Bab 37. Kencan Kedua

15 4 0
                                    

"Mau libur kerja berapa hari lagi, Mas?" tanyaku, saat Mas Bams menonton televisi.

"Dua hari lagi. Malas rasanya karena masih dalam suasana pasca pernikahan. Ibu pun belum berangkat berjualan panci," jawab Mas Bams.

Ibu Mertuaku seorang penjual panci, baju atau titipan apapun dari langganan beliau dari rumah ke rumah. Bapak Mertua mengantarkan beliau, dari pagi sampai sore.

"Okelah kalau begitu," kataku.

Ibu sudah mandi pagi-pagi dan berpakaian rapi, untuk berangkat ke rumah Kak Dina, mempersiapkan acara nyadran³⁵.

Mas Bams dan Ibu pamit, tak lupa aku mencium tangan mereka berdua. Setelah mereka pergi, aku mengedit video dan foto saat kencan kemarin untuk mengisi waktu luang.

**
Sore hari, usai Salat 'Asar. Mas Bams sudah kembali. Aku sudah bersiap ke kajian ibu-ibu setiap hari Selasa, seperti dulu saat lajang.

"Aku mau ngaji dulu," pamitku yang sudah siap dengan tas tanganku.

"Kuantar, ya." Mas Bams mengantarku berangkat ke kajian Selasa sore. Lajang atau sudah bersuami, harus tetap mengaji, bukan?

"Assalaamu'alaikum," salamku sembari menjabat dan mencium tangan Mas Bams, setelah sampai di tempat parkir majelis.

Beliau menjawabnya, lalu aku masuk.

Kajian berlangsung seperti biasa. Ustaz yang mengisi sempat memberiku ucapan selamat, serta doa semoga rumah tanggaku menjadi sakinah mawaddah wa rahmah. Aku pulang dengan berjalan kaki, sebab ada beberapa ibu yang juga jalan bersamaku.

Sampai di rumah, Mas Bams sedang mandi untuk pergi ke masjid. Aku duduk di sofa ruang tamu, lalu mengunggah video hasil editanku ke akun YouTube yang belum lama kubuat, kemudian ke Facebook, Instagram dan WhatsApp.

**

Usai membaca Alquran malam ini, aku membuka ponsel, lalu senyum-senyum sendiri melihat unggahan video hasil editanku tadi sore. Ternyata sudah banyak komentar lucu dari teman Mas Bams di Facebook.

"Temanmu lucu-lucu, ya, Mas." Aku tertawa.

"Alhamdulillah. Banyak yang mengira, ada banyak pemuda di desaku yang akan segera menikah mendahului rencana kita, ternyata kita yang lebih dulu."

Mas Bams pun menceritakan penghinaan dan candaan dari teman beliau dulu, ada juga sanak saudara yang tega mengatakannya pada beliau. Namun, Mas Bams tetap bersabar. Hal itu menjadi peringatan untukku agar tak sembarangan bicara pada orang lain, sekalipun niatnya basa-basi.

Mulut memang mudah untuk bicara, tetapi luka hati yang diakibatkan olehnya tak akan hilang begitu saja. Mulutmu harimaumu.

"O ya, Mas. Sekalian mau tanya, kok, waktu acara khitbah sekalian seserahan, kamu gak datang? Banyak keluargaku yang nanyain kamu," kataku, penasaran.

"Aku sengaja gak datang, untuk menjaga nama baik keluargamu," ungkap Mas Bams, membuatku bingung."

"Maksudnya?"

"Biasanya orang awam itu sesudah acara seserahan, calon pengantin pria dibiarkan tinggal di rumah wanita. Jika malam hari, maka sampai pagi. Kalau dari siang, ya, sampai besoknya. Istilah Jawanya dingengerke³⁶," jawab Mas Bams.

Aku terperanjat. "Masa? Aku baru tahu. Siapa saja yang masih mengikuti budaya itu? Tidak mungkin orang di sekitar kita, maksudku tetangga-tetangga kita melakukan hal yang keji seperti itu."

Mas Bams menggeleng, heran dengan ketidaktahuanku. "Enggak, masih banyak, Dek. Bahkan yang salatnya tertib di masjid, juga masih mewajarkan hal itu."

"Lalu kedua calon itu tidur sekamar?" Aku benar-benar penasaran.

Mas Bams minum kopi yang kusediakan sejak tadi. "Enggak, sih, biasanya. Beda kamar. Si cowok tidur bareng sanak saudara di tikar atau tempat yang luas, seperti ruang tamu, lalu si cewek tidur di kamarnya."

"Huf." Aku sedikit lega mendengarnya.

"Gak tahu juga kalau ada orang tua yang sengaja membiarkan anak dan calon menantunya tidur sekamar di hari itu, sesudah seserahan atau tunangan. Yang jelas, calon pengantin pria sengaja ditinggal di rumah si wanita. Sekarang, anak muda berduaan, mau ngapain kalau bukan begituan? Ditambah dukungan keluarga dari mereka, sudah pasti hawa nafsu yang menguasai keduanya. Makanya banyak kejadian hamil di luar nikah. Kita masih punya banyak PR supaya keluarga kita terhindar dari hal yang demikian," jelas beliau.

Aku mengelus dada, percaya terhadap informasi yang dikatakan Mas Bams. Kaget sekaligus prihatin, ternyata separah itu tradisi orang awam.

"Makanya, aku gak mau nama baik keluarga kita tercoreng dengan tradisi itu, menghindari fitnah orang luar. Saat itu, kedua calon mempelai belum halal, sehingga masih orang lain, tak boleh berduaan seperti sudah suami-istri saja." Mas Bams benar-benar pria idaman.

"Terimakasih, Suamiku. Besok setelah dari rumah Kak Dina, kita mampir ke Jembatan Gantung, ya," pintaku.

Mas Bams mengacungkan jempolnya.

**

Pagi-pagi sekali, aku dan Mas Bams sudah berpakaian rapi. Beliau memakai kaus merah, sementara aku memakai gamis yang belum lama kupakai serta jilbab dan cadar buttrefly.

Kami berangkat ke rumah Kak Dina dengan hati yang bahagia. Kami benar-benar menikmati masa indah ini, sebelum kelak akan sibuk--jika Allah menghendaki--dengan kehadiran anak.

"Lek Alia!" Abidah gembira sekali.

"Halo! Ini Lek Bams," kataku mengajarinya memanggil suamiku.

Abidah masih malu-malu untuk bercanda dan bermain dengan Mas Bams. Biarlah, mungkin kelak mereka akan akrab seiring berjalannya waktu.

Mas Bams, Kak Tono dan kedua mertua Kak Dina bercakap-cakap panjang-lebar. Mereka memang sudah saling mengenal karena sama-sama warga kajian. Setelah itu, kami makan makanan yang sudah disediakan.

Setelah pulang, aku dan Mas Bams pergi ke Jembatan Gantung sesuai janji tadi malam.

"Kamu berdiri di sini, ya. Biar aku yang video," kata Mas Bams yang sudah siap dengan kamera ponselku di tangan beliau.

Aku menurut.

Setelah dirasa cukup, aku meminta Mas Bams membawakan cincin dan mengambil video tangannya, lalu dari jauh, aku berlari dan memasangkan cincin itu di jari manisku.

Kami juga mengambil foto selfi berdua.

"Kita ke jembatan satunya lagi, ya!" ajak Mas Bams setelah kami naik motor.

"Ada satu tempat lain, Mas?" tanyaku sembari merekatkan pegangan di pinggang beliau.

Mas Bams mengangguk. Kukira hanya ada jembatan ini. Beliau memarkirkan motor di ujung sebuah jembatan. Mirip dengan yang tadi, tetapi kali ini lebih ramai. Banyak kendaraan berlalu-lalang.

"Kamu melangkah ke tengah, ya!" pinta Mas Bams.

Tak sesuai ekspektasiku. Aku kira tidak takut ketinggian, ternyata langkah kaki dan gerakan tanganku gemetar. Jurang di bawahku benar-benar dalam, sehingga jembatan tempat kakiku berpijak benar-benar tinggi. Terdapat pemandangan indah di sekelilingku. Pasti nanti hasilnya bagus.

"Mas, aku takut," kataku ketika ada motor yang lewat dan jembatan terasa bergetar.

Mas Bams hanya tertawa, lalu kami pulang setelah mengambil beberapa foto.

**

35. Nyadran: hari khusus di mana semua rumah di desa yang mengadakan nyadran menyediakan makanan, lalu tamu yang terdiri dari sanak saudara atau kenalannya pemilik rumah datang untuk makan-makan dan ngobrol panjang lebar. Di daerah yang menganut adat Jawa kental, pagi hari sebelum acara open house, para warga membawa makanan ke makam untuk diselamati. Namun, di daerah Alia, adat di pagi hari itu sudah dihilangkan.

36. Dingengerke: calon pengantin pria ditinggal di rumah wanita saat acara tunangan atau seserahan.

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang