5

17 2 0
                                    

Lagu: Kuhio Highway – Miki Miller

----------------

Lima jam berikutnya.

Ami dan Wira sedang duduk berlesehan di teras depan rumah Ami. Kegelapan malam menyelimuti mereka berdua. Rembulan bersinar redup di langit, sendirian. Tidak ada bintang yang terlihat. Udara masih menusuk dingin, walau mereka berdua sudah menggunakan jaket. Suara yang terdengar hanyalah nyanyian merdu jangkrik malam, dan kesibukan jalan raya di kejauhan. Mereka terdiam dalam keheningan yang nyaman.


Setelah konfrontasi yang canggung tadi sore, mereka tetap jadi pergi ke mal dan menonton bioskop. Rencana ulang tahun Ami masih berhasil terjalankan. Sebelum mereka pergi ke mal untuk kencan mereka, Ami dan Wira beserta ibunya Ami duduk dan berbicara terlebih dahulu. Mereka bisa saling terbuka satu sama lain, mengkomunikasikan apa yang mereka sekarang tahu tentang satu sama lain. Semacam terapi pasangan untuk mereka berdua. Pada akhirnya, semua hal terlihat akan berjalan baik-baik saja.

Hanya saja di lima jam terakhir, Wira meminta-minta maaf kurang lebih sekali tiap 10 menit. Ami pun bukannya tidak memaafkan, tapi Wira saja yang tampaknya tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.


Sedangkan Ami merasa dirinya terlalu bodoh tidak pernah mempercayakan hal-hal pribadinya ke orang lain. 'Kenapa coba aku harus selalu mendorong orang lain semakin jauh padahal aku lagi butuh bantuan mereka?' Pikirnya. Daripada menanggung kesulitan itu sendiri, lebih baik biarkan orang lain yang peduli dengan dirinya membantu dan membagi beban itu bersama. Itulah yang ibu nasehatkan tadi, dan mungkin ada benarnya.


Wira menggosokkan sepatunya dengan lantai, maju-mundur. Ami tahu tubuh Wira tidak bisa diam, terutama saat dia sedang gelisah tentang sesuatu. Ami ingin untuk mengubah suasana sedikit. Dia merogoh kantung celananya, dan membuka handphone. Setelah dibukanya gambar yang ingin dia tunjukkan, Ami menyenggol pundak Wira.

"Nih, kamu mau liat apa yang aku bikin hari ini?" Tanyanya dengan berharap. Pikiran Wira sedang kemana-mana, namun dia memaksakan diri untuk terlihat antusias. Untuk Ami, paling tidak.

"Mana? Coba aku liat," balas Wira pelan.


Ami menunjukkan foto lukisan yang dibuatnya tadi siang. Walaupun foto dari handphone mengurangi kualitas lukisannya dibanding jika dilihat secara langsung, Wira bisa melihat betapa indahnya lukisan ini. Bukan hanya indah, tapi juga berantakan. Berantakan yang disengaja. Tidak teratur dan tidak bisa ditebak.

"Mi, ini bagus banget!" Seru Wira, ingin memuji pacarnya yang berbakat ini namun tidak punya kata-kata yang memadai. Dia menambahkan, "Mungkin ini lukisan terbagus yang pernah kulihat."

Ami memerah sedikit, lalu dengan terkekeh kecil menjawab, "Ah elah, kayak kamu udah pernah ngeliat banyak lukisan aja." Karena kalimat Ami itu, Wira melotot bercanda.

"Eh jangan salah ya, aku tahu ada pelukis namanya Van Gogh. Ada yang namanya Picasso. Itu juga tuh si Leonardo DiCaprio," katanya tidak yakin. Ami hanya menggelengkan kepala, meringis. Wira tertawa canggung sedikit sebelum melanjutkan, "Mereka semua kalah sama lukisanmu, Mi."


Ami tahu Wira sedang mencoba sebisanya, dan itu sangat berarti baginya. Dia hanya menghela nafas, lalu menyenggol Wira sedikit lagi. "Makasih, Wir."

MekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang