PART 1

19 5 0
                                    

"Jika kamu merindukan seseorang, tataplah matahari sore. Kirimkan pesan rindumu untuknya lewat senja."

- anonim


"Arghh frustasi gue lama-lama gara-gara skripsi gue sampai sekarang belum ada tanda-tanda di acc"

Senjana Nandika tengah frustasi akibat skripsinya selalu dipenuhi coretan oleh sang pembimbing. Ingin sekali ia mengumpati sosok pembimbingnya karena menghambat Senjana untuk sidang skripsi tahun ini.

"Heuh, selalu aja lo mengeluh ini. Makanya fokus lo skripsian jangan H-1 bimbingan baru lo perbaiki skripsi yang penuh coretan Pak Sena" omel Haidar, sahabat Senjana yang sama-sama pejuang skripsi itu.

Senjana tak mengubris perkataan sang sahabat. Memang benar jika ia mengerjakan revisi skripsi disaat mendekati bimbingan. Tetapi salahkan aja moodnya yang suka mengerjakan skripsi disaat mendekati bimbingan membuatnya kini semakin frustasi.

"Saran gue, lo diskusikan deh revisian lo sama Pak Sena. Iya gue menyarankan lo supaya lo cepat kelar dan gak diejek sebagai mahasiswa abadi karena skripsi" jelas Haidar yang menatap iba sahabatnya itu.

"Au ah, gue mau ke atap. Kesukaan gue sebentar lagi muncul" setelahnya Senjana meninggalkan Haidar yang hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya mulai berlari.

"Nana kenapa tuh?" tanya Arjuna melihat Senjana berlari kepada Haidar.

"Biasalah, tempat kesukaannya" jawab Haidar sembari memakan bakso tenis kesukaannya.

Senjana memasuki rooftop kampusnya, tempat dimana menjadi favoritnya saat ini. Kini ia duduk di kursi yang tersedia dan mulai memakai headsetnya.

Senjana menyukai langit senja yang cahayanya mulai menerpa wajahnya yang terbilang manis menurut kedua sahabatnya.

"Oh, kamu disini rupanya. Bukannya revisi skripsi malah bersantai" ucap seseorang yang tengah bersandar pada pintu rooftop. Senjana terkejut melihat sosok dosen pembimbingnya sejak kapan sudah berada di rooftop tempat favoritnya.

"Pak Sena sejak kapan ada disini?" tanyanya sedikit ketus karena sosok yang menyebalkan berada di tempat favoritnya.

"Memang kenapa saya berada disini? Bukankah ini tempat umum?" tanya Sena yang mulai mendekati mahasiswa yang dibimbingnya dan mengikis jarak pada mahasiswanya.

Skakmat.

Senjana menatap datar dosen yang dihadapannya saat ini, sungguh ia ingin mengumpati bahwa dosennya sangat menyebalkan. Tanpa memperdulikan dosennya, Senjana hendak meninggalkan Sena yang masih berdiri dihadapannya. Namun sebuah tangan mencekal lengan Senjana dan terkejutnya saat dosennya mencium bibirnya.

Senjana shock ingin berontak namun badannya lemas untuk melawan dosennya yang mulai mengambil first kissnya dibawah cahaya senja kesukaannya. Sena melepaskan ciuman mereka, menatap Senjana yang masih shock. Tanpa kata, Sena meninggalkan Senjana yang masih terpaku kejadiannya tadi.



§§§



"Brengsek apa yang dia lakuin tadi?" geram Senjana saat dirinya telah tiba di Apartemennya. Sejak kejadian di Rooftop membuat Senjana semakin membenci sosok dosennya yang selalu membuatnya emosi.

"Kenapa sih, Kak Nana? Icung lihat Kakak marah baru sampai rumah" sosok pemuda kelebihan kalsium muncul dari arah dapur.

"Arghh, Cung! Gue benci sama dosen pembimbing gue. Skripsi gue selalu kena revisi mulu" rengek Senjana membuat Jisung Nandika menatap kakaknya aneh.

"Ya lo sendiri juga salah, kalau udah ada revisian ya kerjain. Jangan lo diemin, H-1 mau bimbingan baru lo kerjain" ucap si bungsu sembari memakan eskrim yang dibawanya dari dapur.

'Masalahnya dia ambil first kiss gue' ucap Senjana dalam hati.

"Ah, gue mau berhenti kuliah aja rasanya" keluhnya menatap layar televisi yang menayangkan film Frozen kesukaan Jisung.

"Gue ke kamar dulu ya, Cung. Kalau mau makan lo hangatin aja makanan yang tadi"

Senjana memasuki kamarnya dan merebahkan dirinya pada kasur kesayangannya. Menatap langit-langit kamarnya mengingat kejadian di Rooftop membuatnya semakin jengkel.

"Argh, dosen kampret nyebelin huh!" geram Senjana melirik hpnya yang menyala. Terlihat notifikasi whatsapp dari dosen pembimbingnya yang menyebalkan.


Pak Senandika

Besok bimbingan jam 16:00

Saya tunggu.

"Ah, anjir!"



§§§



"Aku pulang" Senandika memasuki rumahnya, menatap kedua orang tuanya yang tengah asik menonton di ruang keluarga.

"Sayangnya mami udah pulang?" Tamara menghampiri anak sulungnya, sembari mengusap pelan kepalanya. Sedikit khawatir saat melihat wajah Sena terlalu pucat.

"Sena sakit? Kok pucat begini hm?" tanya Tamara menangkup pipi putranya. Sena hanya tersenyum menjawab pertanyaan mamanya.

"Gapapa, Ma. Memang lagi lelah aja habis ngajar mahasiswa hehe"

Tamara mengusap pelan kepala putranya, tersenyum menatap sang anak. "Jangan kecapean anak mama ini, iya sudah kamu mandi dulu. Nanti mama antar makan malamnya ke kamar"

Sena hanya menganggukan kepalanya, kemudian naik tangga menuju kamarnya di atas. Saat ia masuk kamar, Sena tersenyum tipis mengingat wajah terkejut mahasiswanya yang diciumnya.

"Ternyata gak berubah, Nana"


*tok tok*

Tamara membuka pintu kamar Sena, meletakkan nampan berisi makan malam di nakas tempat tidurnya. Terihat Sena sedang mengusak rambutnya yang basah sehabis mandi.

"Sen, ini makan malamnya mama bawain sekaligus obat kamu" Sena menganggukan kepala, lalu menghampiri sang mama.

"Ma, Sena ketemu Nana" ucapnya menatap Tamara sambil menikmati makan malamnya.

Tamara tersenyum menatap putranya sambil mengelus kepalanya. "Lalu, Nana ingat kamu siapa hm?"

Sena mendesah pelan, menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan sang mama.

"Bahkan dia lebih galak dari mama sekarang, sudah dua belas tahun pasti dia gak inget Sena"

"Besok mama ketemu sama Bunda Wenny, antar mama ke rumah Bunda Wenny ya"

"Sena besok ada jadwal ngajar pagi dan mahasiswa bimbingan skripsinya, Ma" sedikit menyesal tidak bisa mengantar Tamara.

"Ah, anak mama sibuk banget hm? Iya sudah besok mama diantar Pak John saja-" sejenak menghentikan ucapannya, kini perempuan dua anak menatap Sena dengan ragu.

"Sena-"

"Apa kamu sering konsultasi dengan dokter Tara?"

Sena terkejut menatap Tamara, jujur saja bahwa ia akhir-akhir ini jarang berkunjung untuk sekedar mengecek kesehatannya.

"Mama bukannya curiga, tapi mama selalu lihat obat kamu selalu utuh. Sena rajin kan minum obatnya?" tanya Tamara menatap putranya.

"Sena rajin kok, Ma. Jangan khawatir Sena sengaja stok obat karena Sena sering lupa" bohongnya pada Tamara.

"Ma, Sena mau istirahat dulu ya. Makasih untuk makan malamnya" ucapnya kini rebahan dikasurnya. Tamara hanya menghela nafas, menatap punggung Senandika.

"Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dari mama, Sena?" batin Tamara menatap sendu punggung Sena.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang