Pendidikan Indonesia : Sistem Cluster Tidak Seburuk Itu

2 0 0
                                    


Buat yang belum tahu atau mungkin lupa apa itu sistem cluster, itu adalah sistem dimana sekolah-sekolah dipecah berdasarkan passing grade tertentu. Biasanya sekolah-sekolah yang berada di cluster-1 adalah sekolah-sekolah yang memiliki passing grade tinggi dan menjadi favorit. Sistem zonasi yang sekarang diterapkan oleh pemerintah katanya sih salah satunya untuk menghilangkan stigma sekolah papan atas dan bawah. Biar semua sekolah setara dan mendapat perlakuan yang sama. Namun buatku sendiri sistem zonasi yang sekarang itu memang berusaha menyamakan standar, tapi menghilangkan nilai plus dari sekolah-sekolah tertentu. Bukankah lebih baik menaikkan kualitas pengajar dan memberikan fasilitas pada sekolah yang kurang, agar bisa setara dengan sekolah-sekolah favorit dibanding melakukan distribusi murid tanpa arah?


Mungkin ada yang berpikir "Tau apa kamu soal pendidikan dan pengambilan keputusan politik di Indonesia?" memang, mungkin aku tidak tahu banyak soal pengambilan keputusan politik tapi untuk soal pendidikan siapapun yang pernah mengenyam pendidikan formal 9 tahun minimal bisa berkomentar mengenai apa yang dirasakan. Aku pun pernah menjadi pengajar walau hanya satu tahun, tapi aku sudah mendengar perbincangan mengenai masalah pendidikan sedari kecil, karena kedua orangtuaku seorang pengajar. Mereka sudah menjadi guru bahkan sejak sebelum aku lahir, ibuku mengajar di SMA swasta, ayahku pernah mengajar di SMK dan STM baik di swasta ataupun negeri. Karena itulah setiap ada kebijakan yang berdampak pada pendidikan, pasti menjadi obrolan di rumah.


Sebelum bercerita lebih lanjut hal positif apa yang dihilangkan dari cluster dan efek buruk apa yang ditimbulkan sistem zonasi, aku akan bercerita sedikit mengenai masa sekolahku di SMA. Dulu aku bersekolah di SMA swasta karena tidak diterima di SMA negeri yang kuinginkan. Di SMA itu tidak hanya menerapkan sistem ranking, tapi juga menerapkan sistem klasifikasi berdasarkan nilai masuk dan tryout. Jadi 30 siswa dengan nilai tertinggi akan ditempatkan di kelas-1, 30 siswa selanjutnya di tempatkan di kelas-2 dan sisanya ditempatkan di kelas-3. Setiap beberapa bulan sekali akan dilakukan tryout dimana nilai itu akan menjadi acuan rotasi siswa di kelas-kelas tersebut. Lebih ekstrem dari sistem cluster bukan? Kalau kalian suka baca komik dan pernah membaca Assassination Classroom, kurang lebih seperti itulah kondisinya. Saat pertama kali masuk dan mengerahkan segenap kemampuan yang kumiliki aku berhasil masuk ke kelas-1, bisa dibilang perkumpulan siswa-siswa dengan nilai terbaik. Namun pada tryout sebelum kenaikan kelas, nilaiku tak cukup bagus untuk menjadi bagian kelas-1. Kalau dibilang kecewa, saat itu aku cukup kecewa. Terlebih aku tidak punya kemampuan komunikasi yang baik sehingga aku tak punya banyak teman di kelasku yang baru. Keadaan ini terus bertahan hingga di kelas 11 dimana kelas terbagi menjadi dua kelas IPA dan satu kelas IPS. Stigma anak IPA lebih baik dari anak IPS tidak terlalu terlalu berlaku di sini, karena anak IPS di sini adalah memang anak yang memiliki kualifikasi baik di pelajaran IPS -walau tidak semua. Karena sebelumnya aku ditempatkan di kelas-2 dan saat naik kelas memasuki kelas IPA akhirnya aku masuk ke kelas 11 IPA-2, dimana beberapa anak yang dicap nakal oleh guru berkumpul di sana. Syukur, akhirnya aku cukup bisa berbaur dengan teman-teman baruku dan di sana aku pun mengerti, ternyata anak-anak yang dicap nakal tidaklah seburuk itu, mereka hanya memiliki cara pemikiran dan tindakan yang sedikit berbeda saja -unik kalau kubilang. Singkat cerita, setelah terlempar ke kelas-2 aku merasa sistem klasifikasi ini adalah sistem yang salah disamping itu juga mungkin ada rasa sakit hati karena tertendang dari kelas sebelumnya. Aku pun bertekad untuk merusak atau setidaknya tidak mengikuti sistem tersebut. Pada tryout selanjutnya nilaiku berhasil untuk kembali memasuki kelas-1, tapi aku menolak untuk kembali ke sana. Aku pun tidak tahu bahwa ini bisa dilakukan atau pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya, tapi setelah berdiskusi dengan wali kelas, akhirnya aku diperbolehkan untuk tetap tinggal di kelas-2. Kejadian ini terus berlanjut hingga naik ke kelas 12. Aku pun sempat beberapa kali mewakili sekolahku untuk ikut Olimpiade dan Lomba Cerdas Tangkas Matematika walaupun biasanya yang mewakili adalah anak kelas-1. 

Bacotan IntrovertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang