epilog

134 18 2
                                    


---

Delapan tahun sudah berlalu dan taman yang terbengkalai itu sudah dibersihkan dan dijadikan lapang multi fungsi di kompleks perumahan kami.

Aku menghentikan mobil tak jauh dari lapang yang awalnya taman terbengkalai tersebut. Terdiam sepenuhnya dengan banyak hal berseliweran dalam benak.

"Sudah sampai?" Gumam suara disebelahku. Aku terkesiap, menggumamkan kata "belum," serta bersiap meninggalkan tempat ini saat telapak tangan lebar menangkup jemariku di tuas persneling, "it's alright. Berhenti dulu disini nggak apa-apa."

Aku menghela napas. Melirik pria di sebelahku yang kini tersenyum.

"Matiin aja dulu, mobilnya," Soobin melepas sabuk pengaman, ia menunjuk salah satu rumah dengan etalase didepannya, "mau es krim?"

Aku mengiyakan. Membuatnya kemudian keluar mobil dan berjalan dengan langkah ringan ke tempat yang baru saja ditunjuk. Kumatikan mesin dan akhirnya mengekor Soobin keluar mobil karena tak kuduga terdiam memandangi tempat tersebut rasanya sesak sekali. Aku dapat melihat figur tunanganku itu dari kejauhan, salahkan tinggi badannya yang diatas rata-rata, Soobin selalu mencolok dimanapun ia berada.

Dan, ya, Soobin tunanganku.

Setelah delapan tahun berlalu dengan drama-drama perkuliahan yang sempat membuatku dan Soobin berpisah, kami akhirnya kembali menjadi kekasih dan Soobin dengan percaya diri melamarku di tahun pertamanya mendapat pekerjaan.

Apakah keluargaku maupun keluarga Soobin mengijinkan?

Jawabannya adalah, ya.

Dua tahun setelah kakek pergi, aku memberanikan diri untuk come out pada keluargaku. Setelah acara ulang tahun yang dihadiri nenek, ayah, ibu, Soobin, serta tiga orang lain terdekatku, aku bilang pada mereka bahwa aku penyuka sesama jenis dan berpacaran dengan Soobin.

Keluargaku nyaris tidak memberikan respon.

Hingga akhirnya tangis nenek pecah dan beliau memelukku erat. Berkata bahwa beliau tetap menyayangiku apa adanya. Diikuti ibu yang ikut memelukku erat dan ayah yang hanya tersenyum. Waktu itu kuduga beliau hanya sedikit terkejut, namun sekarang ayah mendukungku dan Soobin, bahkan merupakan salah satu orang paling cerewet menanyai kapan aku akan menikahi Soobin.

Ayah dan Ibu diberitahu nenek mengenai kakek dan Min Yoongi tak lama setelah aku come out. Membuat keduanya terkejut dan juga sedikit menyayangkan akhir kisah kakek dan Min Yoongi yang tak begitu menyenangkan dan berbalik mendukungku sepenuh hati mereka.

Jika kau bertanya, bagaimana kabar Min Yoongi setelah pemakaman kakek?

Min Yoongi mungkin seorang peramal, karena tiga minggu setelah pemakaman kakek, telepon rumah yang jarang digunakan berdering. Aku yang kebetulan berada di rumah mengangkatnya dan suara ramah sekaligus sedih seorang pria menyapa kuping, menanyakan apakah aku Choi Yeonjun cucu dari Kim Taehyung.

Aku masih bisa mengingat kata perkata yang pria itu ucapkan di telepon.

"Saya berbicara atas nama Min Yoongi, yang sudah meninggal dua hari lalu pukul 18.26. Min Yoongi meminta agar saya memberikan alamat kuburan beliau pada Choi Yeonjun."

Setelah kalimat tersebut, aku tak bisa berpikir.

Kabar terakhir yang kuterima dari Min Yoongi benar-benar bukan kabar baik.

Aku mendatangi kuburannya yang sederhana. Aku bahkan sempat bertemu Kakek Joon disana. Diantar salah satu anaknya dan beliau hanya menatapku hampa. Sebelum beliau pergi, Kakek Joon menyerahkan sebentuk binder yang ketika kubuka isinya penuh dengan foto-foto. Halaman awal berupa foto kekuningan yang tampak sekali rapuh dan memuat foto empat pemuda. Salah satu foto memuat satu diantara mereka mengenakan seragam dengan banyak coretan dan wajah bahagia, kentara sekali sedang merayakan kelulusan. Foto-foto lain bertema mirip dan isinya tetap berempat. Hingga pertengahan binder yang memuat foto dua pemuda sedang tersenyum ke arah kamera, kutebak dua pemuda itu adalah Kakek dan Min Yoongi.

Foto berdua itu tidak banyak.

Halaman-halaman selanjutnya tak begitu jelas. Memuat foto-foto pemandangan, kue, dan anak-anak. Aku mengerutkan dahi waktu itu, sebelum akhirnya mengeluarkan salah satu foto dan melihat goresan tinta dibelakangnya yang merupakan tanggal diambilnya foto serta catatan kecil berbunyi; "ulang tahun Taehyung hari ini, berhasil bikin slagroomtaart dengan taburan stroberi. He's gonna like it."

Aku menghabiskan dua malam penuh untuk membongkar foto-foto itu dan membaca semua catatan kecil yang ditinggalkan Min Yoongi.

"Jjun?" Sebentuk tangan lebar mengibas di hadapan muka. Membuatku terperanjat sementara Soobin tertawa dan lekukan di pipinya muncul. Manis sekali.

Eh.

"Jjun, jangan ngelamun gitu, dong?" Soobin menyodorkan cone es krim yang kuterima dengan cengiran di wajah dan ia segera berbalik untuk menerima cone es krim yang lain.

"Masih mikirin kakek?" Tanya Soobin setelah menarikku—setengah menyeret—untuk duduk di salah satu kursi yang ada disana. Aku menggigit bibir, merasa sedikit bersalah karena seharian ini pikiranku tak benar-benar ada disini.

"Masih, sorry …"

"Jjunie, nggak usah minta maaf. Ini hari peringatan kematian kakek, it's alright aku ngerti." Ucapnya dengan segera. Aku tersenyum meminta maaf, sekaligus tiba-tiba merasa bersyukur karena Soobin dapat mengerti bahwa satu diantara 365 hari aku akan tenggelam dalam kesedihan untuk mengenang kakek.

I know it's unhealthy, but I think it's enough.

Memikirkan kakek setidaknya membuatku bersyukur aku bisa dengan bebas mencintai Soobin tanpa harus memikirkan ekspektasi orang lain. Masyarakat jaman sekarang masih banyak yang menentang homoseksualitas, tapi selama orang-orang terdekatku percaya dan tetap menyayangiku, aku tak apa-apa. Selama Soobin masih menyayangiku dan aku masih menyayanginya, aku tak apa-apa.

Perhatianku kembali terpecah ketika mendengar pintu kaca dibuka. Aku menoleh dan melihat dua laki-laki berseragam SMA tempatku mengajar masuk ke toko.

Jantungku rasanya merosot sampai lutut ketika melihat wajah kedua remaja tersebut.

Salah seorang diantara mereka sibuk dengan konsol permainan, matanya sipit dengan bibir mengerucut meskipun entah mengapa aku yakin anak itu tak bermaksud mengerucutkan bibirnya seperti itu. Yang satu lagi lebih tinggi, menarik lengan baju si mata sipit dengan agresif sambil berkata, "Gigi jangan main game mulu, heh! Nanti kesandung!"

Lalu setelahnya, si remaja yang lebih tinggi itu tersandung, tidak sampai jatuh namun cukup membuat si mata sipit tertawa pelan. Lawan bicaranya menyeringai, menampilkan seringai kotak yang rasanya sangat familier dalam benak.

Sebelum aku sempat bereaksi, si remaja yang lebih tinggi melihatku dan menganggukkan kepala sambil kembali tersenyum. Sepertinya mengenaliku meski ia bukan salah satu murid yang pernah kuajar. Si mata sipit ikut menoleh, lalu membungkuk sekilas padaku dengan sekelebat senyuman.

Si mata sipit kemudian menghadap kasir, "Tae, kamu pesan duluan."

Aku membelalak terkejut.

---

If Another Life ever ExistsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang