RADIT & JANI
-
Hidup itu keras. Semua manusia dituntut oleh manusia lain untuk menjadi seperti orang yang diinginkannya. Ketika ada diposisi ini, hanya ada dua pilihan. Bertahan untuk mewujudkannya, atau berhenti di tempat dan menunggu saatnya untuk dihancurkan oleh takdir.
"Ibu, aku ingin cepat Dewasa."
Jani ingin sekali menyesali ucapannya dulu ketika ia masih berusia 7 tahun. Namun apakah pantas untuk dirinya menyesali yang sudah terjadi?.
Karena nyatanya menjadi dewasa tidak semenyengkan bayangannya ketika dulu ia melihat seseorang keluar masuk mobil mewah, menenteng barang belanjaan dengan jumlah yang banyak, ataupun bersendau gurau didalam sebuah Restoran mewah dengan harga makanan yang tidak sembarangan orang mampu menebusnya. Fantastis. Masih berpikir menjadi Dewasa itu menyenangkan?
Semua ini tentang pilihan masing-masing manusia. Bagaimana ia mampu mengendalikan dirinya untuk mempertahankan reputasi diri dan membawanya kedalam situasi yang diharapkan oleh 'seseorang' yang menuntut itu.
"Mah.."
Jani mau minta uang semesteran."
"Kamu minta ke Papa gih."
Jani melengos. Ia ingin menolak mentah-mentah, tapi bagaimana lagi. Dia sudah menunggak administrasi kampus selama 2 bulan. Bahkan 1 minggu yang lalu pihak Kampus mengancamnya untuk memberinya Cuti selama 2 bulan. Itu akan menghambat kelulusannya. Dan ia tidak mau itu terjadi.
"Kenapa sih nggak Mama aja. Aku kan nggak enak mau minta sama dia." Kesal gadis itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada, jangan lupa dengan wajah yang masih setia ia tekuk. Ayolah ini masih pagi Jani.
"Salah kamu sendiri masih belum bisa nerima dia jadi Ayah kamu." Ujar Mama Jani enteng.
"Lah, dia kan emang bukan Ayah Jani." Kali ini gadis itu sedikit meninggikan nadanya.
"Jani!"
"Udahlah, kalo emang Mama nggak mau ngasih aku uang. Aku bisa nyari sendiri. Urus aja tuh keluarga kecil kalian!". Gadis itu menghentakkan kaki sebelum akhirnya pergi meninggalkan Mamanya yang kini merasa geram melihat putrinya.
Bandung hari ini menunjukkan aura sendu. Hujan yang mengguyur tiada henti sejak pukul 5 pagi membuat beberapa orang-orang meyakini bahwa Senin adalah hari yang pantas untuk bermalas-malasan, walaupun pada kenyataannya berbanding terbalik.
Jani masih enggan beranjak dari kursi Halte. Mengingat percekcokan tadi pagi bersama Mamanya. Ingin rasalah ia bolos untuk hari ini.
Gadis itu mengacak rambutnya frustasi. Namun beberapa detik kemudian ia mengangkat ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang diseberang sana.
"Wick, jemput gue di halte biasa ya."
Pasca confess-nya Wicky tempo hari, entah kenapa Jani malah mengiyakan perasaan Wicky. Jujur. Jani tidak pernah memiliki perasaan yang sama dengan Wicky.
Cinta itu bullshit menurutnya.
Dia hanya sekedar membutuhkan seseorang yang bisa selalu ada untuknya, memperhatikannya, mengabulkan semua permintaannya, dan mengerti keadaannya.
Kesimpulannya, ia menginginkan hal yang selama ini tidak ia dapatkan dari keluarganya dan Wicky yang mampu memberikan semuanya.
"Maaf ya Ni, aku telat."
Gadis itu mengangguk dan tersenyum tipis memandangi Wicky yang turun dari motor besarnya dan tampak sibuk membersihkan diri dari rintikan air hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radit & Jani | taeyong ft. jennie [au]
Fiksi Penggemar"Kalo diri lo datang dari latar belakang keluarga yang berantakan, mental yang nggak stabil, mending lo nyari pasangan yang datang dari latar belakang yang sama juga kayak lo. Dari sini pasangan lo akan lebih memahami satu sama lain, karena dia tau...