3

16 3 0
                                    

Lagu: To All of You - Syd Matters

----------------

Tiga bulan kemudian.

"Beb kamu masih di les? Aku nunggu di rumah kamu aja gimana?" Pertanyaan Wira membuat Ami mendengus kesal. Pacarnya ini ada-ada aja.

"Wira Putra Setiawan. Satu, kamu tahu perjanjian kita tentang dateng ke rumahku. Dua, jangan pernah panggil aku babe lagi. Lebay banget sumpah. Tiga, iya masih les. Jangan telfonin aku mulu makanya," jawab Ami main-main. Tangan memutar-mutar kuas yang sedang digenggamnya.


"Mhm, yaudah. Kangen aja aku," jawab Wira malas. "Jangan lama-lama ya, nanti aku kangen terus telfon lagi."

"Idih sappy banget dah jadi orang," Ami menyeringai lebar dan memerah sedikit. "Udah ya, aku selesaiin dulu ini gambarku. Nanti juga ketemuan di bioskop jam enam. Dadah."

"Dadah. Love you," Wira menyempatkan sebelum Ami menutup telfon.


Wira berbaring menengadah di atas sofa ruang tamu. Setelah menjatuhkan handphone dengan lemah ke bantalan sofa di bawah kepalanya, Wira menghembuskan nafas panjang. Bosan. Kesal juga sedikit.

'Kenapa coba Ami nggak pernah bolehin aku pergi ke rumahnya? Nyembunyiin apa sih dia? Apa dia nggak cukup percaya sama aku untuk nyimpen rahasianya? Lagipula rahasia apa coba yang segitunya disembunyiin?' Pikirnya.


Dua jam. Apa yang Wira bisa lakukan untuk membakar waktu dua jam? Jam enam rasanya masih jauh sekali. Padahal semuanya sudah dia siapkan supaya date malam ini berjalan sebaik mungkin. Ini hari ulang tahun Ami, dan dia harus membuatnya spesial. Dia sudah menyiapkan dua tiket kursi paling bagus di bioskop. Dia sudah menyiapkan baju terbagus yang dia punya. Dia sudah menyiapkan makan di restoran favorit Ami. Dia sudah menyiapkan hadiah set kuas dan cat baru untuk Ami. Dia tahu seberapa gemarnya Ami melukis.


Wira sudah mencoba mencicil tugas kimianya, namun tanpa bantuan Ami, dia tidak bisa membuat kemajuan yang berarti. Wira mencoba membuka agenda sekolahnya, melihat apa saja yang bisa dia kerjakan.

'Agama, udah. Mat, besok aja. Laporan fisika, susah banget. Nggak ada lagi sih kayaknya,' Wira membaca daftarnya dalam hati.

Berputar-putar di kursi berodanya, Wira sudah tidak bisa menahan keantusiasannya lagi.


'Oke, daripada nganggur, sekali-kali kusurprise-in Ami boleh lah,' pikirnya, membenarkan keputusan yang sudah dibuatnya.

----------------

Ami mundur beberapa langkah, mengagumi karyanya.

Kedua tangannya yang kotor warna-warni terkulai lemas di samping tubuhnya. Matanya juga Lelah dan tubuhnya pegal. Namun betapa puasnya dia setelah lebih dari 6 jam mengerjakan proyek ini, akhirnya selesai juga. Gambar ini selesai di hari ulang tahunnya pula. Terbesit di pikirannya, bagaimana hampir semua orang yang melihat hasil lukisan sudah jadi tidak akan pernah mengerti betapa banyak energi dan waktu yang dihabiskan untuk membuatnya. Pikirian ini agak menyebalkan bagi Ami, namun tidak ada yang bisa dia lakukan untuk merubahnya. Begitulah kehidupan seniman.


Ami melihat lukisannya lagi, kali ini meneliti semua detail paling kecil pun.

Gambar Ami menunjukkan beraneka bunga abstrak yang tidak punya bentuk jelas. Bunga-bunga tersebut terlihat hancur dan bertebaran dalam satu sapuan, menghasilkan campuran warna yang indah. Walaupun abstrak, terlihat bahwa gambar ini menunjukkan bunga. Merah muda, biru, ungu, jingga, dan putih saling berpadu. Hamburan warna ini terkonstraskan dedaunan dan rerumputan hijau di background.

Bagaimanapun, Ami belum bisa menentukan nama yang tepat untuk lukisannya. Untuk lukisan yang lumayan abstrak seperti ini, dia merasa nama yang harfiah kurang cocok. Nama Flowers atau sejenisnya telah dia coret. Melainkan dia ingin mengekspresikan sebuah emosi. Bukan Beauty atau Peace pula. Emosi yang ingin dia sampaikan lebih kompleks daripada itu semua.

Sempat terpikirkan oleh Ami namanya Nature of Life yang memiliki arti ganda. Pertama, kata nature berarti alam, atau keindahan flora yang digambarkan. Kedua, kata nature juga berari sifat dasar atau kodrat. Maksud yang ingin dia sampaikan adalah bahwa secara kodratnya, hidup itu semrawut abis.


"Wah Ami, Ibu yakin kamu pasti menang kali ini," kata Bu Retno, guru lesnya. Bu Retno menepuk pundak Ami dengan bangga. Ami pun tersenyum malu, tersanjung dengan kata-kata Bu Retno. Ami sudah mendaftar menjadi kandidat lomba melukis dari sebuah institusi edukasi. Harapannya agar karyanya bisa dipajang di museum. Tidak banyak yang bisa meraih penghargaan ini, dan Ami mengerti pula bahwa karya seni tidak bisa dinilai secara objektif. Ami daftar lomba ini dengan tidak menaruh harapan besar untuk bisa menang, namun karena dia benar-benar mencintai melukis.

Ami tahu bahwa sebaiknya kanvas hasil gambar ditaruh saja di tempat les, supaya aman dan tidak rusak. Namun karena ingin memamerkan hasil kerja kerasnya ke orang lain, tidak lupa dia memotret dahulu kanvas tersebut dengan handphonenya sebelum jalan pulang.


Jalan di sore hari ini menimbulkan perasaan menenangkan di diri Ami. Udara pinggiran kota masih segar, matahari yang setengah terbenam mengadakan pertunjukkan cahaya dramatis di langit senja, sepoi-sepoi cukup mendinginkan Ami agar tidak berkeringat, dan ilalang rerumputan pula bergoyang-goyang terpapar angin sore. Di tengah jalan, Ami pun mencabut setangkai bunga anggrek yang terlihat cantik. Bunga ini ingin dia beri ke orang paling spesial di hidupnya. Saat Ami sedang kesepian dan seluruh dunia seperti sedang membencinya, orang ini selalu ada baginya dan menemaninya.

Jauh sudah hari-hari Ami yang masih kesusahan dengan masalah agama yang dulu itu. Dia sudah membuat teman-teman baru, dia sudah punya Wira, dan sudah hilang itu keiinginan untuk menangkap orang yang menyebarkan rahasianya. Menurut Wira, tidak baik untuk kita terlalu fokus dengan masa lalu. Ami setuju, dan dia sudah move on. Dia lanjut berjalan menyusuri aspal, masih tidak sepenuhnya ada di tubuhnya sendiri.


Les privat Ami dengan Bu Retno tidak jauh dari rumahnya. Keduanya ada di kompleks perumahan yang sama di pinggir kota Jakarta. Ami ditawarkan orang tuanya untuk berkendara, namun dia memilih berjalan kaki. Memang hanya kurang dari 10 menit jalan kaki jaraknya, dan Ami pikir naik motor hanya akan boros bensin dan mencemari udara. Menendang-nendang kerikil dengan sepatu sekolahnya yang setengah usang, akhirnya Ami sampai juga di rumah.

Rumah Ami cukup besar. Dua lantai yang tingginya 9 meter, dinding dicat biru dengan pagar hitam, mobil ayah Ami terpakir di dalam, dengan pekarangan luasnya yang diisi tanaman-tanaman ibunya. Pintu rumahnya coklat tua dan dibuat dari kayu, dengan gagangnya yang memanjang ke bawah dilapisi cat emas. Di taman ada lampu lentera kecil yang selain menjadi penerangan, juga jadi pajangan pekarangan rumah.

Jika dibandingkan dengan teman-temannya di SMA Nawangsih, keluarga Ami tidak terlalu berada, tapi Ami sangat bersyukur dengan apapun yang dia punya sekarang. Dulu nasibnya tidak sebaik hari ini, dan dulu dia tidak pernah mengira akan bisa hidup semewah ini.


Ingin membuka gerbang dengan kunci rumahnya, Ami berteriak, "Aku pulang!"

Dia kaget, gemboknya sudah terbuka, lantas Ami masuk. Begitu pintu depan terbuka, di situlah dia melihat Wira berdiri, bersama ibu yang sedang menyendok kue di piring kecil. Tangan kanan Wira menggenggam lengan atas kirinya, menatap lantai dengan sikap bersalah.

"Ehm, maaf Mi," Wira berkata, tidak menatap Ami.

MekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang