4

16 2 0
                                    

Lagu: These Steady Hands - Yonder Dale

----------------

Empat puluh menit sebelumnya.

'Ibunya Ami kenal sama aku kan, jadi semoga nggak diusir,' pikir Wira yang sedang naik motor menuju rumah Ami.


Keputusan impulsif yang dibuat Wira adalah untuk mengejutkan Ami yang akan pulang les. Dari situ, dia akan membawa Ami ke mal dan melanjutkan rencananya. Memang Wira tahu Ami berulang-ulang kali sudah mengingatkannya untuk jangan datang ke rumahnya, namun apa yang bisa disembunyikan Ami? Wira merasa Ami hanya mengada-ngada saja.

Mendekati rumah biru itu, Wira parkir agak jauh supaya Ami tidak akan melihat motornya saat berjalan pulang ke rumah. Wira berdiri di depan gerbang hitam rumah Ami. Seperti wajarnya saja, Wira mengetuk gembok pagarnya dan setengah berteriak, "Permisi!"


"Iya?! Tunggu ya," sahut suara seorang perempuan dari dalam rumah.

Pelan-pelan mulai terlihatlah sosok ibu Ami di balik pintu depan rumah Ami. Mukanya yang selalu ceria itu makin tersenyum lebar. Ibu Ami sedang mengenakan daster kuning bercorak bunga-bunga, matanya sedikit lelah. Secara buru-buru, ibu Ami membuka kunci pintu rumah dan setengah berlari, ingin membukakan pagar untuk Wira.

"Wira yaampun! Tante udah lama nggak ketemu. Padahal Ami ngomongin kamu terus tau? Wira ini, Wira itu, apa aja Wira deh. Ami itu nggak jelas ya, nyeritain itu semua ke tante tapi nggak pernah ngundang kamu ke rumah," omel ibu Ami. Wira tertawa canggung. Dalam pikirannya, dia memikirkan apa alasan Ami tidak membolehkan dia ke rumahnya. Bahkan ibu Ami saja senang bertemu dengannya.


"Sini, sini. Masuk kamu. Naik apa kamu ke sini Wira?" Tanya ibu Ami, mempersilakan Wira ke dalam ruang tamu.

"Ojek tante," Wira berbohong, setengah tidak sengaja. Wira tidak ingin ibu Ami mengira dia naik motor dan bisa membahayakan Ami, walaupun Wira tahu ibu Ami tidak akan keberatan. Dia tidak seharusnya berbohong. Mengapa selalu ada dorongan di dalam diri Wira yang menyuruhnya untuk berbohong?


Di dalam, rumahnya gelap. Rumah Ami lumayan besar, namun tidak banyak lampu yang dinyalakan. Sofa di ruang tamu dilapisi plastik, seperti baru dibeli namun tidak dibuka bungkusnya. Wira tebak agar lebih mudah membersihkan debu dan supaya tidak mudah rusak, namun dia pikir itu tidak praktis sama sekali.

Ada empat foto berbingkai berisi keluarga Ami di ruang tamu ini, keempatnya terlihat diambil belum begitu lama. Namun satu foto berbeda dari yang lainnya. Foto ini diambil di tempat tidur, bukan dari set pemotretan seperti tiga yang lain. Tempat tidurnya khas kasur rumah sakit, yang bisa dilipat dan yang ada pegangannya di kiri dan kanan. Lalu di foto ini, ada orang keempat yang tidak ada di foto-foto lainnya.


Dia anak-anak, kepalanya botak dan terbaring lemas di atas kasur. Usianya tidak mungkin lebih dari 15 tahun. Ami, ibunya, dan ayahnya mengelilingi tempat tidur, tersenyum tulus ke kamera. Anak ini juga tersenyum, dengan mengangkat jempol, namun dirinya menggunakan jubah rumah sakit berwarna biru. Wira juga sempat melihat semacam kantung infus yang digantung di atas gantungan di samping tempat tidur. Sebelum bisa mengambil kesimpulan apapun, ibu Ami sadar akan ketertarikan Wira dengan foto ini.

"Oh iya, kamu belum pernah ketemu Julia ya? Mau ke atas? Udah saatnya dia bangun juga," tawar ibunya Ami.

"Julia siapa tante? Ami nggak pernah-," Wira tidak jadi mengakhiri kalimatnya. Dia punya firasat buruk bahwa sebenarnya dia kira-kira tahu siapa Julia itu. Wira mulai menyesal tidak menuruti Ami saja.

MekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang