satu

198 15 0
                                    


---

Hari ini hujan.

Tapi aku sedang berada dibalik kemudi, diiringi tawa kecil kakek yang dengan bangga menepuk pundak karena sejatinya aku baru mendapat SIM dua minggu lalu. Sudah dua puluh menit aku menemani kakek berkeliling. Beliau kukuh memaksaku mengantarnya, entah kemana, tak mau ditemani siapa-siapa lagi, dan sukses membuat orang rumah khawatir.

“Kamu tahu taman terbengkalai di belakang komplek?” kakek tiba-tiba bertanya. Matanya yang sipit nyaris menghilang ketika beliau berbicara. Kerut-kerut di sekitar mata berlekuk semakin dalam sementara senyumnya terkembang ketika aku mengiyakan.

“Kita kesana, ya?” pintanya dengan nada hati-hati yang kentara. Membuat perasaan tak enak yang sejak tadi bercokol di dada semakin besar. Aku menatapi hujan yang rapat menuruni bumi, “hujan, Kek, nanti kepeleset, gimana?”

“Yang bilang bakal turun disitu siapa, toh?” elaknya kemudian. Membuatku tertawa dan akhirnya menuruti keinginannya. Membuatnya sekali lagi tersenyum meski aku tahu ia sedang memikirkan banyak hal lain dibalik senyumnya.

Ponselku bergetar. Membuatku menoleh sedikit melihat layar dan nomor ibuku terpampang disitu. Sudah beberapa kali beliau menelepon dan aku memilih untuk mengabaikannya atas perintah kakek. Kami berdua tahu kalau telepon itu kuangkat, kami harus pulang dan menghentikan acara berkeliling tanpa arah dan tujuan ini.

“Yeonjun, kamu tahu Namjoon?”

Aku mengerutkan dahi. Berusaha menggali memori mengenai nama yang baru saja disebut kakek ketika akhirnya visual lelaki tua dengan badan tinggi tegap dan lekukan dalam di pipi muncul dalam benak.

“Teman kakek yang sering kesini itu?” aku bertanya memastikan saat kakek mengangguk.

Kakek Joon memang sering datang ke rumah. Malah hampir kuanggap keluargaku sendiri. Ditambah nenek yang akrab dengannya serta orang tua dan bibi-pamanku yang mengenal beliau dengan baik. Kakek pernah bilang bahwa Kakek Joon teman dekatnya sejak kecil dan keduanya berteman hingga sekarang. Dulu hal ini sempat membuatku iri karena aku tak punya teman sedekat itu sejak kecil. Sungguh hubungan pertemanan yang awet dan membuat iri orang lain.

“Namjoon masuk rumah sakit hari ini.”

“E-eh?” aku menoleh terkejut, “kakek mau jenguk? Yeonjun antar sekarang?”

Beliau mengibaskan tangan, “Nggak usah. Kakek sudah ada rencana menjenguk nanti malam. Kamu mau ikut?”

Aku mengiyakan. Biar bagaimanapun, Kakek Joon cukup dekat dengan keluarga besarku, tak ada salahnya menengok beliau.

Lalu kusadari kami telah sampai di taman yang disebut kakek.

Aku mematikan mesin mobil, meski membiarkan pendingin mobil terus bekerja.

Taman itu sudah tak terurus. Aku bahkan tak pernah tahu bentuk asli taman tersebut. Dilihat dari strukturnya, taman tersebut tentu punya air mancur di tengah serta beberapa lapis tanaman—yang kini tumbuh liar hingga mirip semak tinggi tak berpenghuni. Taman ini luas untuk ukuran taman di komplek perumahan. Aku bisa melihat beberapa besi menyembul di balik tumpukan semak. Kuduga merupakan wahana permainan anak kecil yang terbengkalai.

Kulirik kakek, dan ia hanya memerhatikan taman tersebut dengan tatapan…sedih?

“Dulu kakek dan Namjoon sering berkumpul disini.” Kakek berucap. Aku tak menanggapi, tahu bahwa kakek akan lanjut mengatakan sesuatu.

“Dulu berkumpulnya berempat,” kakek menghela napas sementara aku malah jadi bingung. Seingatku, geng kakek hanya bertiga. Kakek, Kakek Joon, dan Pak Jimin yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kakek pernah bercerita tentang teman-temannya setiap kali kami bertemu dan kakek selalu bilang bertiga. Hanya bertiga.

If Another Life ever ExistsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang