5

3 4 0
                                    

Sutio bersenandung riang menuruni tangga teras menuju motor kesayangannya sambil memainkan kunci motor ditangan. Langkahnya terhenti kala suara menggelegar memanggilnya.

"Den, kacamatanya ketinggalan..."

Sutio menepuk dahi kemudian berbalik kedalam rumah, buru-buru menghampiri sang pembantu.

"Dimana bi?" Tanyanya pada wanita paruh baya didepannya dengan raut panik.

"Ini Den,"

Maria, sang pembantu mengangsurkan kacamata bulat yang ada di tangannya.

"Makasih Bi."

Dibalas anggukan oleh Maria. Kemudian berlalu pergi ke belakang.

Dengan cepat Sutio kembali kedepan menghampiri motornya.

Menaiki motor tersebut.

Ia berkaca sebentar pada kaca spion, menyugar rambut hitamnya, kemudian memakai kacamata bulat itu dengan hati-hati.

Berkaca lagi.

"Kurang apa ya?"

Ia menilik wajahnya lagi, matanya menyipit. "Ahha...!"

Sutio menyengir, tangannya naik, melorotkan kacamatanya sedikit kebawah untuk menyempurnakan tampilannya. Ia menggigit bibir bawahnya gemas.

"Sedikit lagi..." Gumamnya.

Ia mengambil sisir dari dalam tas, lalu merapikan rambutnya dengan membelah bagian tengahnya, kemudian dibagi dua; ke kiri sebelah, ke kanan sebelah. Jadilah rambut batok dibelah dua.

Senyumnya mengembang. "Perfect!"

Setelah penampilannya sudah sempurna menurut Sutio, ia langsung berangkat mengendarai motornya.

Dalam hati ia berkata. "Demi pacar, apapun saya lakukan."

[       Rentang Usia         ]


Romi bergegas menuju kantor usai mengantarkan Jesslyn ke tempat kuliahnya, tak dipungkiri hatinya bahagia dan lega mengingat hubungannya dengan sang kekasih baik-baik saja. Ia mulai memikirkan kelanjutan hubungannya kejenjang yang lebih serius lagi.

"Abang janji Abang jaga, Jesslyn untuk selamanya..."

Ia terkekeh geli dengan ucapannya sendiri. Tapi biarpun begitu, ia tetep melanjutkan nyanyiannya.

"Abang janji akan setia, hanya untuk satu cinta..."

Saking asik melamun membayangkan cita-cita pernikahan dan pengen punya cucu berapa, Romi sampai tak sadar didepannya ada motor yang berhenti hendak berbelok, membuat Romi tidak sempat menginjak rem dengan tepat, maka terjadilah kecelakaan kecil dimana moncong mobilnya menyundul sang penumpang didepan sana, setelah itu motor tersebut oleng dan ambruk ditengah jalan.

Romi terkesiap, dirinya bergeming. Jantungnya dag-dig-dug, kepalanya pun ikut puyeng. Ia masih tidak menyangka kejadian seperti ini akan dialaminya.

Gue harus apa?

Saat dirinya masih diam ling-lung, tiba-tiba saja kaca samping diketuk dari luar, membuat Romi menoleh cepat.

"Mas keluar mas, tanggung jawab!" Kata pria berjaket biru dengan helm dikepalanya  membuat Romi tersadar dan langsung melepas sabuk pengaman.

Kemudian melesat keluar menghampiri kerumunan yang entah sejak kapan orang mengerumuni korban kecelakaan tersebut.

Romi melesakkan tubuhnya diantara kerumunan, keringatnya bercucuran melihat darah yang berasal dari seorang perempuan yang menjerit duduk diatas aspal.

"Mamih sakit Ma... Huhuhu... Hiks. Papiiih...sakit."

Dengan hati-hati Romi menghampiri perempuan itu. Duduk dihadapannya.

"Ma-maaf mbak, ada yang sakit?" Romi meringis dengan pertanyaan yang dilontarkannya.

Si perempuan mendongak, matanya sembab, hidung dan pipinya merah, kontras dengan pipinya yang putih.

Bukannya menjawab, si perempuan malah semakin kencang menangis.

"Huaaa... Sakit..."

Tangan si perempuan mencengkram tempat sumber darah itu mengalir, kaki dan tangan, tapi Romi tidak tahu persisnya yang mana.

Dengan polos Romi ikut mencengkram bagian yang si perempuan pegang dengan cepat.

Si perempuan berjengit. "Waduuuh... Sakit..."

Karena kaget, Romi refleks mencengkram lebih erat.

Mata si perempuan melotot kaget bercampur sakit yang luar biasa. "Akhhh... MAMIIIH... PAPIIIH...."

Romi ikut melotot.

Mungkin bukan hanya Romi, tapi sisa kerumunan pun ikut melotot bercampur kaget dan gemas.

Salah satu ibu-ibu disana menimpuk kepada Romi dengan tas ditangannya.

Bugh!

"Hey! mas, cepet bawa si Eneng nya ke rumah sakit!" Kata si ibu.

"Iya mas, kok bego banget sih!"

Yang lain pun ikut bersahutan.

Kepala Romi jadi puyeng sehabis di timpa tas mahal milik ibu-ibu pejalankaki tadi. Membuat Romi meringis tak sadar.

Dangan gugup Romi membalas. "Iya Bu... Aduh..."

Dengan cepat dan terburu-buru, Romi menggendong si perempuan dan membawanya masuk ke dalam mobil, dibangku belakang, lalu menidurkannya di sana.

Si perempuan terus menangis meraung-raung membuat Romi semakin gugup dan kehilangan konsentrasi di saat bersamaan.

"Udah jangan nangis ya... Kita ke rumah sakit sekarang!" Seru Romi bermaksud menenangkan.

.
.
.

Sedangkan diseberang, tepatnya di toilet guru, Sutio tak henti-hentinya menelepon nomor sang kekasih, Nuel / Manuela cinta saya (nama kontaknya).

Dengan keringat bercucuran dia bergumam gemas sekaligus panik ayo angkat, ayo sayang! Tangannya memencet layar berkali-kali.

Ia teringat dengan kejadian tadi pagi saat sedang mengajar dikelas, tiba-tiba saja teman se-kost Nuel mengirimkan pesan padanya, bahwasanya Nuel alias kekasihnya nekat pergi mengendarai motor sendirian. Padahal Sutio masih ingat rem motor kekasihnya itu belum dibenerin. Dengan kata lain REM-NYA BLONG!

Tut. Tut. Tut... Panggilan tak terjawab.

Hah... Dirinya pasrah. Tinggal menunggu keajaiban saja, moga-moga ada yang mengabarkan kekasihnya ada dimana, dan kabarnya pun bagaimana.

"Dimana kamu Nuel... membuat saya khawatir saja?!"

Bersambung...

Gak tau deh aku publish bagian ini, kayak gak ada feel-nya gitu.

Plisss semangatin dongg ᕙ(⇀‸↼‶)ᕗ

Rentang Usia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang