Bab 8

11 0 0
                                    

Jam menunjukan pukul 2:00 dini hari ketika aku terbangun, aku merasa haus. Keluar dari kamar menuju kulkas dan melihat ada jus jeruk terbesit untuk meminumnya namun ku urungkan niat ku dengan memilih air mineral dingin. Aku harus menjaga tata krama ku saat berada di rumah orang lain, jadi ku putuskan untuk membawa satu botol air dan masuk ke dalam kamar. Line ku berdering, segera aku meminum air itu dan meletakkannya di atas meja, tangan ku satunya mengambil ponsel ku mengecek isi pesan. Marcus? Dia mengirimi pesan selarut ini?

        “Terjaga?”

        “Aku terbangun karena haus. Kau?” aku tidak sadar saat membalas pesannya dengan cepat. Line ku berdering lagi.

“Bekerja. Menghemat waktu.”

        “Hei lakukan itu besok bersama ku, aku partner mu. Ngomong-ngomong kau tahu aku sedang terjaga, apa kau mengawasi ku?” aneh. Apa dia sering tidak tidur? Aku mengerutkan kening.

“Aku mendengar suara pintu di buka, lalu tidak lama terdengar juga suara pintu kulkas, aku pikir itu pasti dirimu, Ana. Ayo kita lakukan sekarang, kau mengantuk?” aku melebarkan mata ku. Ya aku baru sadar sekarang aku tidak mengantuk sama sekali sekarang.

“Buka pintu mu atau aku bisa langsung masuk aku tau kau tidak pernah mengunci pintu kamar.” Dia mengirimi ku pesan lagi. Apa? Jadi kami akan bekerja diruangan ini? Kamar yang sedang ku tempati. Aku merasakan pintu ku terbuka, Marcus masuk membawa laptop, kopi, jus jeruk, dan beberapa snack makanan. Astaga dia sungguhan langsung masuk kekamar ku.

“Kau tidak membalas, aku berasumsi kalau artinya membiarkan ku masuk.” Dia masuk dengan santai, menaruh laptop dan bawaan yang lainnya di atas meja dekat jendela besar. Menarik kursi dan langsung duduk. Aku menatap nya seperti orang bodoh. Astaga, dia memakai piyama doraemon berwarna biru. Pria dewasa memakai piyama seperti itu. Aku terkikik kecil sekarang. Dan dia protes melalui tatapannya yang tajam.

“Aku ingin membuka jendela ini, apakah tidak apa-apa?” dia bertanya pada ku. Aku berjalan menuju kursi yang berada disampingnya.

“Um silahkan.” Dan seketika aku merasa angin yang sejuk dan dingin menerpa wajah ku, aku memperhatikan jalanan kota dan lampu kelap-kelip dari jendela. Ini indah. Aku tidak pernah terfikirkan untuk membuka jendela saat malam hari. Aku memejamkan wajah ku menikmati angin ini, sangat dingin dan menyenangkan. Tiba-tiba aku merasa hangat, aku membuka mata ku dan melihat kebelakang, marcus menyampirkan sweeter biru muda ku yang tergantung di belakang pintu.

“Kau membutuhkan ini.” Katanya santai dan duduk di samping ku, kemudian tangannya menari-nari di atas keybord mengerjakan pekerjaannya.“Well ku rasa kau butuh ini” katanya. Aku terkesiap dengan prilakunya sekarang.

Aku berdiri mengambil selimut dan menaruh di pundaknya.“Terimakasih, dan ku pikir kau juga membutuhkan ini.”

Dia tersenyum kemudian merapatkan selimut itu melawan rasa dingin. “Aku tadi melihatmu saat membuka kulkas, ku pikir kau menginkan ini.” Marcus menyodorkan jus jeruk.

Mata ku berbinar. “Kau tau, seharusnya ini tidak perlu. Ah bagaimana pun terimakasih.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Kau bisa makan dan minum semua yang ada di rumah ini Ana, jangan sungkan.” Aku hanya mengangguk. “Bisa kau mengerjakan berkas yang ini?” lanjutnya.

“Oke, itu tidak sulit.” Aku memakai kacamata minus ku, kemudian hendak berkonsentrasi tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Aku merasa Marcus memperhatikanku.

“Kau memakai kacamata?” tanya nya. “Aku baru melihatnya sekarang.” dia menatapku lekat-lekat.

“Ya, aku memakai kontak lens, tapi aku sudah melepasnya saat selesai bekerja tadi.” Jawab ku. Apakah aku terlihat lucu memakai kacamata? Aku bertanya-tanya dalam hati, karena tidak ada yang tau aku memakai kacamata selain Alice sahabatku.

“Cantik.” Gumamnya. Dan dia terlihat langsung mendapat kesadarannya, kemudian fokus kembali kepekerjaannya, menghidupkan lagu dari laptopnya untuk menemani kami. Only hope milik Mandy Moore mengalun. Salah satu lagu favorite ku dan aku ikut bernyanyi kecil. Dia mendengar suara ku dan menggelengkan kepalanya, menahan tawa. Sialan. Aku tau suara ku tidak bagus berani-beraninya aku menyanyi di hadapan pria ini. Aku diam dan pipi ku memanas karena efek dari rasa malu.

Sudah hampir satu jam setengah dan punggung ku mulai merasa sakit, kursi yang kami pakai tidak ada sandaran punggung. Aku meringis mengelus punggung ku yang terasa kaku. Mata ku juga sudah mulai mengantuk. Meletakkan kepalaku di atas meja untuk membuat punggung ku merasa nyaman. Pipi ku menempel di meja kayu dan mata ku melihat sosok tampan di samping ku.

Di bawah sorotan lampu laptop, rambut coklat emas nya berantakan dan sesekali tertiup angin dari jendela besar sungguh aura nya sangat memikat. Dia terlihat begitu sangat tampan. Aku melihat dia berhenti sejenak, meminum kopi yang kurasa itu sudah dingin. Menggerakkan kepalanya mengendorkan urat-urat yang tegang, dia terlihat puas. Laptopnya di geserkan sedikit maju mempet dekat tembok aku terkejut karena tiba-tiba posisinya sama dengan ku, dengan wajah berhadapan dengan ku. Pasti mata ku melebar sebagai eksprei terkejutku dan spontan aku duduk tegap namun tidak bisa. Aku menyadari tangannya menahan kepala ku.

“Lakukakan posisi ini lebih lama, aku tau kau tadi menjadikan ku sebagai objek pengamatan. Jangan curang karena sekarang aku akan meminta pergantian peran. Jadi diam saja.” Dia melepaskan tangannya kemudian melipat tangannya untuk di jadikan bantalan kepalanya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Sialan demi apapun aku berani bersumpah bahwa pria di hadapan ku ini sangat lah tampan.

“Cantik” dia berumam. Oh sial kata-katanya membuat pipi ku merasa panas.

Dia tertawa ringan. “Kau harus sering-sering di katai cantik supaya wajahmu merona dan tidak terlihat pucat, apa kau tau kalau kau selalu terlihat pucat, Ana?.” Dia menambah kalimatnya. Bagus! Dia menyadari pipi ku yang merona. Aku ingin sekali menjawab ucapannya. Tapi apa ini? Aku tidak bisa menemukan suaraku.

Tangannya meraih headset dan menghubungkan di laptop miliknya, seperti di pesawat kami berbagi headset.

“Nikmati lagu ini” katanya. Aku mendengar ­­–If you’re not the one milik Daniel Bedingfiled- aku memejamkan mata menikmati lagu ini.

“Ku pikir kita satu selera mengenai music.” Aku bergumam anatara setengah sadar.

One ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang