tiga

83 15 0
                                    


---

Kesehatan kakek semakin memburuk.

Masalah utamanya adalah, kakek tidak menderita penyakit kronis apapun. Nenek sempat menelepon dokter beberapa hari yang lalu, tapi dokter tersebut bahkan heran karena ketika ia datang demam kakek sempat turun dan rona wajahnya sedikit lebih sehat dibanding sebelumnya. Membuat dokter hanya bilang kakek demam biasa serta harus lebih banyak makan dan istirahat.

Tapi hari ini beliau bahkan tak bisa bangkit dari tempat tidur.

Demamnya tinggi sejak pagi. Membuat nenek siaga disampingnya. Mengompres, menyuapi, memaksa kakek minum obat, apapun supaya keadaan kakek membaik. Tapi nihil.

Seperti sekarang, matanya masih terpejam sementara badannya menggigil. Sempat kusentuh sekilas tangan kakek, dan suhunya tinggi sekali sampai-sampai aku refleks menarik kembali tangan. Terkejut.

Nenek khawatir, tentu saja. Sempat kutangkap beliau mengusap pipi beberapa kali. Sementara aku hanya bisa memalingkan wajah. Tak mau nenek mendapati aku ikut menangis.

Kakek juga sempat meracau beberapa menit yang lalu.

Demamnya tinggi, tangannya gemetar. Suaranya bergetar saat beliau tiba-tiba berkata, "dingin, Gi. Tae kedinginan…"

Hal tersebut sempat membuat pergerakan tangan nenek yang sedang menambah selimut kakek terhenti.

Gi. Kakek menyebut Gi.

Tanpa harus kuanalisis, aku sadar bahwa Gi merujuk pada YoonGi. Selain karena nama nenek yang tidak memiliki unsur Gi, juga karena beliau menyebut diri sendiri sebagai Tae. Padahal panggilan sayangnya dari nenek adalah Tata.

Aku menggigit bibir. Berusaha tak mengeluarkan suara apapun ketika nenek menduduki kursi di sebelah ranjang dan berkata dengan suara lembut, "You miss him so much, huh?"

Dapat kudengar getir dalam suaranya yang pelan. Seketika aku merasa seperti penyusup yang menyelinap ke sembarang ruang dan malah mendengar apa yang seharusnya tidak kudengar.

Namun aku tak sanggup beranjak.

Tangan nenek bergerak. Menyingkirkan helai-helai rambut yang jatuh di kening kakek dan membuat kakek yang awalnya tertidur membuka matanya sedikit.

“Gi?”

Aku tak dapat melihat ekspresi nenek.

“Aku bukan Yoongi. Maaf.” nenek berucap. Membuatku benar-benar salah tingkah lalu berbalik dan pergi tanpa suara. Berniat memberikan keduanya ruang untuk berbicara meski sudah berencana untuk berdiam di balik pintu. Jahat dan tidak sopan, namun aku penasaran dengan kelanjutan kisah pedih sepasang sejoli itu.

Dari balik pintu, aku tetap dapat mendengar jelas percakapan keduanya.

So, you know?” kakek buka suara setelah beberapa saat yang hening.

“Nggak semuanya, tapi aku tahu.” nenek menjawab. Untuk ukuran seseorang yang sedang mengkonfrontasi suaminya, suara nenek begitu tenang.

“Sejak kapan?” suara kakek bergetar.

“Sudah lama.”

Aku bersyukur sekali rumah sedang dalam keadaan kosong karena semua orang sibuk bekerja. Jika tidak, banyak interupsi akan terjadi, juga betapa anehnya jika ada yang melihat remaja laki-laki berdiri di depan pintu sambil menutup mulut menahan tangis.

Does it hurt?” kakek bertanya, yang buru-buru beliau timpali, “Wait. It does hurt.”

aku mendengar helaan napas nenek sebelum beliau menjawab, “sakit, tapi bukan salahmu.”

If Another Life ever ExistsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang