dua

84 15 0
                                    


---

Menanggung beban cerita orang lain ternyata rasanya lebih berat daripada mengalaminya sendiri.

Aku melamun di dapur. Tak ada siapapun disini karena semua orang sedang sangat sibuk dengan kegiatan masing-masing sementara aku mendapat jatah libur karena seniorku Ujian Sekolah. Ayah di kantornya dan ibu sibuk di klinik belakang rumah. Paman dan bibiku yang lain sibuk juga, terlebih sepupu-sepupuku yang kesemuanya sudah kuliah maupun sibuk menempuh ujian akhir di sekolahnya. Aku memang bungsu, kemungkinan besar akan menjadi cucu terakhir di keluarga besar ini.

Benakku menetap di hari itu. Hari ketika kakek membuka rahasia dan kisah cintanya yang pedih kepadaku.

Hari itu, hujan semakin deras. Membuat sama-sama aku dan kakek terpaksa mengangkat telepon ibu dan bibi-bibiku serta membiarkan telinga pengang oleh omelan di seberang telepon. Meski akhirnya kakek mengambil alih dan menenangkan orang-orang rumah. Aku pun mengemudi pulang, dengan keheningan yang meraja dan air mata yang akhirnya kering oleh waktu yang kami tempuh untuk kembali ke rumah.

Aku rasanya tak sanggup lagi menatap kakek tanpa ikut merasa pedih.

Seberapa kesepiannya kakek selama ini?

Beliau menuruti keinginan semua orang yang tak terucap untuk menikahi seorang perempuan baik, yang adalah nenek. Meski nenek nyatanya adalah seseorang yang sangat baik, dan kakek kemungkinan menyayangi nenek juga, tetap saja hatinya tertambat pada Min Yoongi yang memperlakukannya dengan sangat manis.

Hari itu, sesampainya di rumah. Kakek tak mengatakan apapun lagi kepadaku. Kami berdua dengan lapang dada menerima semua omelan dan akhirnya mandi air hangat meski kami bahkan tidak terpercik air hujan sedikit pun. Kakek tampak lebih diam, tatapannya sendu, dan pundaknya tampak lebih ringkih dari biasanya. Membuatku agak menyesal karena mengikuti keinginan beliau untuk singgah di taman itu.

Tapi aku takkan tahu kisahnya jika aku menolak menuruti keinginan kakek.

Malamnya, kami berdua menjenguk kakek Joon. Kakek berkeras agar hanya kami-lah yang berangkat. Akhirnya nenek memperbolehkan, membuat ayah, ibu, serta bibi-pamanku yang lain tak bisa melawan.

Ketika bertemu Kakek Joon, Kakek tak banyak bicara. Keduanya hanya saling berdiam. Jika saja kakek tak bercerita tentang Min Yoongi sebelumnya, aku pasti heran sekali. Aku paham, diamnya mereka disebabkan karena berita terakhir dari Kakek Joon adalah, Min Yoongi sudah kembali, dan tak mau bertemu dengan kakek.

Aku ingat Kakek Joon menatapku sambil bertanya pada kakek, "dia tahu?"

Yang kakek jawab dengan anggukan. Berikutnya Kakek Joon menghela napas, panjang. Beliau kemudian berujar, "satu-satunya hal yang kumau sebelum mati adalah melihat kalian bertemu lagi."

Aku ingin sekali menangis waktu itu. Dan aku tetap ingin menangis sekarang saat aku mengingatnya.

Kakek Joon kemudian berucap, "Aku sudah masuk rumah sakit, sudah tua renta, sebentar lagi aku menyusul Jimin. Tapi aku belum pernah melihat kalian bersama."

Kakek terkekeh kecil, "berisik, kau, tua bangka. Kau tidak setua itu."

Ada jeda lama ketika itu sampai akhirnya kakek kembali buka mulut, "Aku juga ingin bertemu dengannya. Mungkin untuk terakhir kali sebelum aku mati. Aku rindu Yoongi."

And that's it.

Tangisku pecah. Namun aku tak bisa sembarangan terisak-isak disana. Itu bahkan bukan kisahku, namun dadaku sesak kalau harus mengingat cerita kakek tentang kisahnya yang manis bersama Min Yoongi.

Hal yang terakhir kuingat sebelum kami akhirnya pulang adalah kakek Joon yang memberikan secarik kertas yang beliau sobek dari buku kecil bersampul kulit yang selalu dibawa kemana-mana. Beliau menatapku, lama, sebelum akhirnya berkata, "Taehyung takkan mau menelepon Yoongi, biar aku coba bicara padanya, tapi kalau ada apa-apa kau bisa langsung telepon Yoongi." Kakek terkekeh di sebelahku, mungkin menyetujui apa yang dikatakan kakek Joon.

If Another Life ever ExistsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang