Kado Spesial Dari Papa

6 3 0
                                    

Adzan subuh berkumandang, suara ayam tetangga berkokok saling bersahutan. Aku mengerjapkan mata, lelah membuatku tidur dengan pulas.

Astaghfirullah!

Aku lupa membersihkan make up. Kepalaku pusing, mungkin karena banyak menangis. Dengan tertatih aku berjalan menuju kamar mandi, berwudhu dan melaksanakan dua rakaat subuh.

Pukul 05:15 Wib

Aku tersenyum simpul, ketika melihat Mas Keham tak kunjung bangun. Tubuhnya masih tertutupi selimut tebal, juga dengkuran yang membuatku menahan tawa.

Lucu sekali suamiku itu. Ganteng-ganteng ngorok, hihi.

Jam terus berdenting, belum ada tanda-tanda Mas Keham akan bangun untuk shalat. Ragu-ragu aku mendekatinya. Aku takut dia murka ketika ketahuan aku menyentuhnya.
Perjanjian apa yang tidak membolehkan seorang istri untuk menyentuh laki-laki yang halal untuknya. Memang aneh kamu Mas, tidak normal.

Ternyata Mas Keham lebih ganteng dilihat dari dekat, seperti aktor Korea Cha Eun-woo. Aku terus menatapnya lekat, tanganku menopang dagu agar leluasa memandang wajah Mas Keham.

Mas Keham menggeliat, tangannya tidak sengaja mengenai wajahku. Sontak aku terpental ke lantai, membuatku berteriak karena terkejut.

Wajah Mas Keham memerah, mata elangnya seperti ingin copot dari sarangnya.
Tanpa rasa iba Mas Keham mengangkat kancing bajuku, membuat tubuhku bergetar menahan rasa takut.

"Apa-apaan kamu!" Mas Keham bangkit, kembali mendorong tubuhku dengan kasar membuat pinggangku terasa sakit.

"A-aku cuma mau bangunin kamu sholat, Mas" aku membela diri dengan suara gugup menahan sesak yang menjangkit dada.

"Alasan!"

"Kamu tidak dengar apa yang saya katakan tadi malam! Haruskah saya ulang sekali lagi!"

Aku tidak tahan untuk menghentikan gejolak sakit yang menyesakkan dada. Air mataku luruh dengan deras. Aku tidak terbiasa di bentak, apalagi dengan orang yang aku cintai, seperti belati yang menusuk tanpa henti.

Kinaya, kamu hanya butuh waktu untuk kuat ketika di sakiti. Setelah ini, akan banyak cobaan yang menghampiri juga air mata yang berkepanjangan. Tubuh, semoga kamu kuat untuk menghadapi hari-hari yang tidak pernah kamu inginkan setelah ini.

Hening

Mas Keham sibuk dengan ponselnya, membuatku bingung harus bersikap seperti apa di depan suami yang tidak pernah mengharapkanku. Diam? Mungkin itu pilihan terbaik untuk aku lakukan saat ini.

Tok tok tok!

"Non Kinaya, Den Keham, dipanggil Ibu sama Bapak, " ucap Bi Sumi membuatku sedikit lega dari situasi yang membuatku tidak nyaman.

"Papa aku ada, Bi?" Aku kembali bertanya setelah membuka ganggang pintu.

"Ada non. Disuruh cepat sama Bapak"

"Oke Bi"

Setelah Bi Sumi pergi, Mas Keham beranjak dari sofa, meninggalkanku tanpa mengajak sedikitpun.

"Berusaha untuk tidak terjadi apa-apa di hadapan orang tua kita"

Oke, kali ini aku akan menuruti apa yang kamu minta, Mas.

Ruang makan

"Pagi Yah, Bun, Pa." Sapa Mas Keham berusaha untuk ramah, aku berjalan mengikutinya dari belakang.

Mataku terbelalak ketika Laila--adiknya Mas Keham juga berada di sana. Laila gadis yang jail, dia akan menjaili siapapun yang dekat dengan abangnya.

"Loh, pengantin baru kok jalannya gitu. Pegangan tangan dong, hehe."

Nah, kan. Belum dua langkah aku berjalan Laila sudah menunjukkan aksinya untuk membuatku malu.

"Iya tuh. Masa menantu cantik Bunda ditinggal gitu aja di belakang."

Allahu Akbar!
Ingin rasanya aku berbelok meninggalkan tempat ini, jantungku mulai berdetak tidak stabil.

" Maklum Bun, masih malu-malu, haha." Kali ini, Papa Budiman yang menyahut. Gak anak, gak ibu, gak bapak, sama aja.

"Duduk sini. Papa punya hadiah untuk kalian berdua."

Mas Keham dan aku duduk bersebelahan, entah kenapa aku gugup ketika berdekatan dengannya.

Papa memberikan 2 tiket liburan ke Korea Selatan, membuatku kegirangan. Pasalnya aku sangat ingin mengunjungi negeri ginseng tersebut, juga melihat bunga sakura bermekaran dengan indah.

22.30 wib

"Kenapa kamu senyam-senyum?"

Mas Keham bertanya, dengan ekspresi yang sulit untukku jabarkan. Mungkin, suamiku ini punya masalah dengan ekspresinya.

"Senang, karena mau ke Korea" jawabku nyengir bagai kuda.

"Jangan nyengir!"

"Kenapa?"

"Saya merasa tidak nyaman".

Bukan kamu aja Mas, aku juga gak nyaman kalau kamu terus-terusan dingin seperti ini.

"Oh, ya. Saya lelah, tolong kemasi barang-barang saya."

Dahiku mengeryit, tumben Mas Keham tidak membentakku. Biasanya sebelum minta tolong dia selalu mengeluarkan kata-kata kasar.

"Saya tau apa yang kamu pikirkan!
Jawabannya, saya juga menyukai Korsel meskipun pergi dengan perempuan yang tidak saya cintai."

Aku sudah tahu, tidak perlu kamu perjelas. Entahlah, sudah berapa banyak pedang yang menusukku membabi buta dari tadi.

"Semoga kamu tidak membuat mood saya berantakan ketika di sana".

"Akan aku usahakan"

Malam semakin larut, aku masih sibuk mengemasi barang-barang dan juga perlengkapan Mas Keham untuk beberapa bulan di Korea.
Mas Keham tidur dengan lelap, secuil senyum terukir di bibirnya, manis.

Begitu sulit untuk menatap wajahmu. Maaf, aku belum bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Keham.

Untuk sekian kalinya air mataku kembali menetes, jika dengan cara ini aku bisa menatapmu lebih lama maka, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.


Perempuan yang Kau AbaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang