Korea Selatan bagian 2 (Pertemuan Kinaya dan Luna)

3 1 0
                                    

Tidak terlalu jauh dari apartemen, kami tiba di restauran yang disebutkan Luna.

Seorang perempuan berambut legam panjang melambaikan tangan, senyum yang aku rindukan bertahun-tahun lamanya terpisah dengan Luna. Ia sangat cantik, dengan tubuh tinggi semampai juga kulit yang putih. Namun, cara berpakaian Luna masih sama seperti dulu, belum menutup aurat.

Bagaimanapun Luna, dia tetap orang penting dalam hidupku. Insya Allah, seiring berjalannya waktu Luna akan berubah menjadi lebih baik. Karena, hidayah itu milik Tuhan.

"Luna" aku sedikit berteriak karena jarak kami lumayan jauh. Ku balas lambaian Luna, dan berjalan mendekatinya.

Ekspresi Luna berbeda ketika melihat Mas Keham di sampingku. Matanya mengisyaratkan kepiluan, juga keterkejutan.
Begitupun dengan Mas Keham, tatapan itu layaknya seseorang yang merasa bersalah.
Cukup lama mereka saling tatap. Mungkin, mereka lupa ada perempuan yang menyaksikan dengan mata yang memanas.

"Lun?"

"Eh, iya, Aya. Ayo masuk"

Aku mengikuti Luna menuju meja di bagian pojok kiri yang sudah ia pesan tadi.

"Oh, ya. Kenalin, ini suami aku, Keham Dirgantara."

"Pasangan yang cocok, cantik dan tampan. Hehe," ucap Luna. Matanya beralih menatap sekitar ruangan.

Sikap Luna membuatku curiga. Kenapa matanya berkaca-kaca? Apa dia terharu karena aku sudah menikah atau ada hal lain yang Luna sembunyikan dariku selama ini.

Luna dan Mas Keham berkenalan, mereka saling berjabat tangan.
Ada rasa sesak di ulu hati melihat Mas Keham menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Tanganku saja tidak pernah disentuh dengan selembut itu.

Aku berdehem, membuat Mas Keham melepaskan tangan Luna.

Mataku menatap Mas Keham yang gugup.
Mas Keham tersenyum, seperti tidak terjadi apa-apa.

Apalah arti sebuah senyuman itu jika hatiku terlebih dulu terluka Mas. Kenapa harus di depan perempuan lemah kamu memperlakukan wanita lain dengan baik.
Apakah ketulusanku tidak pernah ternilai sedikitpun di matamu?
Kau tau? Seberapa banyak air mata yang ku korbankan untuk terus terlihat baik-baik saja di depanmu. Jika kamu tidak bisa mencintaiku, setidaknya hargai keberadaanku.

Mataku memanas, aku tidak bisa menahan gejolak embun yang sebentar lagi akan merembes.

Aku meminta izin ke toilet, meninggalkan mereka dengan tatapan tanda tanya.

Aku berlari, air mataku terus mengalir tanpa jeda. Tidak peduli orang-orang menatapku aneh, yang terpenting saat ini aku harus menumpahkan segala sesak yang menghimpit dada.

Ku hidupkan air kran, agar tangisanku tidak terdengar oleh siapapun. Bahkan, aku pun tidak ingin mendengar isakan yang membuatku benci terhadap diriku sendiri.

Setelah sesak mulai reda, aku menghampiri mereka yang sedang berbicara. Sekali-kali Mas Keham tertawa melihat lelucon Luna, mereka bukan orang asing, tapi dua orang yang sangat akrab.

Mereka diam ketika melihatku datang.

"Bahas apa aja Lun, akrab banget" ucapku berusaha untuk tersenyum.

"I—tu Ya, saling tukar pengalaman" jawab Luna ragu-ragu.

Aku tidak ingin berprasangka buruk. Mungkin benar apa yang dikatakan Luna.

"Hmm, aku haus. Kamu bisa pesan minuman Lun?"

Luna menggangguk

Ia memanggil waiters, memesan satu matcha latte, dan dua dalgona coffe.

Akhir-akhir ini dadaku sering sakit. Mungkin, karena kecapean dan tidurku kurang nyenyak.

"Mas, bisa antar aku pulang?"

"Kamu sakit?" sela Luna cemas

"Kayaknya ga enak badan Lun."

"Maaf, aku ga bisa lama-lama"

"Gpp, kesehatanmu lebih penting." Luna menggenggam tanganku, senyuman itu masih sama dengan 10 tahun yang lalu. Senyuman yang selalu menguatkanku ketika aku sedang tidak baik-baik saja.

***

Sepanjang perjalanan, aku terus menyandarkan kepala di dada Mas Keham. Tubuhku lemah, kepalaku pusing.

Mas Keham memijit lembut keningku, nyaman.

Tuhan, jika takdirku diperlakukan baik oleh Mas Keham dengan sakit seperti ini, maka aku ikhlas jika engkau uji dengan kesakitan.

Air mataku kembali menetes. Perlakuan yang aku inginkan selama ini.

"Bilang dari awal kalau kamu sakit. Biar kita ga jadi ketemu Luna." Bibir Mas Keham manyun, raut wajahnya kesal.

Aku bahagia melihat kekhawatiran yang Mas Keham berikan untukku.

Hatiku selalu terbuka untuk menerima cintamu. Bagaimanapun kamu, aku akan berusaha menjadi istri yang taat, istri yang mengharapkan keridhaan seorang suami yang ia cintai.





Perempuan yang Kau AbaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang