Maaf

16 3 3
                                    

Di sebuah ruangan dengan cat tembok berwarna putih bernuansa klasik berukuran sedang di hiasi dengan lampu yang sedikit remang, Falisha sedang mengalunkan nada dari kitab yang dibacanya dengan merdu.

"Shadaqallahul adzim," tanda Falisha mengakhiri bacaannya

Dilepaslah kain putih bercorak bunga yang dikenakannya dan tak lupa mengucapkan hamdalah sebagai rasa syukur Farisha

"Alhamdulillah," sedikit tersenyum dan menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan pelan karena merasa hatinya sudah tenang setelah berusaha melupakan kejadian yang di alaminya tadi.

Falisha keluar dari tempat favorit yang biasa menjadi tempat untuk melepaskan rasa penatnya dan segera menuju ke ruang makan untuk mengambil segelas air putih

Saat Falisha menuangkan air ke gelas, tiba-tiba Hardi duduk di depan meja makan tempat di mana biasa mereka bercengkerama.

Falisha pun ikut duduk di kursi, berhadapan dengan si ayah sembari meminum segelas air yang telah dituangkannya.

Setelah dirasa sudah cukup menghilangkan dahaga, Falisha yang peka ada yang ingin dibicarakan oleh si ayah pun memulai pembicaraan

"Ada apa ayah, Falisha rasa ada yang ingin ayah bicarakan," memulai pembicaraan

"Begini, Nak," belum selesai berbicara, Hardi menarik dalam napasnya karena cukup berat untuk mengatakan

"Ayah rasa, kita sepertinya tidak bisa melanjutkan tujuan kita untuk memenuhi hak anak-anak supaya mendapatkan pendidikan, ayah sudah tidak memiliki tabungan untuk membayar sewa tanah yang digunakan untuk membangun pesantren itu," Hardi menahan sedih dan berusaha kuat di depan anak tersayangnya.

Hardi dan Falisha sedari dulu sudah berusaha untuk memberikan pendidikan anak-anak di daerahnya, baik pendidikan agama, sosial, maupun pendidikan umum demi kemajuan anak-anak di daerahnya. Pasalnya, sekolah-sekolah di daerahnya, dibutuhkan banyak biaya untuk mendaftarnya, sedangkan di daerahnya hanya segelintir orang saja yang mampu untuk menyekolahkan anaknya sehingga Ia dan ayahnya berinisiatif untuk mendirikan pesantren.

Falisha pun menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya, Ia merasakan hatinya kembali di rundung kecemasan dan juga tidak tenang. Akan tetapi, Ia mencoba untuk meyakinkan ayahnya bahwa dirinya yang akan mengurus itu semua dan dia akan berusaha sekuat tenaga agar pesantren itu dapat terus berdiri

"Ayah, bukankah ayah pernah bilang ke Falisha? Allah tidak akan menguji hambanya di luar kemampuan kita, itu artinya Allah sedang menguji kita, apakah kita bisa bersabar dan ikhlas atau kita berputus asa. Allah menguji kita karena kita pantas mendapatkan ujian ini," dengan nada lembut Falisha mencoba untuk menenangkan ayahnya yang sedang kalut

"Ayah tidak perlu khawatir, nanti Falisha yang akan menangani ini semua, Falisha bisa kok nanti kerjasama dengan teman-teman Falisha untuk melakukan open donasi, Falisha juga bisa kok membuat acara yang nantinya hasil dari acara itu akan disumbangkan untuk bayar sewa tanah kita. Syukur-syukur ada orang baik yang mau mewakafkan tanahnya untuk dibangun pesantren, terus nanti kita tidak perlu lagi memikirkan biaya sewa," lanjut Falisha menjelaskan kepada ayah dengan penuh keyakinan dan dengan tersenyum lebar agar ayahnya tidak sedih lagi

Ayahnya pun tersenyum mendengar ide dari Falisha, dalam hatinya sangat kagum dan merasa bahwa dia sangat mirip dengan ibunya yang tidak mudah menyerah

"Falisha," menggenggam tangan Falisha yang berada di atas meja

"Maaf, Nak. Ayah sangat malu, sebagai ayah yang sedari kecil mendidik kamu, justru ayah kalah dengan pemikiran kamu. Ayah tak seharusnya berputus asa, seharusnya kita mencari jalan keluar sama-sama untuk menyelesaikan masalah ini. Benar kata kamu, bahwa Allah menguji kita karena kita mampu melewatinya," dengan tangan yang masih menggenggam Hardi sedikit meneteskan air mata

Falisha melepas genggaman ayah dan langsung berdiri menuju Hardi untuk memeluk ayah tercintanya

"Ayah, jangan bilang begitu. Kalau bukan karena ayah, Falisha tidak akan bisa menjadi anak seperti ini. Jadi, yang harus ayah tahu, ayah adalah salah satu orang yang paling Falisha segani," pelukannya semakin erat tatkala Ia merasakan kenyamanan kasih sayang ayahnya

Tiwi yang membawa nampan berisikan makanan dari arah dapur pun sedikit kesal, pasalnya dia tidak diajak dalam sesi penuh haru yang jarang dilihatnya

"Oh, jadi ibu tidak diajak, ya sudah ibu kembalikan lagi makanannya ke dapur, kalian teruskan saja," Tiwi yang kesal hendak kembali ke dapur untuk mengembalikan makanan yang telah Ia masak untuk makan malam

Falisha pun dengan cekatan langsung menghadang ibu agar tidak mengembalikan makanannya

"Ibu, jangan balik lagi yah. Falisha sudah lapar," rayu Falisha kepada ibunya agar Ia tetap makan

"Hm, paling tidak bisa ibu melihat kamu rayu-rayu gitu, ya sudah ini di makan. Lain kali kalau ada apa-apa, ibu di ajak makanya," sembari menaruh makanannya di meja makan, Tiwi menegaskan kepada keduanya untuk mengajak dirinya dalam membahas apapun

Keduanya pun tertawa saat mendengar ocehan Tiwi, mereka pun akhirnya menyantap makanan yang telah disiapkan oleh malaikat tak bersayap paling disayanginya.








Selaksa HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang