Dua pekan berlalu, masuk bulan Ramadan. Aku berusaha untuk tetap berpuasa. Seperti hari ini, saat akan kembali ke tempat praktik Dokter Burhan untuk USG, dengan menaiki motor.
“Turun dulu, Mas. Rasanya mual banget ini,” ucapku di tengah perjalanan.
Mas Bams meminggirkan sepeda motor ke tempat parkir di depan sebuah toko yang masih tutup. Aku turun, lalu berusaha menenangkan diri agar tidak sampai muntah.
“Berbuka aja kalau gak kuat puasa, Dek,” saran Mas Bams, yang mungkin melihat wajahku pucat pasi.
Aku menggeleng. “Enggak, ah, Mas. Dicoba dulu aja. Kemarin-kemarin juga kuat puasa. Mungkin ini karena naik motor aja, sama asap kendaraan di depan kita yang gak sengaja terhirup walaupun sudah ditutupi cadar. Jadi mual, deh!” Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali.
Mas Bams memandang ke arahku dengan raut khawatir. Aku sedikit berjongkok, lalu mengibaskan cadar berulang kali, supaya bau asap yang tadi cepat hilang dan tidak memenuhi hidungku. Menoleh ke kanan dan ke kiri, bingung mau melakukan apa supaya tidak mual.
Setelah beberapa saat, akhirnya mualnya sedikit hilang.
“Gimana, Dek?” tanya Mas Bams.
“Udah lebih baik. Ayo lanjut jalan, takut telat dan gak jadi ketemu dokter nanti,” jawabku.
Kami pun kembali naik motor untuk melanjutkan perjalanan. Rasanya tak nyaman sama sekali. Namun, demi mengetahui keadaan si kecil, kami harus tetap sampai ke tempat praktik Dokter Burhan.
Sampai di sana, kami dilayani dengan baik. Keadaan si kecil dalam perut pun aman, yang meliputi air ketuban, ukuran kepala, berat badannya, dan lain-lain. Setelah Mas Bams membayar administrasi serta harga obat yang lumayan mahal, kami beranjak pulang.
Beberapa bulan kemudian, kami pindah ke tempat praktik Dokter Hari untuk USG, karena merasa sedikit tidak nyaman di tempat Dokter Burhan. Di sana suami tak boleh masuk untuk mendampingi istri saat periksa, kesannya terburu-buru karena tidak ada kesempatan konsultasi, dan biaya USG mahal walaupun itu sudah termasuk obat atau vitaminnya.
“Sudah pernah daftar, Bu?” tanya perawat yang mengurus pendaftaran untuk periksa atau USG.
“Belum,” jawabku.
“Boleh pinjam KTP-nya?” tanyanya lagi.
Aku memberikan kartu berbentuk persegi panjang dari dompet, lalu memberikan benda itu padanya. Perawat tersebut mencatat sejumlah data diriku, lalu bertanya tentang tanggal menikah, HPHT, ada keluhan atau tidak, dan lain-lain.
Usai menjawab detail dan dicatat oleh perawat itu, KTP-ku dikembalikan, dan aku disuruh menunggu di kursi yang disediakan.
“Masih banyak antrenya, Dek,” kata Mas Bams padaku.
“Gak papa, Mas. Kita tunggu dulu,” sahutku, sambil mengelus perut yang kadang kontraksi.
Terlihat beberapa orang yang sudah datang lebih dulu, sedang menunggu giliran untuk periksa. Jadi, kami harus mengantre, sampai sekitar setengah jam.
Ada suara Dokter Hari yang terdengar cukup keras di telinga. “Ibu Dwi Novia!”
Akhirnya aku dipanggil juga. “Ayo, Mas!”
“Memangnya boleh masuk?” tanya Mas Bams.
“Enggak tahu. Kita tanya dulu,” jawabku.
Kami masuk ke ruangan dokter bersamaan.
“Apa boleh didampingi suami, Dok?” tanyaku.
“Iya, boleh. Silakan duduk,” ujar Dokter Hari sambil tersenyum di balik maskernya.
Beliau ramah sekali, batinku.
Dokter Hari menanyakan beberapa hal tentang perkiraan usia janin, USG sebelumnya di mana, dan lain-lain. Aku pun menjawab dengan jujur. Setelah itu, beliau mempersilakanku untuk naik ke ranjang pasien. Beliau mulai memeriksaku.
Seperti di tempat Dokter Burhan, melalui layar monitor yang diletakkan di atas dinding dan tampak dari tempatku berbaring, aku bisa melihat si kecil yang sudah jelas bentuk badan dan kepalanya yang meringkuk ke samping.
MaasyaaAllaah. Aku terharu, tanpa sengaja meneteskan air mata. Betapa besar kuasa Allah, yang menghadirkan janin yang bisa bergerak dan bernapas, dan setiap saat kami rindukan.
Aku menengok sedikit ke arah Mas Bams yang duduk di depan meja dokter. Kulihat mata beliau juga sedikit berair. Mas Bams bisa melihat video USG melalui layar monitor di pojok atas ruangan. Kami takjub, begitu indah dan besar anugerah yang diberikan Allah pada kami, melebihi apa pun dan tak bisa dinilai dengan harta.
Jika bulan-bulan sebelumnya saat USG, kami belum bisa melihat si kecil dengan jelas sehingga belum menitikkan air mata, maka kali ini, kami benar-benar menangis, setelah menyaksikan gambar janin yang paling ditunggu kehadirannya.
“Jenis kelaminnya apa, Dok?” tanyaku, sambil mengusap air mata.
Dokter Hari masih fokus pada layar kecil di hadapan beliau. “Insya Allah cewek.”
“Oh, iya.” Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya kembali, karena berharap anakku laki-laki. Namun, tak apa, sama saja.
Hal yang paling penting adalah aku dan anak kami baik-baik saja, sehat sampai kelahirannya kelak.
“Berat badannya berapa dan air ketubannya cukup, gak, Dok?” tanyaku lagi.
“Nanti saya jelaskan, ya, Bu,” jawab beliau, membuatku terdiam.
Aku mengangguk kecil. “Iya, Dok.”
Dokter Hari beranjak lalu duduk di depan meja beliau, berhadapan dengan Mas Bams. Aku mengelap perut yang sempat diolesi cairan putih untuk keperluan USG tadi, lalu bangun. Dengan sangat hati-hati, aku turun, dan duduk di samping Mas Bams.
“Ada keluhan apa selama hamil, Bu?” tanya Dokter Hari.
Aku berpikir sejenak. “Tidak ada, Dok.”
“Tidak ada, ya? Janinnya sehat, Bu. Semua organ termasuk tangan dan kakinya sudah lengkap. Hanya saja posisinya masih menghadap ke atas. Nanti, Ibu bisa biasakan mengambil posisi bersujud. Sepuluh menit atau lima belas menit, yang penting sering, beberapa kali dalam sehari. Tujuannya supaya janin masuk panggul,” jelas Dokter Hari.
“Baik, Dok,” jawabku.
Kami menjadi lega mendengarnya. Aku mangut-mangut saat beliau menerangkan tentang air ketuban, berat badan, dan lain-lain, sambil mencatat sesuatu.
“Ini resepnya, Bu. Silakan ditebus di apotek di alamat ini,” ucap Dokter Hari sambil memberikan secarik kertas padaku.
Aku menerimanya sambil mengangguk. “Iya, terima kasih, Dok.”
Kami berpamitan lalu keluar dari ruangan.
Aku mengelus perutku untuk meredakan sedikit kontraksi yang melanda, sambil berdiri di teras. Mas Bams membayar biaya administrasi, lalu keluar.
“Ada print USG-nya, gak, Mas?” tanyaku.
“Enggak ada. Gak dikasih,” jawabku.
“Oh. Ya udah, gak papa. Ayo kita ke apotek ini. Jenengan tahu alamat tepatnya?” tanyaku lagi.
Mas Bams mengangguk. “Tahu. Ayo, Dek!”
Kami menuju tempat parkir lalu naik ke motor, dan pulang.
**
Hari terus berlalu. Tiba saat USG kedua. Kami berangkat ke tempat praktik Dokter Hari untuk kontrol kehamilan. Usia si kecil dalam perutku terhitung 32 minggu. Aku sangat berharap dia sudah masuk panggul sehingga ini menjadi USG yang terakhir sebelum melahirkan, karena jujur, naik motor dengan jarak yang cukup jauh membuatku kelelahan dan kadang muncul kontraksi yang sakitnya tak tertahankan.
Perjuanganku belum berakhir. Aku selalu berharap dan berdoa kepada Allah supaya diberi kesehatan dan saat melahirkan nanti pun lancar. Kami hanya pasrah dengan adanya virus COVID-19 selalu melanda ketika keluar rumah, asalkan sudah menjalani protokol kesehatan. Bulan demi bulan telah kulalui tanpa putus asa, meski kadang harus menitikkan air mata jika merasa kesakitan, dan terpaksa mengucapkan keluh-kesah.
Beruntung, ada suami dan Ibu yang selalu membantuku mengelus si kecil saat merasakan kontraksi yang membuat perutku menjadi kencang dan keras. Tak perlu ditanya bagaimana sakitnya, semua ibu hamil pasti tahu rasanya. Duduk kadang tak nyaman, malam-malam harus terbangun karena lebih sering buang air kecil, dan tak sanggup berjalan jauh. Namun, tendangan dari kaki mungilnya, atau saat dia menggeliat, membuat kami kadang tertawa karena lucu, sekaligus takjub pada kuasa Allah. Sebentar lagi, akhirnya kami akan menimangnya.
USG berjalan lancar, dan si kecil sudah masuk panggul. Semua normal, aman, dan sehat-sehat saja. Kami sangat bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️
RomanceMungkin, ungkapan 'awas, jangan terlalu benci, nanti kamu jadi jatuh cinta!' itu benar adanya. Istilah Jawanya 'sopo getheng bakal e nyandhing'. Seperti Alia yang jengkel terhadap Bams, laki-laki yang mengajaknya ta'aruf. Umurnya masih sangat belia...