Bab 11. Setitik Rasa

46 11 8
                                    

Pemuda berkulit putih itu lari-lari dari arah makam. "Mbak! Mbak!"

Aku yang berdiri di pintu makam, menoleh. Napasnya terengah-engah. Hatiku berdebar.

"Iya, ada apa?" tanyaku.

Ia mengulurkan tangan yang memegang benda pipih persegi panjang, "Ini HP Mbak jatuh."

"Oh, iya, makasih," ucapku sembari menerimanya.

"Lain kali hati-hati, ya, Mbak," pesannya.

Aku mengangguk, lalu dia berbalik ke makam lagi.

"Sebentar, Mas! Namanya siapa, Mas?"

Namun, langkah pemuda itu sudah jauh, mungkin suaraku sudah tak terdengar.

**

Aku terbangun. Ternyata itu semua hanya mimpi. Ada apa dengan diriku?

"Astagfirullah, Alhamdulillaahilladzii ahyaanaa ba'damaa amaatanaa wa ilaihinnusyuur," doaku kemudian.

Ternyata hari sudah pagi saat aku membuka gorden kamar dan melirik jam dinding. Setelah melipat selimut, aku beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Udara terasa begitu dingin saat air mengalir melewati wajah, tangan dan kakiku. Semua terasa mendamaikan. Begitu pula saat berdoa sesudah wudu, lalu berkhidmat dalam dua rakaat Salat Subuh.

"Assalaamu'alaikum warahmatullaah, assalaamu'alaikum warahmatullaah," salamku seraya menoleh ke kanan dan ke kiri.

Lubuk hati yang tenang, badan yang terasa segar, serta dengan pikiran jernih, aku mengangkat kedua tangan untuk berdoa.

"Ya Allah, ya Tuhanku, berikanlah petunjuk-Mu apa yang harus saya lakukan, kini. Kami pun khawatir kepada Ibu, ingin berbakti sepenuhnya dan membahagiakan beliau. Tetapi masih bingung; bekerja menjadi penjahit seperti Kakak, atau menjahit baju dari toko tetangga, atau-- menikah? Jika memang sudah waktunya hamba menikah, mohon tunjukkan, ya Allah, siapa yang akan menjadi suami hamba? Bolehkah diri ini berharap sedikit pada pemuda berkulit putih itu? Semua saya serahkan kepada Engkau, Ya Rabb. Aamiin."

Tanpa terasa, bulir-bulir bening menetes dari ujung netra ku, saat mengusap tangan ke wajah, pertanda doa selesai. Aku bimbang, tak tahu harus bagaimana memutuskan langkah ke depan. Aku paham bahwa tak selamanya bisa begini, mengandalkan kakak untuk menyelesaikan jahitan dan menopang kebutuhan makan sehari-hari. Pahit-getir rasanya kehidupan ini, sepeninggal bapak, semua jadi hampa.

Sebenarnya, sangat ingin memprotes kehendak Allah, mengapa memanggil bapak secepat ini? Tetapi aku sadar, tak boleh protes seperti itu. Kami harus ikhlas, tabah dan sabar seluas-luasnya, walaupun itu sangat sulit.

Aku menghela napas panjang, mencoba berdamai dengan keadaan, menguatkan diri sendiri. Aku yakin, Allah tidak memberi cobaan melainkan sesuai kesanggupannya. Itu berarti, Allah menilai kami mampu melewati ujian ini. Pasti ada hikmah di balik kejadian ini.

**

"Assalaamu'alaikum," salam seseorang dari luar.

Aku berjalan menuju pintu, lalu tersenyum mendapati sahabatku, "Wa'alaikumussalaam. Rila, ayo masuk."

"Ibumu ada?" tanyanya seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu.

"Ibu lagi ke pasar, belanja. Tumben punya waktu luang?" ucapku.

Rila membuka ponselnya, "Iya, nih, lagi libur kerja."

Aku menuju dapur, lalu kembali membawa dua gelas teh hangat.

"Ril, aku mau curhat," kataku.

Rila yang sedang fokus menatap layar ponsel, mengangkat wajahnya, "Iya, kenapa? Kamu keinget Bapakmu lagi, ya? Yang sabar, ya!"

"Bukan cuma itu, sih. Kalo itu, aku udah selalu berdoa supaya dikuatkan. Ini tentang--pemuda berkulit putih." Aku menggigit bibir bawah, tentu saja sahabatku bisa melihat ekspresi ku karena tidak sedang memakai cadar.

"Cieee, siapa, tuh?" Rila tersenyum.

"Aku gak tahu namanya, sampai kebawa mimpi tahu! Usianya gak jauh beda dari aku, kayaknya seumuran sama kita," jelas ku.

Sahabat yang berjilbab pink itu tampak berpikir, "Kamu harus cari tahu tentang dia! Kalau udah, cari pihak ketiga buat ta'aruf!"

"Hah?" Aku memutar bola mata, "Gak segampang itu, Ril!"

"Lia! Gak ada yang gak mungkin kalau Allah menghendaki, siapa tahu jodoh!" Gadis itu tampak begitu yakin.

Aku pesimis, "Iya kalo dia ikut ngaji, terus paham prinsip ta'aruf. Kalo enggak?"

Rila mengangkat bahu. Sesaat suasana hening, kami sama-sama sedang berpikir sembari menghabiskan minuman.

Tiba-tiba Rila menyeletuk, "Kita harus cari sosial medianya, Lia!"

"Gimana bisa nyari, Ril, sementara aku sendiri gak tahu namanya," ujarku.

"Sulit juga, ya. Udah, ah! Nanti kita pikirkan lagi. Aku balik dulu, yah. Dah!" Rila beranjak dari tempat duduknya.

"Tapi, Ril! Nanti kabar-kabar, ya, kalau kamu udah ada ide!" teriakku.

"Oke. Assalaamu'alaikum." Kini Rila sudah lenyap dari pandangan sebelum sempat mendengar aku menjawab salamnya.

**

Semilir angin menyapu kelopak mataku, membuat cadar berkibar-kibar. Terpaksa aku memeganginya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya memegang setang sepeda kayuh. Aku sedang menuju pasar untuk membeli alat jahit, disuruh oleh Kak Dina yang telah kembali ke rumah. Kali ini Abidah tidak ikut, mungkin kakek-neneknya--mertua Kakak--sedang kangen dan ingin menimangnya.

Suara rem berdecit saat aku berhenti tepat di depan toko. Alangkah terkejutnya ketika aku melongok ke dalam toko, ada pemuda berkulit putih yang kemarin sempat ku bicarakan dengan Rila.

"Benang hitam 3, benang putih 2, kain satin 1 meter. Semua jadi 40.000, Mas," ucap penjaga toko alat jahit kepada pemuda itu.

Apa dia penjahit juga sepertiku, batinku.

"Terima kasih, Mbak," ucap pemuda itu seraya memberikan sejumlah uang, lalu meraih plastik berisi barang yang dibelinya.

"Aduh, ini kembaliannya kurang. Sebentar saya tukar uangnya dulu, ya," kata penjaga toko.

Aku dan pemuda itu sama-sama menunggu. Jantungku seolah mau copot dari tempatnya. Aku belum pernah memiliki setitik rasa seindah ini. Sesaat berkhayal jika ia menjadi suamiku, betapa beruntungnya diri ini, merajut masa depan bersama ....

Rasanya ingin bertanya siapa namanya, tetapi aku masih sadar untuk menjaga maruah¹⁰ sebagai muslimah. Aku mengalihkan perhatian dengan membuka ponsel. Sementara itu, pemuda tadi bergeming menunggu uang kembalian.

"Ini, ya, Mas Tito, uang kembaliannya. Makasih," kata penjaga toko.

O, jadi namanya Tito? Nama panjangnya siapa, ya? Aku harus kasih tahu Rila! Dalam hati, aku bersorak.

"Mbak, mau beli apa, Mbak?" Pertanyaan penjaga toko menyadarkan lamunanku.

Aku pun menyerahkan selembar kertas berisi list barang yang hendak ku beli. Almarhum bapak yang mengajari membuat list seperti ini, supaya praktis dan hemat waktu. Aku menoleh, ternyata pemuda berkulit putih tadi sudah pergi. Ya Allah, bolehkah hamba memiliki setitik rasa untuknya?

**
Catatan kaki:
10. Maruah: kehormatan seorang wanita dalam Islam.

#smacademy #smwriting

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang