empat

88 17 0
                                    


---

Min Yoongi tak datang.

Aku sedang menyendok nasi untuk kakek ketika pemikiran tersebut mampir dalam benakku dan membuatku memnggeram tanpa sadar.

Kakek tua itu, ya! Benar-benar!

Aku menarik napas panjang. Berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat karena nenek ada di dapur juga dan ibu sedang berkeliaran di rumah. Nenek sempat melirikku ketika aku tak sengaja menutup penanak nasi dengan sedikit tenaga ekstra dari yang kurencanakan. Menyebabkan bunyi kencang terdengar dan beliau sempat terlonjak meski akhirnya tak berkomentar apapun. Sepertinya nenek tahu mood-ku sempat tidak bagus, terlebih aku sempat menghilang selama beberapa jam dan berakhir pulang karena ditelepon ibu.

Kakek mau aku menemaninya makan siang.

Aku sudah tak tahu apa lagi yang sebenarnya harus kupikirkan. Kakek dan nenek sudah mengobrol kemarin. Aku tak tahu bagaimana ujungnya, namun keduanya bertingkah seperti biasa. Nenek tetap nenek yang baik dan perhatian, serta khawatir pada kakek. Kakek juga sama, beliau masih sakit, suhu tubuhnya naik semalam dan membuatnya nyaris tak tidur semalaman. Kakek baru bisa benar-benar tertidur setelah pagi menjelang saat suhu tubuhnya sedikit menurun.

Setengah jam yang lalu, beliau terbangun dan bersikeras ingin ditemani makan siang olehku sehingga ibu berkali-kali menelepon aku yang sedang diam di taman itu. Menunggu Min Yoongi yang tak kunjung datang.

Min Yoongi sialan. Aku tak peduli dia sudah tua, tetapi aku tetap ingin mengumpat dan mengatainya macam-macam. Aku menunggu sejam lebih, SEJAM LEBIH, hanya untuk menerima kenyataan bahwa ia benar-benar pengecut yang terlalu takut untuk kembali menghadapi masa lalunya.

Dasar kakek tua sialan.

Kekesalan pasti terpampang jelas di wajahku karena kakek tiba-tiba tertawa tak lama setelah aku duduk manis di pinggir tempat tidur untuk menemaninya makan.

"Hari ini kau kenapa?" Kakek menyuap nasi. Kesehatannya agak membaik setelah bangun tidur. Wajahnya kembali merona dan ia lebih banyak tersenyum. Sepertinya obrolan beliau dengan nenek berpengaruh positif, mungkin kakek sudah merasa sedikit lebih lega.

Aku bergumam pelan menjawab bahwa aku tak apa-apa. Aku hanya benar-benar tidak dalam mood yang bagus untuk melakukan apapun. Salahkan Min Yoongi dan kepengecutannya yang memuakkan, aku jadi tak berselera mengobrol dengan kakek.

Untungnya, kakek mengerti.

Beliau melanjutkan makannya dalam diam. Sesekali berkomentar singkat tentang hal-hal remeh macam bingkai lemari tua miliknya yang terlihat miring, atau serpih gabah yang tertinggal di nasinya. Aku mengerti, kakek benar-benar hanya ingin agar aku diam disana. Menemaninya dan mendengarkan. Mungkin ia punya sesuatu untuk diceritakan, mungkin juga tidak.

Sejak dulu, kakek selalu begitu. Mungkin karena aku adalah cucunya yang paling bungsu saat ini, beliau senang sekali bermanja-manja maupun menceritakan hal-hal yang tak biasanya beliau ceritakan pada sepupu-sepupuku yang lain. Bisa dibilang, aku ini cucu favoritnya. Since the others just you know, ignoring him because he's old? Sepupu-sepupuku kurang senang berinteraksi dengan nenek maupun kakek. Mungkin mereka kurang nyaman dengan obrolan nenek dan kakek yang jauh dari obrolan generasi masa kini. Atau, mungkin juga mereka hanya tak peduli. Aku tak tahu.

"Yeonjun." Panggil kakek. Aku mendongak, memandangi wajahnya yang entah kenapa hari ini tampaknya tenang sekali. Tapi, entah kenapa, ada suatu perasaan tak enak terus-terusan bercokol di hatiku. Seolah tenangnya kakek adalah suatu pertanda untuk kejadian tak terduga yang tak menyenangkan. Apa itu yang biasanya orang-orang katakan? Ketenangan sebelum badai?

If Another Life ever ExistsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang