bab 2

19 4 1
                                    

Plagiat itu dosa🔪🤗

Selamat membaca....

Seusai meletakkan sarung di pembaringan, Artamedi berjalan sempoyongan menuju dapur. Beberapa alat makan yang tergeletak di atas meja makan segera dikumpulnya, lantas satu persatu diangkat ke tempat pencucian piring di belakang dapur. jemari panjang itu ditarik ulur tatkala air berlahan membasahi tangannya. Bersumber dari pegunungan membuat air diperkampungan begitu dingin. Karena alasan itu pulalah yang membuat dirinya seperti tak bertenaga dipagi hari. Untung saja piring kotor tidak terlalu banyak. Hanya Bagaskara yang ikut sarapan di rumah. Selain itu, kedua orang tuanya biasa sarapan di ladang. Sehabis mencuci, Ia segera menyambar sapu, menyapu di dalam rumah.

Artamedi membuang nafas lega. Rutinitas pagi yang membosankan telah usai. Langkahnya kini beranjak ke ruang tamu, mengintip dari dalam jendela, jangan-jangan mamak atau bapaknya kembali atau tiba-tiba Kinara kakaknya muncul. Bahaya jika salah satu dari mereka memergoki dirinya yang akan kembali keposisi ternyaman pagi ini. Dirasa semua sudah aman, Ia kembali mengambil sarung lalu kembali ke bangku di serambi rumah. Kali ini ada benda pipih dalam genggaman. Lantas, mulai mensearching sesuatu di aplikasi shoope. Memanjakan mata dengan peralatan pendaki keluaran terbaru. Siapa tahu, besok-besok  bisa memiliki salah satunya juga.

Si Raja Siang sudah melai meninggi. Bermenit- menit telah berlalu hanya digunakan membaca dan mengagumi perlatan daki. Ia sudah berangan-angan akan membeli salahs satu sebelum berangkat ke pegunungan kembar empat.

Kenyaman bangku balai beserta udara segar di pagi hari Seolah menarik dirinya untuk terus menikmati kesendirian bersama handphone dan kopi. Batang tubuh masih setia berleha-leha, duduk santai hingga tak menyadari mentari semakin memanas. Sesekali orang lewat di depan rumah menyapa dirinya. Namun, tak sedikit pula yang abai terhadap sosok yang setiap pagi memang duduk di tempat dan waktu yang sama. Semua pun sudah paham, berbicara dengan artamedi seperti berbicara dengan robot buatan. Bersuara, tapi kaku tanpa ekspresi.

"Kak Didi kerasukan lagi!"
Beberapa kali anak sekolah yang lewat di rumah meledek dirinya. Jangankan di gubris, dilihatnya pun Artamedi enggan melakukannya. Angan-angannya terbang jauh, berkelana pada  ruang yang Ia ciptakan sendiri. Lagipula, Ia sangat tak suka dipanggil Didi. Percuma orang tuanya menyematkan nama indah, jika pada akhirnya dipanggil Didi oleh bocah usil. Entah, siapa pula yang mengajar anak-anak perkampungan untuk turut meledek dirinya.

Mengorbankan dua hari kerja demi rencana mendaki, Artamedi tak mau ketinggalan pertemuan bersama rekannya Candra, Maleo dan Alioth. Bangku balai, kopi dan handphone mamang manarik tapi tidak ada alasan baginya untuk tidak ikut berkumpul bersama mereka. Menjelajah dan bercengkrama dengan alam salah satu kegiatan yang wajib Ia lakukan. Lagipula, jarang sekali ada waktu kosong seperti ini untuk mereka bertemu. Pekerjaan yang mengharuskan Artamedi, Maleo dan Alioth bolak- balik hampir setiap hari ke ibu kota. Sementara Candra yang tinggal di desa pun sibuk dengan berbagai bisnis kecil-kecilan miliknya .

Selesai bebersih diri, Artamedi bergegas ke luar. Pandangannya menyapu seluruh jumantara. Hari sudah siang, tak mungkin baginya untuk jalan kaki. Terik matahari bisa saja membuat kulit eksotisnya semakin menjadi. Rumah Candra cukup jauh dari rumahnya. Artamedi di ujung selatan perkampungan,  Candra sebaliknya.

Artamedi menuju garasi tempat Motor kesayangannya terparkir. Motor Naked Bike dengan warna hitam itu ditempeli stiker Barcelona di beberapa bagian. Membuat si motor terlihat lebih menarik dari biasanya. Ya, sang pemilik adalah penggemar setia club bola ternama itu. Dan dalam hitungan detik, dirinya sudah berbaur ke jalan setapak kampung.  Membela jalanan berkelok menuju rumah Candra.

                         ***

Mendengar deru motor dari depan rumah, Candra segera membuka pintu. Keseringan jalan bersama, bunyi motor itu sudah sangat dia hafal, "Lama sekali kau. Aku capek menunggu dari tadi. Mamakku sudah marah-marah, kopinya dingin karena kau tak kunjung datang."

Gaya bicara yang sedemikian dibuat-buat agar terlihat garang bukannya menakutkan, justru membuat Maleo dan Alioth melepas tawa dari dalam rumah.

"Iya, sorry. Aku ada urusan sedikit," jawab artamedi ngasal sembari memarkir motornya.

Walaupun ngasal, tapi sedikit banyak ada benarnya. Urusan yang mungkin dirinya maksud ialah duduk termenung diatas balai-balai. Berkutat dengan pikiran dimana ia memerani sebuah kisah di alamnya sendiri.

"Urusan menghayal bukan? Sudahlah buruan masuk. Si Male dan Aji sudah datang dari tadi."

"Maleo, kampret!"
Sanggah yang sedang dibicarakan dari dalam rumah. Plesetan nama seperti itu sudah tak asing di pendengaran mereka. Namun, lain kisah jika Maleo, Ia selalu mempertahankan nama unik pemberian orang tuanya ketika dipelesetkan. Dan Alioth yang penurut dan tak banyak gaya tidak ambil pusing.

Candra menyodorkan segelas kopi pada Artamedi, dan  mulai mewawancara dirinya,"Di, kau sudah izin belum sama pak Tua?"

Artamedi terlebih dahulu menyeruput kopinya. Sajian kopi kedua hari ini, setelah tadi pagi  menghabiskan kopi buatan mamaknya, Falguni. Kini mencicipi kopi buatan mamak Candra yang tak kalah nikmat.

"Sudah, tapi dia tidak memperbolehkan kita menyelidiki apalagi mengusik mahluk itu."

Mendengar itu, Maleo si pencetus  ide  menimpali," tidak usah didengarkanlah. Kita cuma buktikan saja benar atau tidaknya keberadaan mahluk itu. Kita tidak akan mengusiknya."

"Tidak boleh gitu, Male. Ini pesan Tetua. Bisa-bisa buyut Didi tidak memperbolehkan kita kembali ke sana kalo kita berbuat onar," ucap Candra.

"Aku sih ikut kesepakatan saja baiknya gimana. kalo kamu, Di?" tanya Alioth, bak moderator diskusi.

Artamedi menimbang. Sebenarnya Ia juga menyimpan rasa penasaran dengan legenda kampung perihal To Pembuni. Sebuah mahluk tak kasat mata yang menurut cerita, mereka hidup seperti manusia pada dimensi alam yang berbeda. Sejak kecil, dia pun selalu bermimpi agar bisa mengetahui dan membuktikan secara langsung mitos atau faktakah cerita itu. Kesempatan sudah di depan mata dan ia tak ingin menyianyiakan. Namun, dengan konsekuensi yang berat pula. Akhirnya ia mendukung pendapat Maleo. Suara mereka Pun akhirnya disetujui Candra yang sudah kalah suara. Selain mendaki mereka juga akan mencari tahu secara diam-diam tentang To Pembuni.

"kita harus mempersiapkan diri lahir batin. Kata pak tua lokasi ini sangat terjal dan penuh dengan kemisteriusan."
Artamedi kembali memperingatkan teman-temannya, meneruskan petuah dari buyut.

"Tenang saja, jangankan lokasi terjal dan mistik, menaklukkan hati istri pak Yudha saja aku bisa,"sahut Maleo percaya diri-memamerkan nama istri atasan,"aku bahkan sudah mempersiapkan diri jauh sebelumnya."

Candra mungut-mungut tak jelas mendengar pendapat rekan-rekannya, rona bahagia terpampang jelas di lekukan wajah tirus miliknya. Kali ini rencana mereka akan benar-benar berhasil. sudah terlintas di bayangannya, mereka akan menjadi tim pendaki pertama yang sampai ke puncak gunung kembar. Bukankah itu akan menjadi sejarah pencapaian terbaik mereka? Ia menepis segala keraguan yang semula mendominasi. Semoga saja, rencana mereka mencari jejak To Pembuni direstui semesta.

Agak lama terdiam sejenak, Artamedi akhirnya membuka suara, "Kalau tidak ada pembahasan, aku pamit pulang dulu."

"Lihat kawanmu Canda, sepertinya dia akan lanjut berse-MEDI di kandangnya" acuh Maleo.
Sengaja ia menekan kata Medi, membuat si pemilik nama naik pitam dan tanpa suara melempar kunci motor kewajahnya. Tangan Maleo cekatan menepis, membuat kunci itu jatuh ke sembarang arah. Sama seperti Maleo, Artamedi tidak akan tinggal diam jika yang mempelesetkan namanya adalah kawannya sendiri. Ruang lingkup pertemanan yang cukup erat membuatnya sedikit bisa mengekspresikan diri.

Candra diseberang sana juga meradang tak terima namanya diplesetkan. Tak sadar jikalau ia sendiri hobby memplesetkan nama orang. "Candra bego, bukan canda." Sehabis menyemprot Maleo kini mulut pedasnya beralih ke Artamedi, "seperti punya istri dan anak bayi saja kamu. Tinggalah sebentar, mamak ku sudah memasak untuk kalian."

ALFA MACA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang