Korea Selatan bagian 4

4 1 2
                                    

Ting!

Jantungku berdegup kencang ketika melihat sebuah notifikasi dari nomor tanpa nama, namun diberi emot love.

[Nanti malam aku tunggu di taman dekat kota]  kata nomor tersebut.

Untuk kesekian kalinya aku menangis. Dadaku terasa sakit, napasku tersengal-sengal. Aku lupa untuk memeriksakan kesehatan, akhir-akhir ini rasanya dadaku sering sakit dalam jangka waktu yang lama.

Aku kembali ke tempat tidur setelah mendengar Mas Keham akan menuju ke kamar.

"Sayang bangun, istri tidak boleh bangun kesiangan," ucap Mas Keham memeluk tubuhku.

Ingin sekali aku berteriak, menjambak dan memukulmu Mas agar kamu merasakan apa yang aku rasakan. Jika bukan agama yang melarang, mungkin sudah aku lakukan sejak tadi.

"Tetaplah seperti ini. Aku ingin kamu memperlakukanku layaknya seorang istri"

"Maafkan saya. Jangan menangis. Saya tidak ingin melihatmu bersedih," ujar Mas Keham menghapus lembut air mataku.

Pukul 7 malam waktu Korea

Mas Keham berpamitan untuk bertemu dengan teman kantornya.

Aku ingin memastikan bahwa suamiku itu tidak bermain api dari belakang. Aku bersiap-siap untuk mengikutinya. Layaknya detektif, aku menyamar dengan sebaik mungkin. Kututup tubuhku dengan gamis hitam dipadu dengan jaket dongker juga Khimar yang senada. Untuk menyempurnakan penyamaran aku kembali memakai masker dan kaca mata berwarna hitam. Sempurna!

Dengan langkah jinjit aku mengikuti ke manapun langkah Mas Keham. Belum ada tanda-tanda mencurigakan. Sekali-kali ia melirik ke belakang, memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya.

Langkah Mas Keham berhenti di sebuah taman kota dengan lampu kelap-kelip.
Jantungku seketika berhenti berdegup, aku tidak mempercayai apa yang aku lihat. Berulangkali kupukul pipi memastikan bahwa aku sedang bermimpi. Air mataku kembali luruh, aku sedang tidak bermimpi. Benar dugaanku, Mas Keham memiliki perempuan lain selain aku. Dan perempuan itu...Ah entahlah, sulit bagiku menerima apa yang tidak seharusnya kulihat.

Tentang mata yang berdosa melihat adegan yang tidak seharusnya dilakukan oleh dua orang yang tidak terikat pernikahan.

Ayolah Kinaya labrak mereka! Kenapa diam saja!

Biarlah diri ini ku caci, memang seharusnya karena kelalaianku tidak memperhatikan gerak-gerik Mas Keham. Langkahku keluh, kakiku terasa berat melangkah.

Tuhan! Haruskah kujalani kehidupan yang tidak pernah kuinginkan setelah ini? Kehidupan yang membuatku hancur berkeping-keping tanpa sisa.

Ku tinggalkan dua manusia keji yang sedang beradu kasih itu, tidak tau malu. Layaknya sepasang binatang yang melampiaskan nafsunya di mana saja yang ia mau.

Secepat mungkin aku berlari meninggalkan tempat haram tersebut, berlari menembus derasnya hujan, berteriak sejadi-jadinya. Allah pun tau bahwa aku membutuhkan guyuran langitnya agar tangisku samar-samar tidak terdengar oleh siapapun.

Jika bunuh diri tidak dilarang dalam agamaku, mungkin saat ini sudah ku akhiri luka yang membelenggu hati. Semakin aku menangis, bayangan mereka semakin menari-nari di pikiranku.

Bugh!

Entah apa yang aku tabrak, yang jelas saat itu penglihatanku mulai gelap akibat terlalu lama terkena hujan.

"Mianhae"

Ucap seseorang kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya "Maafkan saya."

Aku bergegas pergi, tidak ku hiraukan ia memanggilku sejak tadi. Saat ini aku tidak ingin berbicara dengan siapapun.

Ketika aku melewati sebuah gang sempit, gerombolan anjing menggonggong keras, membuat langkahku terhenti.

Anjing tersebut berlari ke arahku. Aku berteriak keras ketika salah satu dari anjing tersebut ingin menerkam tubuhku.

"kwaenchanseumnida (tidak apa-apa)"

Ucap seseorang yang tidak asing di telingaku. Ku renggangkan jari melihat siapa yang di depanku.

Mataku membulat ketika tangan pria itu mendekati wajahku.

"Jangan!" Teriakku membuat laki-laki itu mundur beberapa langkah. Ya, dia laki-laki yang ku takbrak tadi.

"Saya tidak akan menyakiti anda"  selanya menggelengkan tangan.

Kuturunkan jari yang menutup wajahku, meyakinkan bahwa apa yang ia katakan benar.

Matanya mengikuti setiap gerakan mataku mengintrogasi. Sepertinya dia laki-laki yang baik.

"Apa yang kau lihat Nona" tanyanya membuatku tersentak.

"Terima kasih sudah membantu saya" ucapku sedikit tersenyum.

"Sama-sama" balasnya mengangguk.

Melihat kondisiku yang basah kuyup, aku berpamitan kepada laki-laki tersebut yang ku taksir berumur 25 tahun.

Dia bisa berbahasa Indonesia, mungkin saja dia bekerja atau mahasiswi di sini. Gumamku beranjak meninggalkannya.

"Ha-neul"

Teriak laki-laki tersebut kurang jelas karena jarak kami sudah lumayan jauh. Mungkin nama laki-laki tersebut 'Ha-neul' nama yang bagus.

Perempuan yang Kau AbaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang