7

19 3 0
                                    

Tujuh bulan kemudian.

Ami ingin muntah. Matanya sudah merah kering akibat begitu banyaknya menangis. Dia tidak yakin kakinya sanggup menopang tubuhnya yang terasa berat sekali. Dia harus mencoba terlihat kuat. Setidaknya beberapa menit lagi acara ini selesai.

Ami berdiri dengan kedua orang tuanya. Sekarang, mereka ada di dalam rumah dengan tamu berbaris di depan mereka. Satu per satu, mereka bersalaman dan mengucapkan kedukaan mereka. Lebih dari setengah orang di acara ini Ami tidak kenal, dan dalam hati Ami yakin bahwa mereka juga tidak benar-benar turut berduka. Mereka tidak benar-benar kenal Julia.


Julia terkuburkan hanya beberapa jam yang lalu. Sekarang anggota gereja, tetangga, dan sanak saudara bertamu untuk membantu keluarga yang sedang berduka. Bagi Ami lebih mudah jika mereka tidak datang saja.


"Tetap kuat ya nak," kata seorang wanita yang sedang menyalami Ami.

"Turut berduka cita," kata seorang remaja yang lewat. Ami membalas dengan senyum sopan.

"Kami sekeluarga mendoakan kalian," kata teman ayah. Ami membalas sebatas, "Terima kasih om."


Ami merasa pikirannya sudah mati rasa, penuh. Kepalanya pening, udara panas dan dingin di saat yang sama. Barulah Ami sadar bahwa dia sedang kesulitan bernafas. Dia langsung menuju balkon di lantai atas supaya bisa menghirup udara yang lebih segar.

Seketika Ami membuka pintu balkon tersebut, ternyata sudah ada sesosok juga yang berdiri di sana.

Orang itu langsung menoleh.


Wira menatap Ami dengan canggung, menggigit bibirnya. Baju yang dia kenakan formal, blazer kecoklatan. Wira terlihat lebih tinggi dari terakhir kali mereka bertemu. Ami terlalu kaget melihat Wira di sana, bahkan Ami juga membeku. Sudah 3 bulan mereka tidak bertemu, semenjak Ami pindah sekolah. Kebencian Ami terhadap Wira masih ada, namun sekarang sedang direndam dengan keterkejutannya. Wiralah yang pertama memecahkan kesunyian.

"Ami! Oh, aku turut berduka ya," katanya. "Aku mungkin nggak kenal Julia secara bener-bener, tapi aku tahu kamu sayang sama dia banget."

Ami menjawab secara naluriah, "Iya, makasih."


Mereka berdua terdiam lagi, kurang yakin apa yang bisa mereka katakan. Kali ini Ami mencoba berbasa basi.

"Gimana kabar lu, Wir?" Tanyanya. Namun dia langsung sadar menanyakan kabar seseorang di sebuah acara kedukaan mungkin bukanlah keputusan yang terbaik.

"Ehm... Nggak ada yang baru sih, Mi," jawab Wira. "Gimana sekolah di art school?" Tanyanya kembali.

"Begitulah," jawab Ami sederhana. "Setidaknya sekarang aku bisa belajar hal yang bener-bener aku suka."

Wira tersenyum, senang mendengar Ami sudah begitu yakin sekarang.


Namun kecanggungan kembali datang. Miris, betapa dekatnya mereka dahulu, namun sekarang seperti dua orang asing yang tidak nyaman berada di satu tempat yang sama. Seakan koneksi yang mereka punya dulu itu terputus sepenuhnya.

Setelah kesunyian berlangsung cukup lama, Ami akhirnya mengatakan, "Yaudah, aku kayaknya harus masuk lagi nih. Takut ada apa-apa." Ami tertawa tidak enak.

"Iya oke. Bener juga," jawab Wira. Dia tahu Ami hanya beralasan saja, namun sedikit lega bisa melarikan diri dari percakapan ini.


MekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang