bab 3

7 3 0
                                    

             Selamat membaca
                              .
                              .
                              .
Plagiat itu dosa🔪🙏

Mentari telah tiba di puncak peraduan tertinggi. Dirinya yang masih menempel di pembaringan, sayup-sayup mendengar suara pekikan pintu utama yang terbuka. Bersamaan dengan itu, suara Falguni menggema dari ruang tamu - memanggil namanya. Sejak pagi rumah belum disapu, dua cangkir kopi yang menyisakan ampas didasar masih bertengger di atas bangku balai. Dan ibu mana yang tidak geram melihat benda kesayangannya itu tergeletak begitu saja di luar rumah.

"Artamedi??!"

Artamedi segera lompat dari tempat tidur. Sepeninggal orang tua ke ladang, Ia melanjutkan tidur sampai lupa waktu. Tubuh seperti kehilangan tenaga kalah mengingat beberapa jam lagi, ia harus kembali ke kota. Pekerjaan rumah pun kena imbas, terbengkalai. Maka, patutlah diluar sana Falguni mengomel Tidak jelas.

Pelan, pintu kamar dibukanya berlahan. Kedua bola mata sipit itu Mengintip dari dalam kamar. Setelah langkah Falguni hilang di kelokan  dapur, barulah ia keluar mendapatkan Betelgeus, duduk selonjoran di ruang tamu sembari mengelap keringat. Hati Artamedi terenyuh melihat keriput dan keringat yang menetas dari pelipis sang ayah, bekerja keras seharian.

Ia berdiam diri sejenak, mengumpulkan keberanian untuk sekali lagi minta izin pada sesosok yang sangat ia segani itu. jikalau tidak berhasil, maka ke depan akan terus berusaha untuk membujuk sampai hati itu luluh juga. langkahnya dengan mantap mendekat, di samping berusaha menkebalkan hati untuk mendengar jawaban Betelgeus yang kerap kali memojokkan dirinya, tanpa sadar.

Terlahir sebagai pribadi yang tak tahu basa-basi, Artamedi berbicara layaknya bawahan bersama atasan, jauh dari hubungan kedekatan antara anak dan orang tua pada umunya,"Bolelah aku ikut Si Candra, berbisnis sendiri. Aku benar-benar tak sanggup kerja di koperasi, pak. Gaji memang menjanjikan, tapi tenagaku terkuras terlalu banyak." adunya pelan.

Betelgeus mengerutkan dahi Dengan mimik muka serius. Netra yang semula lurus ke depan, beralih menatap Artamedi penuh selidik. Sudah berkali-kali anaknya mengutarakan hal yang sama. Sebagai orang tua yang sudah lebih berpengalaman, tentu ia sangat mengecam ucapan yang bernada keluhan. Dididik dan besar dilingkungan yang keras, baginya apa yang dialami Artamedi tidak sebanding dengan kesusahan yang dialaminya dulu. Pun diluar sana masih banyak yang sampai hari ini belum mendapat pekerjaan yang layak, anak lelakinya ini Justru tidak  menghargai pekerjaan yang dipercayakan padanya.

Dua tahun lalu dirinya susah payah memaksa, mendaftarkan anak itu ke koperasi terkenal di kota. sampai-sampai harus menghubungi kawan lamanya kebetulan  memiliki posisi penting di sana. Begitu sulitnya sampai harus menggunakan orang dalam. Kepedulian terhadap masa depan anak-anak begitu besar. Demi masa depan, kenyamanan Artamedi dikesampingkan mengingat betapa tingginya tingkat persaingan dalam mencari lapangan pekerjaan. Dalan hal ini tindakannya tidak bisa dikatakan salah namun sulit juga dikatakan benar. Satu yang pasti sebagai orang tua, Ia tak ingin Artamedi yang bergelar sarjana akuntansi dengan IPK tertinggi harus jadi petani sederhana seperti dirinya.

"Bisakah kau mengubah sifat kekanak-kanakan, Di? Dari dulu kau selalu saja begitu, mengeluh. Lihat teman seangakatanmu mereka semua sudah sukses di bidang masing-masing. Kau hanya perlu waktu. Bersabarlah, namanya bekerja pasti tantangannya banyak."

"Pak, tapi yang ini bukan duniaku. Aku tidak nyaman lahir batin, serius.

"Riga!"

Mendengar nama Masa kecil di sebut, Ia urung mengeluarkan suara. Betelgeus jika memakai nama itu, berarti tak ada lagi perdebatan. Kesabaran sudah diambang batas. Tidak ada sejarah dalam hidup Artamedi untuk melawan orang tua, tak tegah hatinya.

ALFA MACA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang