas usulan briliannya. Sayangnya, harapan itu tetap tertahan jadi harapan, tidak terwujud secara nyata.
Sebab Senka malah mengatakan, "Jangan berusaha terlalu keras, Yah. Aku menerima Ayah apa adanya. Jadi lakukan senyamannya Ayah, jangan memaksakan diri."
Ucapan yang membuat bahu Ayah Kalan turun. Ucapan yang membuatnya mengingat kembali rasa lelah setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaannya.
Noted for me?
Written by Minminki
KAMU SEDANG MEMBACA
24/7 = Heaven
Fanfiction[24/7 = Heaven] "Tidak perlu rumah untuk saling menyalahkan, tidak perlu rumah untuk saling menghina, tidak perlu rumah untuk saling membandingkan, dan tidak perlu rumah untuk saling menyudutkan. Tempat lain juga bisa."