Kalau kamu gak percaya hampir selalu ada cinta dalam persahabatan, tempat kamu bukan di sini.
Seperti halnya Jerfan dan Nadiel. Sejak masih menyedot susu, sampai sekarang bisa menenggak bir, mereka terikat dalam istilah yang disebut persahabatan.
"Nad, ambilin rokok gue. Sebatang aja, yang Sampoerna. Di deket HP gue tuh."
"Nyedot rokok mulu."
"Daripada gue nyedot bibir lo?"
"Anjing! Geli, Jer. Mulut lu kan bau rokok, bisa muntah gua."
Jerfan malah tertawa. Meledek Nadiel itu adalah salah satu hobinya, alasannya karena Nadiel yang gampang kepancing emosi, dan Nadiel yang lagi marah-marah itu kelihatan lucu di mata Jerfan.
"Jer, si Viona masih rajin ngintilin lu?"
"Gak tau. Gue gak peduli juga sih."
"Keknya dia gamon dah. Kasian anak orang."
Jerfan meletakkan batang rokoknya yang masih tersisa setengah di tepi asbak. Hembusan asap terakhirnya ia keluarkan pelan-pelan, memalingkan wajahnya dari Nadiel.
"Bukan gamon sih, dia tau kalo gue tau semuanya, soal dia selingkuh sama siapa, soal apa yang dia omongin tentang gue ke selingkuhannya."
Nadiel terkejut. Mulutnya yang ternganga, ia tutupi dengan telapak tangannya. Banyak hal yang sebenarnya tidak ia ketahui tentang Jerfan.
"Brengsek sih. Kalo gua jadi lu, mungkin gua bakalan sedikit trauma buat jalanin hubungan baru. Kayaknya sih, soalnya gua orangnya susah untuk maafin dan lupain."
Jerfan cuma tersenyum. Tangannya meraih kotak susu UHT seukuran 200 ml, varian coklat kesukaannya. Membuka bungkus sedotannya, menusuknya ke bagian atas, lalu menyedotnya dengan cepat.
"Kayak pas Kak Jefri putusin gua. Dia emang gak selingkuh, tapi dia bohong ke gua. Bilangnya mami papinya restuin, tapi ternyata malah dijodohin sama cewek."
"Dan lo gak mau berhubungan lagi setelah itu?"
"Gak juga sih, gua pengen punya pacar lagi. Tapi males nyarinya, harus deket dulu. Udah deket, kan belum tentu jadian."
Jerfan kembali menyedot susu kotaknya hingga habis, kemudian melemparnya tepat sasaran ke tempat sampah.
Angin malam di balkon rumah Nadiel mulai menusuk. Jarum pendek di jam dinding sudah mengarah ke angka 10. Udara Bandung agak lebih dingin dari Jakarta.
Jerfan dan Nadiel terpisah saat orang tua Nadiel memutuskan untuk menetap di Bandung, setelah nenek Nadiel dari pihak ayah meninggal dunia. Jerfan tidak masalah, toh dia juga sudah biasa bolak-balik Jakarta-Bandung demi mengantar dan menjemput Nadiel. Tapi mungkin, mereka tidak bisa nongkrong sesering dulu saat di Jakarta. Kendalanya cuma itu saja.
"Ngapain nyari? Kan lo udah ada yang deket juga."
Nadiel bingung. Alisnya terangkat sebelah.
"Siapa? Sotoy lu. Selama ini kan gua sama lu terus."
Jerfan tertawa keras. Sahabatnya ini kelewat polos atau malah mendekati bodoh. Pantas saja gampang dimanipulasi oleh Jefri si tukang bohong.
"Gak keliatan ya?"
"Apaan, Jer? Hantu?"
Jerfan mencium telapak tangannya, kemudian menempelkannya ke pipi Nadiel.
"Masih gak keliatan?"
Nadiel tertegun. Pipinya memerah saat menyadari maksud dari omongan Jerfan.
"Jer..."
"Gue abis ngerokok, mau cium lo, tapi takut lo muntah. Jadi lewat perantara aja."
Nadiel tanpa ragu langsung menghambur ke dalam pelukan Jerfan, duduk di atas pangkuannya, meletakkan dagunya di pundak sahabatnya.
Cinta itu buta, cinta juga tuli dan bisu. Namun cinta sejati bisa selalu tepat dengan tempat kehadirannya.
Seperti halnya Jerfan dan Nadiel. Setelah sekian kali terpencar untuk mencari cinta, mereka malah baru menyadari garis takdirnya.
"Je t'aime, Nadiel."
"Je t'aime, Jerfan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Teenager « NoMin »
Kısa HikayeCinta itu menyenangkan, Memabukkan, Memberikan ketenangan, Melepaskan beban, Juga candu untukmu. - Nomin's One Shot story - by. jaeminister