Terima kasih banyak supportnya. Support Kalian semua sangat-sangat berarti buat aku. Karena kalian juga lah aku tetep mau lanjutin nih cerita.
kalian semua penyemangat aku buat tetap berkarya. Thank all.
Maaf updatenya agak lama, bukan agak lama sih, tapi lama. Entah kenapa otak tiba-tiba buntu, susah buanget buat nulis terlebih lagi setelah ada comment dari miss EYD.
Butuh berhari-hari untuk bisa menyelesaikan satu palagraf *lebay* yang jelas aku mohon maaf untuk lamanya kalian menunggu itu juga kalau masih ada yang menunggu lanjutan cerita ini. hehehe.....Terima kasih untuk yang merelakan jari jempolnya bengkak karena kirim comment dan pijit bintang. Terima kasih banyak-nyak-nyak.
Typo, mohon koreksinya ya......
Melati berdiri tepat di pintu masuk ruang bermain Tydes, sejak Tydes tanpa sengaja memanggil Nino 'Dada' untuk kata pertamanya. Nino langsung menghadiahinya ruang bermain, tidak tanggung-tanggung dia sendiri yang mendesainnya. Dari mulai menyiapkan ruangan, membeli bahan, pengerjaannya sampai dengan mainan-mainan untuk mengisi ruangan. Nino yang melakukannya tidak boleh ada yang ikut campur. Ruangan yang di dominasi warna biru langit tersebut sangat pas dengan lukisan mural yang di buat Nino, Melati sempat menanyakan kenapa Nino membuat mural seorang bayi yang baru belajar merangkak mengejar matahari sampai merangkak di atas bukit dan Nino juga menggambarkan si matahari cukup besar hampir seperemat bagian dinding. Nino hanya menjawab Tydes harus mengejar masa depannya sendiri, seperti dirinya yang sukses karena kerja kerasnya sendiri. Nino benar masa depan seorang anak memang berada di tangannya sendiri.
Senyum Melati semakin mengembang ketika Tydes melihatnya dan melempar bola dari karet yang di pegangnya, dia merengek dan mengangkat tangannya minta di gendong. Ibu Ismi yang duduk di atas karpet tebal menemani Tydes langsung tertawa melihat anak asuhnya sudah mulai pintar mengenali orang di sekelilingnya.
"Baru pulang Bu Dokter?" Tatapan mata Ibu Ismi beralih menatap jam mcqueen merah yang menempel di dinding. "Masih siang."
"Ya, hari rabu sampai jam dua belas." Melati mengangkat Tydes dan mendudukkan di pangkuannya, di ambilnya bola dari karet yang tadi sempat di lempar Tydes dan di berikannya kembali.
"Tydes kangen mommy ya?" Di ciuminya kedua belah pipi Tydes sampai Tydes melonjak-lonjak senang.
"Sepertinya Tydes tidak keberatan punya mommy Bu Dokter." Melati menghentikan ciumannya di pipi Tydes dan tersenyum kearah Ibu Ismi.
"Mereka semua tidak keberatan aku menjadi mommynya tapi aku yang keberatan Bu." Ibu Ismi hanya tertawa mendengar Melati berbicara seperti itu, Dokter Melati yang di kenalnya sekarang masih tetap sama dengan Dokter Melati sebelum menghilang tiga bulan yang lalu, selalu berbicara jujur dan apa adanya.
"Ibu Ismi bisa bayangkan, Pernikahan mendadak, dua anak yang harus menjadi tanggung jawab saya dan suami yang tidak pernah puas deng......."
"Ahh, Bu Dokter bisa aja." Tawa Ibu Ismi berderai mendengar jawaban Melati yang belum selesai.
"Maksud saya dengan satu wanita Bu." Melati melengkapi kalimatnya yang tadi sempat di potong Ibu Ismi.
"Oh, kirain itu." Muka Melati memerah dengan sendirinya, dia menjadi salah tingkah, mengingat semalam hampir tidak bisa tidur setelah Nino berpindah tidur di sampingnya, terlebih lagi sentuhan tangan kokoh milik Nino yang mengelus rambutnya secara perlahan dan penuh kehati-hatian seolah-olah rambut Melati adalah kain sutra yang harus di jaganya. Darah Melati kembali berdesir dan jantung berdetak halus, meninggalkan sedikit sesak di dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVEBIRD
RomanceApa jadinya jika seorang Guarnino Amandio pria berusia 39 tahun dan seorang pebisnis handal harus berurusan dengan seorang bayi yang di bawa Fiorenza putrinya yang baru berusia 16 tahun, pastinya sangat merepotkan. Dan bagaimana julukannya sebagai p...