Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . . . .
"Jen? Ngapain lo megang-megang pantat gue?"
Nana menyetel wajahnya dengan jutek yang dibuat-buat, padahal jantungnya berdegup kencang penuh rasa membuncah. Jeno, sahabatnya yang seksi itu, sudah lama Nana dibuat mabuk kepayang oleh bingkai tubuh Jeno yang begitu indah dan menarik di matanya. Pernah sekali, Nana tidak sengaja melihat Jeno tanpa busana karena pintu kamarnya yang lupa dikunci. Sejak saat itu, Jeno jarang mengajak Nana masuk ke rumahnya lagi secara asal.
"Megang doang. Gak boleh?"
Jeno mengangkat sebelah alisnya, menajamkan matanya ke dalam mata lawan bicaranya yang sayangnya begitu memikat dengan cahaya kecil yang memantul di bola matanya yang bulat itu. Tangannya perlahan ia tarik, dilipatnya di depan dada. Pandangannya beralih ke sembarang arah. Bisa-bisa, ia semakin jatuh dengan 1001 pesona Nana yang begitu terpancar dengan lembut.
"Kok kondomnya masih lo pegangin?"
Nana merapatkan badannya, sisi paha mereka saling bersentuhan. Kulit paha Nana yang begitu mulus terpampang dengan cuma-cuma karena panjang celananya yang hanya seukuran satu jengkal. Nana hampir merebut bungkus kondom yang ada di tangan Jeno kalau saja Jeno tidak cepat bergerak menjauhkan tangannya yang berisi kondom jauh dari Nana.
"Ya gue megang doang. Lo mau ngapain?"
Alis Jeno bertaut dan menukik, matanya terfokus dengan Nana yang masih tenang dan tidak takut dengan ekspresi marah yang Jeno buat di wajahnya. Nana menegakkan badannya dan akhirnya dapat meraih bungkus kondom dengan aroma serta rasa pisang itu.
"Nih, dengerin gue ya, Jeno Mahendra. Ini gue udah beli satu kotak, mana mahal lagi. Gue belom gajian. Jadi hargain usaha gue, oke?"
"Maksud lo?"
"Dipake lah. Cepet buka celana lo."
Punggung Jeno tegak dan meninggi, ia gugup. Kini Nana sudah berada di antara kedua kakinya. Motorik pada tubuh Jeno berhenti bekerja selama beberapa waktu, sampai pria manis di sana menyadarkannya dengan menelanjangi selangkangan serta kakinya.
"Lo mau ngapain sih?"
"Pakein kondom. Itu si joni udah berdiri."
Nana menyobek bungkus blister berwarna kuning itu, kemudian mengeluarkan isinya. Ia genggam penis Jeno dan membungkusnya dengan kondom khusus oral sex itu.
"Udah cakep, udah didandanin nih si ganteng."
Saat Nana akan beranjak untuk berdiri, Jeno menahan pundaknya dan membuat Nana berlutut di hadapannya, di antara kedua kakinya. Jari telunjuknya menyentuh bawah dagu Nana, menariknya sedikit agar Nana mendongakkan kepalanya dan bisa menatap wajahnya.
"Jangan cuma didandanin, ajak main juga."
Nana tersenyum miring, sudut bibirnya naik sebelah. Segera ia genggam pangkal batang penis Jeno, dilanjutkan dengan lidahnya yang menjulur, mengecap rasa dari lapis kondom itu. Menit pertama, Jeno tak tahu harus bereaksi seperti apa. Rasanya aneh, ia hanya memperhatikan Nana yang terus menjilat dan mengemut kepala penisnya. Namun di menit selanjutnya, Jeno mulai merasakan rangsangan yang menurutnya luar biasa. Nalurinya mulai melaju cepat menjadi yang terdepan untuk mengambil alih dirinya.
Mulai terbawa suasana, Nana semakin gencar menggerakkan kepalanya naik turun. Gerakannya begitu kasar tak bertempo, hingga kepala penis Jeno terus menabrak dinding pangkal mulutnya. Ia ingat dengan video hentai yang ia tonton, bagaimana ujung penis masuk ke tenggorokan atasnya. Dengan segala rasa sok tahunya, Nana meluruskan lehernya sejajar dengan dagunya. Jika dibayangkan, posisinya seperti orang yang mendongak. Namun posisi kepala Nana mengarah ke bawah, pinggulnya naik.
"Anjing! Mulut lo haus penis gue, Na. Mulut lo jadi lacur buat penis gue. Akhh..."
Bukannya sakit hati ketika direndahkan, Nana malah semakin terangsang. Gerakannya sudah tak beraturan sama sekali, apalagi dengan tuntutan tangan Jeno yang menekan-nekan kepalanya. Ia pusing, gairah ini memabukkan untuknya. Tangisannya menjadi konfirmasi atas pernyataan yang barusan Jeno layangkan. Mulutnya hanya sanggup menelan penis Jeno dan terus mendesah.
"Jeva Nathaniel, pelacur yang cuma tau ngelahap penis gue, ahh! Jangan digigit. Nyepong yang bener!"
Sepanjang malam itu, Jeno dan Nana menghabiskan waktu dengan mengejar nafsu mereka yang begitu membara. Klimaksnya pada jam 1 dini hari, wajah dan tubuh Nana sudah penuh dengan sperma Jeno, sedangkan karpet di ruang tengah rumah Jeno sudah benar-benar becek dengan sperma Nana. Jeno dan Nana saling berpeluk di atas sofa. Kepala Nana bersandar di dada Jeno, ia sudah masuk ke alam mimpi lebih dahulu. Jeno menyentuh sudut bibir Nana yang sedikit luka akibat pergumulan mereka tadi, kemudian mengecupnya pelan.
"Maaf ya, Na. Gue gak pandai nunjukin perasaan gue ke lo dan malah nyakitin lo sampai luka gini. Tapi jauh di dalam lubuk hati gue, gue sayang banget sama lo, Nathaniel..."