Kematian Bapak

398 83 2
                                    

Seusai makan siang, aku memasuki kamar dengan perasaan campur aduk. Bapak belum bisa pulang bukanlah hal yang baru di telingaku. Sebetulnya, aku terlampau sering mendengar kalimat tersebut. Bisa dihitung berapa kali kebersamaanku dengan Bapak dari dulu hingga usiaku beranjak 10 tahun.

Akan tetapi, harus kuakui, walau bisa dikatakan jarang, sekalinya momen kebersamaan itu datang, kenangan tersebut akan sangat berkesan karena Bapak benar-benar menjadi sosok terbaik yang meluangkan seluruh waktunya untuk keluarga.

Aku meghempaskan tubuh di tempat tidur. Tembok kamarku dipenuhi potret kami sekeluarga. Aku, Bapak, dan Ibu yang diambil dari segala pose dan situasi. Akan tetapi, foto-foto di sana lebih didominasi potretku semasa kecil bersama Bapak di sebelahnya. Pikiranku seketika dipenuhi kenangan bermakna tentang Bapak yang diputar seperti kaset rusak.

Bapak yang mengajakku menaiki kereta dari terminal satu ke terminal lain, Bapak yang mengajari bermain tembak-tembakan menggunakan peralatan sederhana di halaman rumah, Bapak yang memperkenalkanku pada olahraga basket, Bapak yang suka bermain petak umpet dengan dirinya sebagai penjaga sedangkan aku yang akan bersembunyi....

Banyak kenangan yang tidak bisa kujelaskan satu persatu.

Walaupun Bapak sangat jarang berada di rumah seperti orangtua teman-temanku yang lain, beliau juga tidak pernah menghadiri momen-momen terpenting dalam hidupku, ia tetaplah menjadi ayah yang terbaik sedunia.

•••

"Bagaimana, Narendra, sudah menemukan apa cita-citamu?" Bu Aisyah menghampiriku yang sedang membereskan barang-barang untuk bersiap pulang. Hanya aku murid yang tersisa di ruang kelas.

"Belum tahu, Bu."

Beliau tersenyum pengertian. "Coba pikirkan lagi, ya. Pengumpulan tugasnya dua hari lagi, lho."

Aku mengangguk seraya mengacungkan jempol yang artinya 'siap'.

Bu Aisyah mengurai tawa sesaaat sebelum mengatakan sesuatu. "Kamu satu-satunya murid yang saya temui bingung memilih cita-cita. Di usia kamu yang sekarang, anak-anak lain pasti dengan bersemangat menyebutkan dokter, TNI, pilot, dan profesi-profesi bergengsi lain. Kenapa kamu tidak menginginkan hal tersebut, Naren?"

Aku memikirkan pertanyaan Bu Aisyah. Cukup lama hingga akhirnya hanya bisa mengedikkan bahu sembari berkata, "Tidak tahu. Tidak tertarik saja meskipun semua cita-cita itu mulia."

Tawa renyah Bu Aisyah berderai mengisi ruang kelas.

"Bu Aisyah, saya pulang duluan ya, wassalamualaikum," pamitku sembari mencium telapak tangannya.

"Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan, ya."

Aku mengangguk sebelum beranjak dari kelas menuju gerbang sekolah. Jarak antara rumahku dengan sekolah sangatlah dekat, hanya terpaut 10 rumah warga. Itu sebabnya aku tidak memperlukan sepeda untuk menempuh perjalanan ke sekolah.

Sesampainya di depan rumah bercat putih gading dengan pagar hitam setinggi perut orang dewasa, aku merasa ada yang berbeda dengan kondisi rumahku saat ini. Ada kejanggalan yang tidak biasa terjadi. Kulihat banyak mobil aparat bewarna hitam yang aku sendiri tidak tahu itu mobil siapa. Bukan kepolisian. Bukan pula TNI.

Kuperhatikan lebih seksama mobil yang berderet di depan rumah. Kuhitung jumlahnya. Total ada lima.

Dari depan pagar, kudengar suara isak tangis ibu yang begitu menyayat hati. Beliau menangis histeris seraya menjerit 'Gimana bisa? Kenapa selama 12 tahun kami menikah, saya baru tahu kebenaran ini?'.

Hatiku sontak tersayat. Perasaanku tidak karuan. Jantungku mencelus hebat. Otakku dipenuhi berbagai prasangka buruk. Aku hendak berlari memasuki rumah, akan tetapi sebuah tangan kekar berusaha menahan langkahku.

Aku mendongak. Menatap si pemilik tangan kekar tersebut. Seorang pria jangkung dengan seragam dinas berlogo Badan Intelijen Negara. Kuduga, orang ini pasti salah satu pemilik mobil dinas yang parkir sembarangan depan rumah.

Pria itu balas menatapku sendu. Sorot matanya dipenuhi kristal bening yang siap melebur. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang amat mendalam.

"Narendra, ya?"

Aku mengangguk, bingung. Bagaimana orang ini tahu namaku?

Pria dewasa itu tiba-tiba berlutut agar tinggi kami sejajar. Beliau memegang kedua bahuku erat. Sorot matanya yang muram mengunci netraku selama beberapa menit. Tatapan kami saling beradu dalam waktu cukup lama tanpa adanya pembicaraan. Aku berusaha menebak apa yang ingin ia katakan. Akan tetapi, nihil. Otakku tidak mampu memproses kejadian yang terlalu mendadak ini dengan cepat.

"Narendra, Bapakmu punya titipan surat." Setelah menunggu agak lama, beliau berucap dengan suara getir.

Aku menghembuskan napas kecewa. "Titipan surat? Biasanya, surat dari Bapak kan lewat kantor pos. Kenapa kali ini berbeda?"

Pria itu memaksakan seulas senyum palsu. Tidak bisa dibohongi, netra beliau berkata sebaliknya. "Surat kali ini spesial. Khusus buat Narendra."

"Apa suratnya dibuat karena Bapak nggak bisa pulang lebaran tahun ini?"

"Bukan hanya lebaran tahun ini saja bapakmu nggak bisa pulang. Tahun-tahun berikutnya juga nggak akan pulang."

Aku seketika panik, "Apa bapak nggak bisa pulang selamanya?"

Pria itu merogoh sesuatu dari saku celananya. Tanpa menjawab pertanyaanku, beliau mengeluarkan seutas amplop coklat yang terpatri namaku di atas sana. "Ini surat spesial dari bapakmu. Baca dan simpan baik-baik. Ini menjadi surat terakhir dari dia untuk kamu."

Selepas mengatakan hal tersebut, pria itu berlalu melewatiku. Masuk ke dalam mobil dinas dengan mata berair yang siap dimuntahkan. Aku mendekap surat pemberian bapak dengan perasaan gamang.

Surat terakhir ... katanya.

Apa setelah ini Bapak akan berhenti mengirimiku surat?

Tetapi, kenapa? Kenapa Bapak tega tidak mengabari anaknya?

Dari teras rumah, kulihat Ibu yang tampaknya mulai menyadari keberadaanku. Beliau segera berlari menghampiri, menyerbu dengan pelukan erat, lantas segera memuntahkan seluruh luapan kristal beningnya. Seragamku seketika basah.

Dengan suara bergetar, Ibu mengatakan, "Narendra tahu 'kan kalau semua hal yang ada di dunia ini ciptaan Allah? Termasuk kamu, Ibu, Bapak, semua yang ada di dunia milik Allah, Sayang. Kalau sekarang Bapak diambil Allah sang penciptaNya, Narendra harus ikhlas, ya."

Detik ini juga, aku merasa seisi duniaku hancur.

•••

Rahasia BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang