Rahasia Bapak

648 90 2
                                    

"Apa cita-citamu, Narendra?"

Aku mematung. Ditanya cita-cita, aku selalu kebingungan. Bu Aisyah menantikan jawabanku dengan senyum lebar keibuan. Wajahnya begitu bersahabat. Penuh kesabaran. Setelan gamis beserta khimar panjang yang beliau kenakan semakin menambah kesan ramah dan lemah lembut sebagai seorang tenaga pengajar.

"Ayo, Narendra, jangan malu," sahut Bu Aisyah kemudian dengan nada bicara yang menenangkan.

Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.

Tiba-tiba, Roni menyikut lenganku. "Bilang aja dokter. Aku juga mau jadi dokter."

Perhatian Bu Aisyah seketika teralih kepada Roni. "Roni mau jadi dokter? Wah, kenapa tuh?"

Roni, bocah tambun yang terkenal sebagai anak paling tajir di sekolah, menjelaskan kepada Bu Aisyah secara menggebu-gebu. "Papa saya seorang dokter, Bu. Jadi, saya ingin kayak Papa jadi dokter. Keren, bawa stetoskop."

Bu Aisyah memberikan dua jempol kepada Roni diiringi senyuman lebar berseri-seri. Tidak disangka, murid lain juga ikut menyebutkan cita-cita disertai alasan yang sama persis layaknya alasan Roni. Mereka semua tampaknya telah terpengaruh. Dari semua jawaban yang kudengar, sebagian besar beralasan menginginkan cita-cita tersebut agar serupa dengan pekerjaan orangtua mereka.

Aku lantas mengingat apa pekerjaan kedua orangtua. Siapa tahu, dengan begitu, aku akan mendapat ilham untuk menjawab pertanyaan Bu Aisyah mengenai cita-cita.

Ibuku seorang ibu rumah tangga. Sedangkan Bapakku....

Aku segera tersadar. Apa pekerjaan bapakku? Selama 10 tahun hidup, aku tidak pernah mengetahui dengan jelas apa pekerjaan beliau. Satu hal yang pasti, Bapakku bukanlah pengangguran. Setiap hari Bapakku tidak ada di rumah, yang artinya Bapakku sedang bekerja di luar. Namun, yang menjadi pertanyaan, apa pekerjaan Bapakku selama ini?

•••

Sepulang sekolah, begitu sampai di rumah, aku segera berlari ke arah dapur untuk menemui Ibu. Ibuku, seorang wanita cantik berbalut daster bermotif bunga-bunga dengan kerudung serut instan hitam polos, tengah mengiris wortel di atas telenan dengan serius.

"Bu, pekerjaan Bapak yang pasti itu apa, sih?" tanyaku, tanpa tedeng aling-aling.

Ibuku tersentak. Beliau seketika menghentikan aktivitas memotong wortelnya. Lalu, melayangkan atensinya kepadaku. "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu, Naren?"

"Ada tugas dari Bu Aisyah menentukan cita-cita. Temen-temen terinspirasi cita-citanya dari pekerjaan orangtua mereka. Kalau Bapak sendiri, Bu, pekerjaannya apa?"

Berani bersumpah, aku sempat melihat ekspresi kebingungan di wajah Ibu. Apa jangan-jangan Ibu juga tidak mengetahui pekerjaan Bapak?
Sampai akhirnya, beliau menutupi hal tersebut dengan mengalihkan pembicaraan.

"Kamu nggak pengen punya cita-cita jadi TNI? Pilot? Dokter? Presiden? Duta Besar?" Ibu memberikanku solusi.

Aku menggeleng.

Ibu tampak berpikir sejenak. "Kalau jadi guru gimana?"

"Bu...." Aku merengek. Bukan tanggapan seperti itu yang kumau. Aku hanya ingin mengetahui pekerjaan Bapak.

Lagipula, saat adminitrasi sekolah, ketika menuliskan pekerjaan orangtua, kami sekeluarga selalu kerepotan. Di buku rapotku tertulis sebagai pemadam kebakaran, di kartu keluarga tercetak sebagai PNS, di KTP pribadi beliau tercatat sebagai Wirausaha, sebenarnya ... yang benar yang mana?

Pernah suatu ketika aku memergoki Bapakku menuliskan pekerjaannya sebagai tukang bakso, tukang sampah, bahkan tukang galon di berkas-berkas adminitrasi lain.

Apakah Bapakku memang tidak punya pekerjaan tetap seperti orangtua teman-temanku yang lain?

Ibu membelai rambutku penuh kasih sayang. "Narendra, yang pasti pekerjaan Bapakmu halal. Bisa mencukupi kebutuhan kita bertiga. Sudah, ya, Ibu mau lanjut masak dulu. Oh ya, kamu segera ganti baju, oke. Nanti Ibu siapkan makan siangnya."

Tidak ada pilihan lain, aku menurut walaupun dalam hati sedikit kecewa dengan jawaban Ibu. Beliau belum mampu memuaskan rasa keingintahuanku.

•••

Rasa kesalku kepada Ibu perlahan memudar dengan masakan beliau yang super enak. Aku terkagum dengan jari jemari Ibu yang mampu menyulap bumbu-bumbu dapur dan bahan masakan di kulkas menjadi hidangan selezat ini. Kami menikmati sup gulai tengkleng kambing sambil sesekali bercengkrama. Aku menceritakan tugas sekolahku pada Ibu yang ditanggapi dengan memberikan sederet saran untuk memikirkan cita-cita ini jangan berdasarkan pada pekerjaan orangtua. Melainkan, karena memang aku menginginkan hal tersebut. Tidak harus sesuai pekerjaan Bapak. Aku mengiakan saja, walau tidak sepenuhnya paham bagaimana menentukan cita-cita.

Lalu, di akhir makan siang, Ibu ingin memberitahukan sesuatu. Beliau menggengam tanganku erat sebelum memulai pembicaraan. Raut wajahnya mendadak muram. Aku meneguk saliva tegang, sadar bahwa pembahasan ini pasti menyebalkan.

"Narendra, lebaran dua bulan ke depan, Bapak nggak bisa pulang lagi."

Sudah bisa kutebak.

Ibu menghela napas berat. Terhitung tiga tahun Bapak tidak pernah pulang ke rumah selepas mengatakan jika ada urusan pekerjaan di Lhokseumawe, Aceh. Menjalin komunikasi dengan beliau pun seringkali terbatas. Bapak selalu menggunakan media komunikasi surat dibanding berkirim pesan melalui media sosial. Aku sendiri heran. Di era serba moderen, Bapakku tidak tertarik mempunyai ponsel. Begitulah beliau, sulit ditebak.

"Kapan Bapak pulang?" tanyaku, lirih setelah berhasil mengendalikan emosi.

Ibu menggeleng tidak tahu sekaligus putus asa.

"Naren kangen Bapak."

Ibuku adalah wanita paling sensitif yang pernah kukenal. Mendengarku melontarkan pengakuan tersebut, air matanya berdesakkan keluar seiring dengan isak tangis yang sedari tadi berusaha ditahan.

Bukan hanya aku, Ibu juga tampaknya sangat merindukan kehadiran Bapak di rumah ini.

••••

a/n

Hi! Apa kabar? 🌻 terimakasii yaa sudah membaca. Have a nice day! <3

Cheers,
Diffean

Rahasia BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang